Monday, February 27, 2006

Tuing...tuing...

He..he.. TA-ku kayanya udah beres. Setidaknya di kepala konsepnya udah rada kesusun, tinggal nulis, beres deh. Kamis(02/03) aku seminar analisis, akhirnya aku percaya juga udah masuk Kelompok Keahlian Analisis, padahal awalnya yakin banget kalo milih terapan. Tapi setelah masuk ke dalam asyik juga, soalnya ngga ada statistik dan tool yang digunakan juga relatif sederhana, yaitu: teorema nilai rata-rata, dan memenuhi kondisi kestabilan. Heran juga akhirnya aku bisa kecemplung ke wilayah yang bener-bener matematika. Padahal waktu milih bahan TA pertimbanganku milih yang lebih banyak ceritanya, seperti waktu kuliah pemodelan, aku dapat masalah MEOR(Microbacterial Enhanced Oil Recovery), modelnya sederhana berbasisikan kurva eksponensial. Pada presentasi yang banyak cerita mengenai teknologi MEOR-nya dan bagaimana daur bakteri. TA-ku yang sekarang lebih banyak hal teknis, kutrak-kutruk rumus, trus melakukan pembuktian-pembuktian.

Ngga tau kenapa bisa sampai ke sini, tapi seneng karena sebelum lulus bisa merasakan asyiknya bermain-main dengan rumus dan bukan sekadar tau filosofinya doang. Di perpus sempat lihat Principia Mathematica-nya Russel dan Whitehead tapi masih rada ilfeel untuk minjem soalnya bukunya masih ditulis dalam bentuk ketikan kuno gitu. Waktu balik-balik ada bagian tentang himpunan-himpunan, seperti yang aku pelajari di analisis real. Btw, aku lebih kenal pemikiran Whitehead dan Russel sebagai filosof. Whitehead seringkali dilabeli sebagai filsafat yang mementingkan proses, sedangkan Russel jadi semacam tokoh filsafat modern.

Lucu juga pertemuanku dengan matematikawan2 besar itu, kenal pemikirannya dulu baru pengaruhnya dalam bidang matematika. Aku ngga tau deh, apakah karena mereka matematikawan(belum lagi pengaruh DEscartes, Godel, Heisenberg) makanya mereka punya konsep yang terstruktur mengenai cara memandang hidup ini, atau karena mereka filosof, jadi seneng dengan matematika yang terstruktur? Kalau aku apa ya, filsafat suka, matematika juga, tapi ngga suka struktur....

Thursday, February 23, 2006

I love ...

I just love how people fit my world ...

Hmm... it's been quite long since my last posting. Not because I'm stop to write(I still do it on my PC), but if I put it down on my blog, it's just seems to good to be true.

Thanks for the favour, I really really apreciate it, hope I can be a better person as you are...

Monday, February 13, 2006

Home

Jum’at lalu akhirnya aku jadi juga balik ke Serpong. Pembimbingku dari minggu lalu berulang kali menanyakan kapan terakhir kali aku pulang. O iya pemicunya karena aku minta bimbingan Jum’at pagi karena mau pulang yang berlanjut ke pertanyaan kapan aku terakhir balik ke Jakarta. Akhirnya bimbingan malah dimajuin ke hari Kamis sore, biar aku bisa pulang pagi kata dosenku, trus maju lagi jadi Kamis pagi. Selesai bimbingan hari Kamis, pembimbingku bilang, “Udah Yut, pulang dulu sana. Kasih laporan ke rumah,” dengan mimik lucu. Ok, home, here I come...

Jam 7.30 aku meninggalkan rumah. Naik angkot ke Dipati Ukur disambung bus Damri. Udah lama juga ngga naik Damri, tarif yang terakhir kuingat Rp 900, tapi sekarang udah jadi Rp 1600. Mungkin sejak kenaikan BBM beberapa waktu lalu. Enaknya naik bus rame-rame, aku bisa asyik ngeliatin orang-orang, apalagi aku dapat tempat duduk yang di tengah(bukan yang dekat jendela). Mulai deh berkhayal, dengan mengambil tokoh-tokoh orang yang kulihat. Orang-orang berbaju rapih yang mungkin hendak berangkat kerja, orang-orang setengah dewasa yang kira-kira sepantaran denganku sambil membawa tas ransel, dan juga golongan orang yang di pagi hari sudah menampakkan gurat-gurat lelah.

