Saat makna melampaui kata, menjadikan diam sebagai raja, masih adakah sebait kisah yang akan tertulis? Layaknya kehidupan yang beku dalam persamaan matematis, representasi fisik dalam relasi-relasi yang mungkin akan bercerita banyak, tapi mungkin juga tidak. Ketika kontinuitas pun harus menyerah pada diskret meski masih menyisakan banyak syarat, adakah esensi tiada? Ketakhinggaan hidup yang kini tiba-tiba harus memiliki limit, serta sebuah sistem ideal dihadapkan pada kenyataan yang ternyata pahit?
Lalu galat akan bercerita mengenai segala. Mengenai simulasi-simulasi, mengenai kejadian semesta yang dikonstruksi ulang dalam sebuah pemodelan maha karya, ketika dunia terjelaskan namun kian tak terpahami, permainan dadu alam raya, kemudian tiap orang akan memulai legenda pribadinya. Perupa dalam lukisan-lukisan yang disorot lampu dan ruangan serba putih, pujangga mengabadikan dalam rangkaian kata yang mungkin tak pernah usai terpahami, ilmuwan dalam persamaan matematis, begitupula dengan kau dan aku yang akan menorehkan guratan dalam sejarah kehidupan.
Sekilas segalanya berbeda. Kisah-kisah penuh kebenaran satu versi namun kontradiksi bagi yang lain. Galat tampak muram karena segalanya menjadi tiada arti. Terlalu lebar jarak yang membentang. Tapi mungkin ceritanya tak harus berakhir seperti ini, mungkin segalanya terjadi karena belum menemukan kunci yang menjadikan segala beda konvergen pada satu titik. Kunci yang membuka pintu pemahaman, sejuta bahasa dan gaya pendekatan tak menjadikan segalanya saling menafikan, semuanya tetap menuju pada sebuah jawaban.
Barisan manusia dalam panggung kehidupan. Masing-masing orang dalam lakon dan latar yang berganti-ganti sesuai kebutuhan. Masih satu panggung, namun dialeknya bisa demikian ragam, pun dengan kostum dan sudut pandang. Namun ketika panggung itu menjadi demikian lama, seolah selamanya, masih adakah ingatan bahwa semuanya itu hanya sementara? Lakon yang merupakan bagian dari keseluruhan, dan dengan demikian masing-masing bagiannya juga menuju Sang Esa?