Monday, December 31, 2007
Chaos
Sial. Nada marah yang ia ungkapkan tak bisa menutupi luka yang tergambar jelas di matanya. Aku lebih memilih melihatnya meluapkan amarah daripada menghadapi dinding pertahanan. Kenapa harus dibuat sulit, kenapa ada banyak sekali sekat untuk melihat apa yang di dalam, dan terlebih, bagaimana dia mau meyakinkanku untuk percaya?
Topeng itu masih terpasang erat, meski perlahan mulai goyah. Aku tak tahu apa yang terjadi jika dinding itu runtuh. Seperti masuk ke putaran chaos dalam saluran air. Kondisi yang dimana tak ada jalan kembali...
Friday, December 28, 2007
Sidang
Anehnya aku tak merasakan ketegangan seperti yang kuhadapi ketika sidang S1. Mungkin karena semuanya dilakukan dengan santai, dan lingkungannya relatif lebih kecil hingga aku merasa nyaman. Memasuki zona nyaman, memang sedikit membahayakan. Insting bisa tumpul, dan jadi lembam. Harus mulai melakukan hal-hal lain, mungkin memiliki resolusi ada baiknya juga. Yang jelas, prioritasku untuk beberapa waktu ke depan adalah mencari beasiswa. Setidaknya aku mengatakan ini berulang kali untuk meyakinkan diriku sendiri. Aku sendiri menjalaninya dengan santai, selama batas-batas minimal sudah terpenuhi. Toh, dalam menjalankan hidup tak perlu ada sesuatu yang kaku, kalau dalam bahasa matematika, epsilonnya ngga usah terlalu kecil, sehingga walau blentang-blentung masih bisa konvergen. Huahaha...
Wednesday, December 19, 2007
Senja (2)
“Kenapa kau masih membelanya?”
“Karena aku tak punya alasan untuk melakukan sebaliknya.”
“Meski apa yang diperbuatnya salah?”
”Salahkah ia ketika hendak mengejar legenda pribadinya?”
”Tapi hal itu merugikan ...”
”Benarkah, bukan karena hatimu yang kecewa?”
”...”
”Kecewa tak mengenal logika, sama halnya seperti cinta. Imaji yang kau bangun atas dirinya, pada akhirnya hanya akan berbalik padamu.”
”Artinya kau tak punya harapan padanya? Itu bahkan lebih parah daripada kecewa.”
”Entahlah, aku hanya merasa ketika seseorang melakukan sesuatu yang merupakan hasrat dirinya, maka ia akan menemukan kesejatiannya.”
”Karena itu kau masih sebal dengan apa yang kau kerjakan?”
”Salah satunya. Aku memang bisa mencari dimensi-dimensi yang menjadi inginku, tapi hasratku tak disana. Setumpukan data, analisa atau apalah, tapi tetap saja semuanya berasal dari sesuatu yang bukan aku.”
”Karena itu kau menuntut lebih?”
”Ya, karena pada akhirnya aku membutuhkan motivasi dari luar.”
”Kemana logikamu yang biasa?”
”Logika hanya membungkus rasa, karena semuanya merujuk pada asumsi dasar.”
”Aku lupa, semua orang kau kacaukan dengan logikamu yang tak biasa itu.”
”Haha, kau baru tahu sebagian kecilnya saja.”
”Jadi nanti kau akan kembali pada tema itu?”
”Kalau aku memutuskan untuk melanjutkan, tampaknya ya.”
”Meski tak ada aspek pembangunan?”
”Kau terlalu mempersempit pemahamanmu atas ruang itu, lagipula bukan wujud yang menentukan sesuatu itu baik atau tidak, tapi apa yang ada di dalamnya.”
”Aku mulai mengerti alasanmu membelanya.”
”Aku memang bisa mencari celah dari dirinya yang bisa dikritisi, tapi aku memilih tak melihat dari sisi itu. Karena itu aku sangat parah dalam memberi kritik, aku memilih untuk melihat dari sisi humanisnya.”
