Thursday, January 26, 2006

Abadilah!

Saat makna melampaui kata, menjadikan diam sebagai raja, masih adakah sebait kisah yang akan tertulis? Layaknya kehidupan yang beku dalam persamaan matematis, representasi fisik dalam relasi-relasi yang mungkin akan bercerita banyak, tapi mungkin juga tidak. Ketika kontinuitas pun harus menyerah pada diskret meski masih menyisakan banyak syarat, adakah esensi tiada? Ketakhinggaan hidup yang kini tiba-tiba harus memiliki limit, serta sebuah sistem ideal dihadapkan pada kenyataan yang ternyata pahit?

Lalu galat akan bercerita mengenai segala. Mengenai simulasi-simulasi, mengenai kejadian semesta yang dikonstruksi ulang dalam sebuah pemodelan maha karya, ketika dunia terjelaskan namun kian tak terpahami, permainan dadu alam raya, kemudian tiap orang akan memulai legenda pribadinya. Perupa dalam lukisan-lukisan yang disorot lampu dan ruangan serba putih, pujangga mengabadikan dalam rangkaian kata yang mungkin tak pernah usai terpahami, ilmuwan dalam persamaan matematis, begitupula dengan kau dan aku yang akan menorehkan guratan dalam sejarah kehidupan.

Sekilas segalanya berbeda. Kisah-kisah penuh kebenaran satu versi namun kontradiksi bagi yang lain. Galat tampak muram karena segalanya menjadi tiada arti. Terlalu lebar jarak yang membentang. Tapi mungkin ceritanya tak harus berakhir seperti ini, mungkin segalanya terjadi karena belum menemukan kunci yang menjadikan segala beda konvergen pada satu titik. Kunci yang membuka pintu pemahaman, sejuta bahasa dan gaya pendekatan tak menjadikan segalanya saling menafikan, semuanya tetap menuju pada sebuah jawaban.

Barisan manusia dalam panggung kehidupan. Masing-masing orang dalam lakon dan latar yang berganti-ganti sesuai kebutuhan. Masih satu panggung, namun dialeknya bisa demikian ragam, pun dengan kostum dan sudut pandang. Namun ketika panggung itu menjadi demikian lama, seolah selamanya, masih adakah ingatan bahwa semuanya itu hanya sementara? Lakon yang merupakan bagian dari keseluruhan, dan dengan demikian masing-masing bagiannya juga menuju Sang Esa?

Monday, January 23, 2006

Kepada Seorang Kawan

[Episode: Lemah]

Kawan, aku tak tahu apa yang dapat kulakukan untukmu. Saat kau menyampaikan berita itu, kau hanya berkata, “Terimakasih karena sudah bersedia mendengarkan.” Sungguh, aku merasa begitu lemah karena hanya dapat menjadi seorang pendengar, apalagi aku telah memberi saran yang membuatmu melayang sebentar kemudian terhempas dengan cara yang begitu menyakitkan. Andai aku punya dapat berbuat lebih.

Aku tahu, aku tak dapat membuat dunia sesuai yang kuinginkan. Aku ingin tak ada perang, tak ada kebencian, tak ada kemiskinan, tak ada kesedihan, tapi sejarah tak pernah lepas dari keempatnya. Dan ketika aku mencoba mewarnai duniaku dengan pandangan itu, aku masih tetap gagal, bahkan pada dirimu. Aku gagal menghindarkanmu dari airmata, aku gagal membantumu menjadi lebih baik, bahkan celah yang kuanggap mampu menolongmu pun tak dapat berkata banyak.

Meskipun kata andai sekarang menjadi sia-sia, aku tetap tak bisa mengenyahkannya dari benakku. Seandainya aku lebih sering mengingatkanmu, mungkin semuanya tak perlu sedemikian parah. Aku senang merenung, merangkai kejadian-kejadian lampau dalam sebuah kisah hingga bisa kuambil baik-buruknya. Kadang renungan itu hanya bertahan selama seminggu, kadang sebulan, tak pasti, namun aku tahu, tidak semuanya berjalan dengan gayaku. Mungkin kau tak begitu, dan seharusnya saat kau tengah terpuruk aku ada di sana untuk dirimu.