Pemandangan yang menjadi favoritku adalah ibu dengan bayi. Selalu ada ketidaklaziman didalamnya, tindakan tiba-tiba yang dapat menenangkan mulut bayi yang sudah hendak mengeluarkan jerit tangis, atau sedikit permainan tangan dan raut wajah yang dapat membuat sang bayi tersenyum. Interaksi dua sosok beda generasi tersebut senantiasa menjadi embun bagi kehidupan bagi yang berjalan demikian cepat. Mulut-mulut orang yang terkatup dengan wajah mengeras, tas yang didekap erat, atau terkadang wajah orang yang terlelap. Namun dalam dunia ibu dan sang bayi, keadaan itu tidak berlaku. Waktu tampak melunak dan membebaskan keduanya dari jerat cemas, dan kejaran detik yang terus melaju.

Tak terasa aku sudah sampai di terminal Leuwi Panjang. Langsung aja aku melangkahkan kaki ke bagian tempat bus yang menuju Jakarta. Pertama kali naik bus, tampangku masih rada ragu-ragu, dan mungkin sedikit lugu. Alhasil banyak calo yang menarikku kian kemari, dan membuatku malah bertambah bingung. Tapi sekarang aku sudah bisa menampilkan wajah cukup meyakinkan. Hehe... sebenarnya orang yang cukup jago menilai seseorang dari wajah adalah para penjual asongan yang masuk sebelum bus beranjak. Bagiku teknik mereka lebih canggih dibandingkan dengan penjual di pasar tradisional, karena terikat oleh waktu dan tempat seadanya.

Cara berjualan di atas bus seperti menonton pertunjukkan seni dengan panggung di dekat tempat sopir dan kursi-kursi penonton yang memanjang ke belakang. Ada yang menggunakan teknik berbicara di depan sebentar kemudian memberikan contoh barang kepada para penumpang yang kemudian diambil kembali, ada juga yang hanya berkeliling sambil melakukan personal approach. Aku ngga tau pasti, mana yang lebih efisien, tapi aku salut dengan yang melakukan personal approach, terutama yang waktu itu membujuk aku membeli taoco.

Gara-gara aku selalu gagal untuk menahan senyum, ada penjual taoco yang membujukku hingga waktu kurang lebih 10 menit. Gila.... dari pengamatanku selama ini, seorang penjual memiliki beberapa level pendekatan ke penjual, dan 10 menit itu merupakan rekor tersendiri dalam sejarah penawaran di atas bus. Hal ini juga berlaku di toko-toko elit yang ada di mal, dengan standar waktu dan kebiasaan yang berbeda. Level paling rendah adalah pembeli iseng yang hanya eye shopping. Penjual biasanya hanya mengamati orang-orang pada level ini atau kalau di dalam bus, hanya menawarkan barang dagangan sepintas lalu.

Level kedua yang menunjukkan tanda-tanda tertarik. Nah, kalau udah mulai ada tanda tertarik biasanya penjualnya mulai bercerita mengenai keunggulan suatu produk. Umpan balik diperoleh dari ekspresi orang mendengarkan promosi si penjual. Kalau ngga minat beli seharusnya pasang tampang cool, trus gerakkan tangan sedikit sebagai tanda penolakkan. Dalam kasusku, aku selalu ingin tahu. Jadi bukannya pasang tampang cuek, penjual taoco itu malah aku liatin. Belum cukup parah, aku ngga bisa nahan senyum ngeliatin penjual itu mempromosikan barang dagangannya. Tau ada peluang, penjual itu menurunkan harga, sambil menerapkan beberapa jurus lagi. Lha, aku makin cengar-cengirlah, dan cengar-cengirku itu nular ke si penjual. Kebayang kan tawar menawar yang malah jadi semacam parodi, akhirnya aku tetap ngga beli taoconya tapi penjual tersebut melengang dengan sebuah senyuman di wajahnya. Huahaha... harus belajar jaim nih...

Di perjalanan ngga ada hal menarik, ya... terutama karena sebagian besar aku isi dengan tidur. Ketika melewati Mal Taman Anggrek sempat ada bunyi sirene, tapi aku tidak tau ada kejadian apa. Belakangan aku tau beritanya dari TV, telah terjadi kecelakaan. Saat itu, hujan mengguyur cukup deras, pemandangan dari balik jendela jadi tampak seperti lukisan yang luntur.