”Seperti pemilihan jurnalisme damai atau perang?”
”Seperti itu. Ya.”
Wednesday, December 12, 2007
Senja
“Biarkan imajimu mengabadikannya saat senja.”
“Kenapa senja?”
“Karena saat itulah ia hadir dalam kesejatiannya.”
Kata-kata itu terus terngiang dalam benaknya. Kenapa sulit sekali menangkap senja orang tersebut? Perbincangan dengannya lebih mirip permainan catur yang menyenangkan karena permainan itu sendiri, bukan karena apa yang terjalin. Sebuah relasi yang tak pernah disukainya, karena ia hanya dapat meraba-raba, tanpa tahu benar apa yang dipijaknya. Terlalu banyak wajah yang ia hadapi hingga kesejatian hanya hinggap sejenak tanpa pernah benar-benar tampak. Ataukah ia memang menghadapi teka-teki? Layaknya kotak Pandora yang hanya akan mengeluarkan tragedi ketika disibak?
Ia benar-benar tak mengerti. Segala cara hanya melahirkan strategi, lagi-lagi. Seolah kehidupan orang itu memang untuk memanfaatkan atas nama ideologi. Oh, sudahlah, ia lelah dengan dongeng usang itu. Tak perlu bersembunyi pada sesuatu yang suci jika hanya ingin menarik seseorang dalam sebuah kepentingan. Apalagi jika dilekatkan pada sesuatu yang murni, ia benar-benar jengah. Memilih untuk frustasi atau binasa dalam zaman? Pilihan yang benar-benar suram. Alternatif lain mungkin menggunakan beribu topeng agar dapat berubah warna sesuai kebutuhan. Haruskah ia mengalah kalah dan berbalik arah?
Saat ini ia benar-benar tak menyukainya...
Friday, December 07, 2007
Diam
Ia mengangguk.
Sehelai kelopak bunga ungu mengiringi langkahnya pagi itu. Sudah lama ia tak melewati gerbang itu dengan berjalan kaki. Biasanya ia lebih memilih gerbang belakang, ataupun menggunakan kendaraan. Tapi kali ini ia memilih menapaki kembali jalan itu seperti dulu. Gedung-gedung sudah banyak berubah, bangunan kayu mahasiswa yang dulu berada di tengah kampus kini berganti menjadi bangunan putih yang megah. Dari cerita yang ia dengar, rancangan bangunan itu hendak menambahkan kesan futuristik di kampusnya tercinta, selain bentuk klasik beberapa gedung yang telah ada sebelumnya.
Ia tak pernah mengira akan meninggalkan bangunan-bangunan ini dalam waktu segera. Usahanya untuk bertahan terasa sia-sia. Mimpi-mimpinya yang sempat ia tanamkan dan perjuangkan terasa mentok ketika dihadapkan dengan seseorang yang dulu sempat dekat dengannya. Ruang yang terlalu sempit, atau siapa yang terhebat harus selalu ada?
Bisa saja ia mengungkapkan berbagai teori untuk menjelaskan kondisi yang ada. Tapi ia tak ingin energinya terbuang percuma. Apalagi emosi bukan sesuatu yang bisa dikonstruksi begitu saja. Apalagi jika berkaitan dengan pengakuan dan maskulinitas.
NB: ada yang negrasa ga ya? hehe, lagi mencoba mengkonstruksi sesuatu...
Wednesday, December 05, 2007
Dialog
Gw: Gw? Bukannya sifat melankolik lo yang bikin semuanya kaya gini. Lo kan yang mau semuanya berpusat ke diri lo, padahal semua orang punya masalahnya sendiri.
Aku: Tapi kan dulu bisa...
Gw: Stop comparing people, sampai kapan lo mau hidup dalam bayang-bayang...
Aku: Jangan so' bersih!