Kau tak menyalahkanku, bahkan kau mengucapkan terimakasih. Tapi aku benar-benar merasa tidak pantas mendapatkan segala kebaikan dan kepercayaan darimu, aku bukan seorang kawan yang baik. Aku mengetahui segala sesuatunya ketika semuanya sudah terlambat, padahal aku tahu bagaimana kau menyikapi segala sesuatu, seharusnya aku lebih keras mendorongmu.

Kawan, aku tak tahu lagi apa yang bisa kulakukan untukmu, meski kau memang tak pernah memintanya. Namun aku tahu, aku memiliki bagian kesalahan dalam kasusmu. Aku tak cukup peduli dan tegas dalam mengingatkanmu. Salah satu tujuanku yang dari dulu tak pernah berubah adalah menjadi orang yang berguna, tapi bahkan untuk dirimu hal tersebut tak berhasil.

Kenapa kau masih percaya padaku? Kenapa kau masih menceritakan kisah-kisahmu padaku? Bukankah aku tak bisa berbuat banyak untukmu? Bukankah kata-kataku tak mengeluarkan dirimu dari masalah? Aku benci perasaan ini, saat aku hanya bisa terdiam mendengarkan segala kisahmu tanpa dapat berbuat banyak, apalagi setelah semuanya terlambat.

Aku sering bertanya-tanya, kenapa banyak orang yang demikian baik padaku. Hal-hal kecil yang dapat membuat hariku cerah ceria: ucapan-ucapan semangat di pagi hari, kata-kata kangen, ucapan selamat ujian, senyum, sebuah anggukan sebagai tanda sapa, jaga kesehatan, tanya akan hari dan rutinitasku, waktu yang orang bagi bersamaku, dunia tampak begitu sempurna. Namun ternyata aku tetap tidak bisa menjadi orang baik bagi yang lain. Mungkin aku masih berada dalam tahap yang paling rendah, sebatas dalam hati.

Ya Allah, berilah hamba-Mu ini kekuatan untuk menjadi lebih baik. Agar tak kudapati lagi tatapan terluka. Sang Maha Kasih, apakah aku egois karena menginginkan orang-orang yang kusayang tak bersedih agar diriku sendiri pun tak ikut berduka?

Salam sayang selalu,
Kawanmu

Friday, January 06, 2006

Dunia Barisan

[Di tengah buku-buku aljabar...]

Biasanya aku cukup puas dengan mengotak-atik notasi yang ada. Dibalik-balik, diubah bentuknya, jumlah, kali(standar operasi linier), kaya mecahin teka-teki aja. Bagaimana suatu bentuk bisa berubah menjadi bentuk lain, benar-benar cuma atas nama kesenangan. Tapi waktu bimbingan, aku dibilangin kalau apa yang aku kerjakan itu memiliki arti, tidak sekadar memperoleh hasil. Kalaupun aku sering membaca filosofi matematika, hubungannya jauh banget. Seperti saat aku membaca Diskursus Metode-nya Descartes, kayanya ngga cukup nolong untuk memahami kurva Cartesian dan penerapannya. Rasanya tetap aja ada gap. Baru belakangan ini aja, aku memahami suatu bentuk pemahaman yang berada diantara keduanya, ngga filosofis banget, tapi juga bukan sekadar persamaan teka-teki.