Ketika aku sampai di rumah, jam menunjukkan pukul 13.20. Ibuku sudah siap-siap berangkat ke kantor lagi. Di dapur, mba Atun sedang sibuk dengan serabi-serabinya. Hehe... penyambutan anak ilang dari Bandung yang disambut dengan serabi favoritku. Bukannya makan nasi, aku malah memilih makan serabi-serabi polos tanpa gula pendamping.

Glad to be home again....

Thursday, February 09, 2006

Cinta & Matematika

[Sedikit hiburan sesudah tenggelam dalam buku-buku Natanson, Mathews, LeVeque, Hoffman dan Strauss, melanjutkan membaca buku Wolfram:D]

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

[aku ingin, Sapardi]

Banyak yang bilang cinta itu rumit, namun Sapardi menyajikan cinta dalam bentuk yang sederhana. Jawaban atas kesederhanaan itu aku temukan dalam buku Wolfram, karena ternyata program yang sederhana mampu menghasilkan sebuah sistem yang kompleks. Menariknya lagi, persamaan antara program sederhana yang contohnya dapat dilihat dari ilustrasi-ilustrasi fraktal, ternyata tak hanya ditemukan dalam model komputasi. Di alam, nautilus, bunga daisy, bonggol nanas, mengikuti rasio emas(golden ratio) yang dalam skala mikro sangat sederhana.

Asli, menarik banget. Apalagi dulu sempat iseng-iseng bikin contoh fraktal menggunakan bilangan imajiner, kompleksitasnya bergantung pada banyaknya iterasi. Karena aku masih sebatas penikmat buku(padahal kata dosenku anak math membaca harus sambil megang pinsil dan siap kertas), aku kutip aja: “Then after an initial period where the models are often said to be too simplistic to be worth considering, there begin to be all sorts extension added that attempt to capture more effect and more details. The result of this is that after a few years my original models have evolved into models that are almost unrecognizably complex.”[A New Kind of Science, Wolfram, p.367]

Kayanya aku bener-bener harus nyari buku “Programming for Dummies”(ada yang punya?) Senin lalu juga sempat nonton teman sidang. Isinya tentang pemodelan hubungan perusahaan dengan stakeholder. Dalam sistem konvensional, stakeholder suatu perusahaan hanya dipandang sebagai pihak yang menerima. Nah, dengan menggunakan sistem PRISM, stakeholder seharusnya juga memberikan kontribusi sehingga bentuk sistemnya menjadi nonlinier. Pemodelannya dilakukan dengan sistem dinamik yang menggunakan program PowerSim. Waktu pembahasan ada pembahasan mengenai validasi model yang terdiri dari beberapa sudut. Karena aku belum belajar sistem dinamik, baru baca-baca doang, jadinya ngga terlalu ngerti. Tapi kalau mendengar pembahasannya tampaknya asyik.

Huaaa... kebanyakan hal menarik, TA-ku sendiri ngga beres-beres. Tapi seperti biasa, karena penulis adalah raja, aku mau melakukan pembelaan diri. Karena TA-ku juga berkaitan dengan pemodelan gelombang, maka aku juga melakukan validasi dengan menunjukkan skema beda hinggaku konvergen ke solusi dari persamaan diferensial. Hanya saja ada beberapa hal yang bikin aku bingung, ketika belajar numerik, ada 3 hal yang harus ditunjukkan: konsistensi, kestabilan, dan konvergensi. Dalam pembuktian yang aku lakukan, konsistensi diperoleh dengan menunjukkan fungsi yang ada memenuhi kondisi Lipschitz. Trus kestabilannya diasumsikan berlaku yaitu memenuhi kondisi kestabilan CFL(daerah kebergantungan numerik memuat daerah kebergantungan persamaan diferensial). Yang terakhir diperoleh dengan menunjukkan selisih numerik dan diferensialnya menuju nol. Tapi... waktu belajar numerik ada analisis Neumann segala, sekarang koq ngga ada ya? Mungkin gara-gara asumsi CFL kali ya....

