Jum’at lalu akhirnya aku jadi juga balik ke Serpong. Pembimbingku dari minggu lalu berulang kali menanyakan kapan terakhir kali aku pulang. O iya pemicunya karena aku minta bimbingan Jum’at pagi karena mau pulang yang berlanjut ke pertanyaan kapan aku terakhir balik ke Jakarta. Akhirnya bimbingan malah dimajuin ke hari Kamis sore, biar aku bisa pulang pagi kata dosenku, trus maju lagi jadi Kamis pagi. Selesai bimbingan hari Kamis, pembimbingku bilang, “Udah Yut, pulang dulu sana. Kasih laporan ke rumah,” dengan mimik lucu. Ok, home, here I come...
Jam 7.30 aku meninggalkan rumah. Naik angkot ke Dipati Ukur disambung bus Damri. Udah lama juga ngga naik Damri, tarif yang terakhir kuingat Rp 900, tapi sekarang udah jadi Rp 1600. Mungkin sejak kenaikan BBM beberapa waktu lalu. Enaknya naik bus rame-rame, aku bisa asyik ngeliatin orang-orang, apalagi aku dapat tempat duduk yang di tengah(bukan yang dekat jendela). Mulai deh berkhayal, dengan mengambil tokoh-tokoh orang yang kulihat. Orang-orang berbaju rapih yang mungkin hendak berangkat kerja, orang-orang setengah dewasa yang kira-kira sepantaran denganku sambil membawa tas ransel, dan juga golongan orang yang di pagi hari sudah menampakkan gurat-gurat lelah.
Pemandangan yang menjadi favoritku adalah ibu dengan bayi. Selalu ada ketidaklaziman didalamnya, tindakan tiba-tiba yang dapat menenangkan mulut bayi yang sudah hendak mengeluarkan jerit tangis, atau sedikit permainan tangan dan raut wajah yang dapat membuat sang bayi tersenyum. Interaksi dua sosok beda generasi tersebut senantiasa menjadi embun bagi kehidupan bagi yang berjalan demikian cepat. Mulut-mulut orang yang terkatup dengan wajah mengeras, tas yang didekap erat, atau terkadang wajah orang yang terlelap. Namun dalam dunia ibu dan sang bayi, keadaan itu tidak berlaku. Waktu tampak melunak dan membebaskan keduanya dari jerat cemas, dan kejaran detik yang terus melaju.
Tak terasa aku sudah sampai di terminal Leuwi Panjang. Langsung aja aku melangkahkan kaki ke bagian tempat bus yang menuju Jakarta. Pertama kali naik bus, tampangku masih rada ragu-ragu, dan mungkin sedikit lugu. Alhasil banyak calo yang menarikku kian kemari, dan membuatku malah bertambah bingung. Tapi sekarang aku sudah bisa menampilkan wajah cukup meyakinkan. Hehe... sebenarnya orang yang cukup jago menilai seseorang dari wajah adalah para penjual asongan yang masuk sebelum bus beranjak. Bagiku teknik mereka lebih canggih dibandingkan dengan penjual di pasar tradisional, karena terikat oleh waktu dan tempat seadanya.
Cara berjualan di atas bus seperti menonton pertunjukkan seni dengan panggung di dekat tempat sopir dan kursi-kursi penonton yang memanjang ke belakang. Ada yang menggunakan teknik berbicara di depan sebentar kemudian memberikan contoh barang kepada para penumpang yang kemudian diambil kembali, ada juga yang hanya berkeliling sambil melakukan personal approach. Aku ngga tau pasti, mana yang lebih efisien, tapi aku salut dengan yang melakukan personal approach, terutama yang waktu itu membujuk aku membeli taoco.
Gara-gara aku selalu gagal untuk menahan senyum, ada penjual taoco yang membujukku hingga waktu kurang lebih 10 menit. Gila.... dari pengamatanku selama ini, seorang penjual memiliki beberapa level pendekatan ke penjual, dan 10 menit itu merupakan rekor tersendiri dalam sejarah penawaran di atas bus. Hal ini juga berlaku di toko-toko elit yang ada di mal, dengan standar waktu dan kebiasaan yang berbeda. Level paling rendah adalah pembeli iseng yang hanya eye shopping. Penjual biasanya hanya mengamati orang-orang pada level ini atau kalau di dalam bus, hanya menawarkan barang dagangan sepintas lalu.
Level kedua yang menunjukkan tanda-tanda tertarik. Nah, kalau udah mulai ada tanda tertarik biasanya penjualnya mulai bercerita mengenai keunggulan suatu produk. Umpan balik diperoleh dari ekspresi orang mendengarkan promosi si penjual. Kalau ngga minat beli seharusnya pasang tampang cool, trus gerakkan tangan sedikit sebagai tanda penolakkan. Dalam kasusku, aku selalu ingin tahu. Jadi bukannya pasang tampang cuek, penjual taoco itu malah aku liatin. Belum cukup parah, aku ngga bisa nahan senyum ngeliatin penjual itu mempromosikan barang dagangannya. Tau ada peluang, penjual itu menurunkan harga, sambil menerapkan beberapa jurus lagi. Lha, aku makin cengar-cengirlah, dan cengar-cengirku itu nular ke si penjual. Kebayang kan tawar menawar yang malah jadi semacam parodi, akhirnya aku tetap ngga beli taoconya tapi penjual tersebut melengang dengan sebuah senyuman di wajahnya. Huahaha... harus belajar jaim nih...
Di perjalanan ngga ada hal menarik, ya... terutama karena sebagian besar aku isi dengan tidur. Ketika melewati Mal Taman Anggrek sempat ada bunyi sirene, tapi aku tidak tau ada kejadian apa. Belakangan aku tau beritanya dari TV, telah terjadi kecelakaan. Saat itu, hujan mengguyur cukup deras, pemandangan dari balik jendela jadi tampak seperti lukisan yang luntur.
Ketika aku sampai di rumah, jam menunjukkan pukul 13.20. Ibuku sudah siap-siap berangkat ke kantor lagi. Di dapur, mba Atun sedang sibuk dengan serabi-serabinya. Hehe... penyambutan anak ilang dari Bandung yang disambut dengan serabi favoritku. Bukannya makan nasi, aku malah memilih makan serabi-serabi polos tanpa gula pendamping.
Glad to be home again....
1 comment:
Kembali menjadi Yuti Ariani ya?
Post a Comment