Harusnya sih, aku nyinggung aljabar karena mau ujian itu, khususnya tentang ruang hasil kali dalam. Hmm... sebenarnya dari ruang hasil kali dalam bisa juga nyambung ke analisis melalui ruang Hilbert. Soalnya dari pertidaksamaan Holder, ruang terukur dua(L2), memiliki sifat ruang hasil kali dalam yang memberikan kita penjelasan dari segi geometrinya. Tapi aku mau cerita tentang nangkap titik limit. Cerita bermula dari teorema Bolzano-Weierstrass yang bilang kalau dari tiap barisan terbatas, kita mungkin memilih sub-barisan yang konvergen. Ide pembuktiannya adalah dengan menangkap bilangan dimana bilangan lain konvergen ke bilangan itu, dengan konsep himpunan bersarang.

Ilustrasi gampangnya kaya permainan tebak angka. Pilih satu angka antara 1-100. Nah, misalnya aku milih angka 8. Trus orang yang mau nebak angkaku bertanya, “Lebih kecil atau lebih besar dari 50?” Nah, dengan membagi selang yang kian mengecil, nanti angkaku bakal ketebak(jawabanku berturut-turut: lebih kecil dari 50, lebih kecil dari 25, trus pake fungsi trunc lebih kecil dari 12, lebih besar dari 6, lebih kecil dari 9, trus lebih besar dari 7, ketebak deh 8).

Selama ini, kesenanganku hanya sebatas nangkepin angka-angka, tanpa mengetahui maksudnya apa. Mungkin inilah yang menyebabkan konsentrasiku sering banget beralih, setelah bosan mengerjakan suatu hal, aku langsung lompat ke hal lain. Baru belakangan ini aku diajarin untuk melihat permasalahan dari lantai yang lebih tinggi, sehingga aku mengerti hubungan-hubungan yang ada. Meski lantai yang lebih tinggi ngga pernah ada abis-abisnya, udah tau kegunaan kekonvergenan dalam membuktikan solusi diskrit memenuhi solusi dari persamaan diferensial, muncul pertanyaan-pertanyaan lain. Nyasar ke mana-mana lagi, ya integral Lebesgue, integral Lebesgue nyambung ke teori ukuran, trus dari teori ukuran nyambung ama berbagai macam lemma lainnya. Akhirnya biar ngga terlalu nyebar, yang aneh-aneh dimasukin ke lampiran. Untung dosenku pendongeng yang baik jadi meski udah sampai kemana-mana, aku masih bisa menemukan remah-remah roti untuk mencapai rumah, ngga kaya Hans and Gretel ;)

(diasumsikan remah-remah rotinya ngga dimakan binatang hutan; hehe, otoritas anak math: bikin asumsi)

Di Suatu Pagi

Imaji berlari pesat, mengalahkan derap langkah yang mulai terengah. Mentari masih malu, bermain bersama awan di langit biru. Kehidupan pagi telah dimulai, seorang bapak tua, dengan kerut yang mungkin lebih banyak disebabkan beban hidup, memanggul pacul dan peralatan kebun. Para pedagang dengan barang-barang yang terhampar di padang dekat lintasan yang tak lagi mulus. Sejenak, imajiku berlari pada lapangan lain yang jauh lebih halus dan terawat, dengan orang-orang homogen berpenampilan nyaris serupa dan terduga. Tapi mungkin ini lebih nyata, dengan bolong-bolong dan becek di sana-sini. Para penjual makanan, topi, pin di kiri dan kanan ruas, terkadang menyapa, tersenyum, atau hanya sekadar mengamati orang yang lalu-lalang. Berharap ada satu dua orang yang mampir, sekadar iseng atau dengan kesungguhan, tapi mungkin itu tak terlalu mengapa, ketika dua dunia yang berbeda bertemu untuk meruntuhkan batasan antara keduanya.

Di sebuah taman hijau, pemandangan beralih. Tak tampak para penghuninya mengenakan jaket untuk mengusir hawa dingin. Tampak wajah-wajah bersemu hingga memerah, akibat energi untuk menggerakkan kaki. Banyak dari mereka berusia tak lagi muda, dengan langkah yang masih cukup tegap meski tak berlari. Penjual koran dengan setumpuk terbitan dalam dekapan, pawang kuda yang berlari-lari kecil mengejar sembrani yang tengah ditunggangi seorang bocah cilik, satu dua mobil yang turut melengkapi sebuah episode kehidupan berjudul pagi.

