Hal yang menyenangkan dalam ilmu sosial adalah bertemu dengan beragam manusia. Mengenal karakter, kebiasaan dan juga penggunaan bahasa. Seperti kemarin, saat re-check berita yang kubaca lewat Google kepada salah seorang narasumberku melalui sms. Balasan yang khas langsung kudapatkan. Dari beberapa kali meng-sms, aku memperoleh pola yang sama. Pola serupa aku temukan pada pembimbing S1-ku. Bahkan dulu waktu masa bimbingan lebih lucu lagi, waktu aku mengucapkan terima kasih sesudah bimbingan dan membantunya memasukan nilai, beliau malah berujar, “Wah, Yut, harusnya saya dong yang terima kasih.” Atau rebutan siapa yang salah ketika aku presentasi di depan dosen-dosen se-KK.
Penggunaan bahasa dan kebiasaan kemudian menjadi hal yang cukup krusial. Meski niat mungkin sama, namun karena penggunaan bahasa yang berbeda, penafsiran serta kesan sangat mungkin akan berbeda juga. Seperti bagaimana mengartikan bahwa seseorang santun, baik, atau perhatian? Dalam bahasa yang berbeda, perhatian bisa diartikan mengekang, mengikat, bisa pula diartikan sebagai memiliki perasaan khusus, atau bisa juga sekadar perbuatan etis manusiawi. Begitupula dengan membiarkan. Bisa ditafsirkan dengan percaya, tidak perhatian, ataupun tidak peduli. Masing-masing memiliki degradasi positif yang dipengaruhi latar belakang kedua belah pihak.
Sama halnya dengan cinta…
Seperti kata Shakespeare, “The one you love, is the one you hate.” Ketika seseorang jatuh cinta, muncul ekspektasi pada zat diluar pribadi yang muncul dari bayangan kita mengenai orang/zat tersebut. Muncul tuntutan-tuntutan dari gambaran ideal yang bisa jadi sama sekali keliru, dan pada akhirnya hanya akan menyakitkan kedua belah pihak. Sang pecinta, sakit karena ekspektasinya tak sampai, dan orang yang dicinta, sakit karena dipaksa untuk memenuhi gambaran tertentu. Keduanya bisa sama-sama berbicara tentang cinta, bahwa semua ini dilakukan demi dia yang dicinta, tapi bukankah itu hanya ilusi cermin? Ilusi rapuh yang bisa buyar seketika ketika satu belah pihak tak kuasa menahan segala gambaran. Lelah dengan kepura-puraan yang ia lakukan juga atas nama cinta, agar ia yang dicinta bahagia.
NB: penggunaan bahasa disini seperti teks dalam kajian budaya.
Baru nyadar, kalau aku sering banget menyebut-nyebut Mbah Goo di blog ini, hehe
5 comments:
hmm ..
jadi rupanya cinta itu gak ya ... :)
met hari raya id fitri ...
dei
sama-sama dei..
Perjalanan mudik, memberi ku ide lagi Ti. Bagaimana komunikasi antara orang yang satu dengan orang yang lain, yang secara hubungan darah dekat, namun secara kehidupan keseharian jauh.
Bisa karena memang hidup berjauhan, masing-masing sudah punya keluarga sendiri.
Juga usia yang semakin bertambah.
Hmmm, yang tulisan tentang cinta itu... pengalaman pribadi kah? ;p
iya dong, hehe. kenapa sih ada orang yang pede banget kalau apa yang dilakukannya baik, padahal implikasi dari apa yang dia anggap itu jelek. aaarggh!
Post a Comment