Hmm... mencoba menggunakan kacamata sederhananya Wolfram. TA-ku sederhana karena menggunakan perangkat matematika purba: numerik. Padahal biasanya numerik hanya digunakan sebagai alat bantu, bukan untuk membuktikan rumus. Jadinya TA-ku sekarang ini penuh dengan variabel-variabel dengan index bejibun. Padahal cara kerjanya mirip-mirip(similar dalam bahasanya Wolfram), membuktikan keterukuran, terbatas, baru di bagian akhir-akhir melibatkan konsep analisis yang rada tingkat tinggi yang juga menyajikan pola berulang.

NB: Trus apa hubungannya cinta dengan matematik, Yut? Hehe... keduanya memiliki kondisi awal sederhana yang berakhir dengan kompleksitas.

A New Perception of Math

Akhirnya jadi juga minjem buku Wolfram dari perpus. Tadinya mau nunggu TA beres dulu biar pikirannya ngga teralih, tapi karena buku yang dicari ngga ketemu alhasil malah tergoda minjem The New Kind of Science. Beberapa tahun yang lalu, aku udah sempat baca sebagian hasil download-an di internet. Kalau waktu lengang juga kadang-kadang suka buka-buka, tapi baru sekarang kesempatan bawa pulang, dan ternyata aku jadi peminjam pertama. Di bagian belakang buku malah belum ada daftar peminjamnya, dan ini bukan yang pertama kali. Ngga tau deh, apa aku yang terlalu iseng membaca buku-buku yang ngga gitu berkaitan dengan kuliah, atau orang-orang yang udah terlalu sibuk. Gila, kalau gitu jangan-jangan aku terlalu banyak waktu luang ya?

Gara-gara minjem buku itu, tas ranselku nyaris ngga bisa ditutup, apalagi aku juga bawa Numerical Methods-nya Hoffman dan Leveque, yang kalau ditotal berjumlah 1000 halaman. Alhamdulillah tasku ngga jebol dan masih bisa ditutup. Hehe... tasku jadi menggembung dan bisa berdiri, lucu. Tau ngga, waktu aku timbang di rumah ternyata buku Wolfram itu beratnya 3 kg.

Bagaimana cara memindahkan 3 kg itu ke kepalaku? Kalau pakai imajinasi ala science-fiction, datanya bisa ditransfer. Asyik kali ya, dalam waktu beberapa menit, bahkan detik kalau udah canggih, aku jadi mengerti mengenai cara pandang sains yang baru. Kalau matematika tradisional terkait banyak aturan yang serba pasti, dengan menggunakan sains baru, sistemnya bisa lebih bebas. Thanks to teorema Godel yang dicetuskan sekitar tahun 1930-an. Hmm... ini masih rada versi ngawur, soalnya udah lama aku ngga dapat dongeng mulai dari Barbour hingga Dawkins. Wolfram ada di tengah-tengah, karena beliau menggunakan perangkat komputasi, yang mau ngga mau nantinya lari ke masalah intelegent design.

Huaa... seandainya ada yang mau ngedongeng lagi. Bagian yang masih keinget dalam kepala adalah fraktal. Dengan program yang sederhana, bisa diperoleh hasil yang kompleks. Dalam buku itu ada 255 rule yang tiap rules-nya dapat diperluas menjadi pola tertentu. Kayanya aku jadi tertarik ke pemrograman, tapi nyari buku ‘Programming for dummies’, enak kalau belajar buat main-main, gagal ngga ada yang tau, kalau berhasil jadi punya mainan baru. TA-ku juga asyik karena dosenku bisa menceritakan apa yang aku lakukan. Di buku Wolfram juga dibilang matematika tradisional itu rada-rada abstrak. Biar ngga ada galat, aku kutip aja. “It is usually assumed that mathematics concerns itself with the study of arbitrarily general abstract systems.” Huahaha... aku ngga tau harus membela atau mendukung pernyataan itu:D

TA-ku sekarang rada-rada abstrak, karena aku baru tau kalau bidang pembimbingku adalah analisis, awalnya aku kira terapan. Tapi karena disampaikan dengan asyik, akhirnya aku suka juga. O iya, pembimbingku itu sering mengingatkan, kalau baca buku math itu artinya harus sambil megang kertas dan pensil, padahal biasanya kalau baca aku cuma berbekal musik, dan suasana yang nyaman. Baru kalau muncul ide dalam kepala biasanya aku cari kertas kotretan buat menuangkan apa yang aku dapat, seperti apa yang aku lakuin saat ini. Hmm... beberapa hari ini sebenarnya aku targetin buat ngelanjutin permasalahan TA mengenai ganjil genap.