Rasanya dunia ini baik-baik saja. Pemandangan perempuan tua dalam balutan kain batik lusuh, ataupun anak kecil berambut kemerah-merahan yang meringkuk di tempat pejalan kaki dengan kaleng untuk menampung belas para lalu lalang tak kutemui. Mungkin pagi sedang berbaik hati, hingga tak sampai hati merusak kerianganku pagi ini. Dekat rumah, tampak pak tua yang sering kujumpai. Sebuah senyum terulas tanpa kusadari, yang dibalas dengan sebuah anggukan penuh kehangatan. Aku merasakan keajaiban hanya dengan menyadari bagaimana kerut-kerut wajah orang bisa demikian menakjubkan.

Tik...
T...i....k....
T..........i...........k.......

Waktu seolah terhenti. Perubahan yang mungkin hanya terjadi dalam hitungan detik namun bisa menjadi begitu berarti. Ah, hidup ternyata memang ajaib....

Tuesday, January 03, 2006

Konvergen

Kapan ya aku bisa agak terstruktur? Konsisten, tidak cepat bosan, dan konvergen. Seminggu ini, isi otakku didominasi konvergensi, jadi setelah persamaan diferensial dijadikan dalam bentuk diskrit, ada masalah konvergensi. Konvergensi ini yang menjamin metode numerik yang aku pilih menuju solusi yang benar. Dalam kehidupan, aku cenderung divergen atau mungkin juga berosilasi. Dalam TA-ku ada yang disebut dengan total variasi. Nah, kalau total variasinya hingga, maka osilasinya bisa dihitung. Contoh gampangnya terlihat dari bentuk fungsi sin(1/x). Dengan menggunakan faktor pengali x pangkat p, osilasi fungsi sin di dekat x=0 bisa berkurang. Hehehe... ngga kebayang kan? Ntar sore mau bimbingan, jadi tadi abis baca-baca bahan. Asyik juga bermain-main di wilayah analisis, banyak cerita-cerita anehnya...

Ada cerita yang menarik, yaitu teorema Helly. Dari teorema tersebut, aku bisa mengambil sub-himpunan yang konvergen ke suatu bilangan. Prinsipnya mirip dengan pembuktian teorema Bolzano-Weierstrass menggunakan himpunan bersarang. Lucu cara pembuktiannya, untuk membuktikan sebuah bilangan ada di selang tertentu, bilangan itu dijepit oleh suatu selang yang makin mengecil, trus untuk n yang sangat besar(jadi selang besar yang pertama dibagi menjadi bagian-bagian kecil dari 1,2,...,n), bilangan itu ketangkep deh... Kebayang kan kalau draftku isinya penuh dengan cerita-cerita seperti ini.

Udah beberapa kali membaca buku skripsi di peprus, tapi bahasanya kaku banget. Akhirnya untuk tugas menulis hasil bimbinganku, aku menggunakan gaya bahasa populer aja. Soalnya kalau bimbingan dosenku juga selalu berangkat dari filosofinya terlebih dahulu. Ngapain juga nulis kaku-kaku kalau malah jadi bingung sendiri. Sedikit pembelaan diri, buku-buku teks yang aku gunakan juga sering menggunakan kata "we can happily use this theorem..." Nah kan, penulis buku teks-nya sendiri juga tau kalo ngebuktiin rumus, kita harus menyingsingkan lengan baju, dan bekerja serius, trus fakta bahwa mereka bahagia kalau bisa langsung menggunakan rumus itu. Ya.. apalagi aku, yang nurunin rumus masih perlu tenaga tambahan, bahagia banget. :D

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...