Dalam pembuktian yang aku lakukan, aku menggunakan skema Lax-Friedrichs. Sayangnya skema yang stencilnya berbentuk V terbalik tersebut agak bermasalah untuk yang ganjil. Kalau aku menggunakan skema Lax-Wendrof artinya aku harus membuktikan skema tersebut juga berlaku untuk 10 lemma yang lain, dan itu artinya aku harus nambah sekitar 30 halaman pembuktian lagi. Aaargh! Sekarang lagi nyoba ngakalin skema L-F biar berlaku untuk yang ganjil, dan ngga lucunya di buku acuanku, dibilangnya cuma: a similar estimate holds if k-p is odd. Ada dua kemungkinan, aku belum menemukan kesamaannya, atau similar tersebut berlaku untuk skema yang beda. Tapi kalau dari bentuk stencilnya, tampaknya rada mustahil kalau estimasi itu serupa dengan yang ganjil.

Belum ngubek-ngubek Hoffman sih. Di Leveque yang dibahas malah kebanyakan skema L-W, ada teoremanya lagi. Hmm... aku beresin masalah analisisnya dulu kali ya, tentang masalah keterukuran, integral Lebesque, dan permainan jepit menjepitnya Helly. Seneng juga wisudaku diundur, jadi ada waktu lebih buat nyusun bangunan analisis di kepalaku. Abis kalau presentasi di depan dosen, logikaku sering berantakan. Yang seharusnya asumsi jadi yang mau dibuktikan, trus ngga jelas mana yang diketahui dan yang mau dicari.

Ok, aku mulai susun sedikit demi sedikit. Awalnya mengenai keterukuran. Dari teorema yang besar, pembuktiannya dipotong menjadi 9 lemma, yang rata-rata menyoroti masalah keterhinggan, baru pada bagian belakangnya menyinggung masalah konvergensi. Tapi bosen ah, mending sekarang baca Hoffman dulu...

Friday, February 03, 2006

Buku vs Dompet

Musuh paling besar dompet adalah buku. Seminggu ini, kamarku kebanjiran buku. Ada yang dikasih, dipinjemin, hasil bajakan, dan beli. Gara-garanya ada pameran, bedah buku, dan waktu yang cukup luang. Belum lagi ditambah buku Analysis yang bikin keningku kerut-kerut ngga karuan. Hmm... coba aku daftar: dua buku Road Dahl(yang lanjutan Charlie and the Factory outlet, dan buku semi-autobiografi), dua buku Coelho(the Fifth Mountain dan The Zahir), Laskar Pelangi(nah, ini dapet pinjeman waktu ikut bedah buku bareng pengarangnya mas Andrea Hirata dari mba Yati), Dante Club(juga hasil minjem), 5cm, kamu ngga bakal ngerti(?, kalo ngga salah judulnya itu, karya Deborah Tannen), dan Sains & Dunia Modern-nya Whitehead.

Gara-gara kebanyakan buku dalam waktu yang bersamaan, malah baru sedikit yang berhasil kubaca. Laskar pelangi baru setengah, 5cm dan The Zahir udah tamat. Sebenarnya enak ada jeda dulu setiap kali baca buku. Sekadar ada ruang untuk merenung, tapi karena aku lagi senang menjejali kepalaku dengan informasi-informasi, akhirnya tancap terus. Kalau dalam tingkatan menikmati, kayanya aku bakal dapat nilai rendah, solanya membaca dengan rasa penasaran dan kasar akan mengurangi keindahan dan kenikmatan melewati halaman demi halaman.

O iya, Cinta dalam sepotong roti, lupa kusebutkan. Isinya indah, karena ditulis dengan kata-kata yang puitis. Perbincangan dengan angin yang bisa sedemikian intim. Huuaaa.... pengen bisa nulis kaya Fira Basuki. Pasti referensinya banyak banget, aku juga seneng baca dan nulis, tapi kayanya masih sebatas kenikmatan pribadi.

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...