Gw: Wow, akhirnya keluar juga sisi hitam. Selamat!
Aku: Karena kamu...
Gw: Ayolah, sekarang bukan saatnya menyalahkan orang lain. Saatnya untuk berdiri dengan kaki sendiri, lagian kan udah ada beberapa orang yang nyemangatin.
Aku: Hei, kita bertukar peran.
Gw: Iya, bolehlah sekali-kali gw yang jadi sisi bijaknya, hehe
Sunday, December 02, 2007
Cinta Beda
Jarum pendek menunjuk angka 11, namun dia belum juga beranjak dari depan komputer. Matanya masih asyik memandangi layar monitor yang terhubung internet, membawa imaji melesat meninggalkan ruang yang ditempatinya, meninggalkan rembulan yang memancarkan cahaya temaram di luar sana, dan rentang waktu yang masih tetap belum bisa menjawab pertanyaan mengapa.
Segalanya terasa begitu sempurna. Tawa bersama ketika melihat kucing yang kakinya tersangkut dalam kotak makan, perbincangan serius ketika melihat pengemis dengan tangan buntung, atau menikmati hujan dalam hening. Tanpa perlu berkata, dia sudah tahu apa yang diinginkannya, begitu pula sebaliknya. Saat dia mulai tertelan dalam segala rutinitas yang membuat tawa berdua itu menjadi kian jarang, dia masih menemukan senyumnya, senyum yang dia temukan kali pertama mereka bertemu. Senyum tanda mengerti bukan?
Mulanya ia mengira semuanya akan indah. Binar matanya ketika menceritakan mengenai fenomena semesta dari kelahiran bintang hingga anak jalanan, akhirnya berbuah binar mata yang memutuskannya untuk berpisah. Kecintaannya pada kehidupan tak jua memudar meski keadaan kini sudah banyak berubah. Pernah ia mencoba mengikuti semua yang disukainya, buku, manusia, semesta, diskusi, menenggelamkan diri dalam berbagai kegiatan agar ia memperoleh perhatiannya kembali. Tapi dia malah kian melesat pesat. Apa yang salah?
Perubahannya membuat dia gundah. Akankah dia tetap menjadi pusat hidupnya? Pertanyaan itu terus menghantuinya, pertanyaan yang membuat ia kian larut dalam buku dan ketikan di malam hari. Meski lelah, dan gelisah, aku takkan menyerah.
-yuti ariani(04/11/07)
Times New Roman
Ok, sedikit main logika:
Jika membeli makanan, maka Anda akan mendapat bon.
Jika Anda mendapat bon, maka uang dari kas negara bisa keluar.
Kalau kondisinya adalah:
Serahkan bon, maka Anda akan mendapat uang, secara logika seharusnya kegiatan makan itu sudah terlaksana, tapi nyatanya ngga, ditambah masalah tanggal-tanggalan. Aaaargh! Kehidupan yang aneh, apalgi aku ngga biasa main di domain teknis. Biasanya aku orang di belakang layar, jadi belajarnya benar-benar dobel. Waktu di math, urusan administratif yang bantuin pembimbingku, ampe aku pernah ditanya begini ama orang TU, "Kamu mau mengikuti aturan ITB atau pembimbing?" Tentu aja aku milih yang sederhana, bukan melanggar atau bandel, tapi yang simple aja.
Kenapa sih, sesuatu yang sederhana harus dibuat rumit, dan ini termasuk si Times New Roman ini nih. Masa udah nulis cape-cape, dengan sepenuh hati, tenaga, waktu dan pikiran, akhirnya harus hadir dengan tulisan Times New Roman. Gila, bikin sakit mata aja. Padahal di math, aku nulis ngga pakai standar itu. Jadi kalau ada yang bilang seorang matematikawan kaku, itu mitos banget. Yang jelas dari segi penulisan karya ilmiah, di math jauh lebih fleksibel. Kata dosenku yang sekarang, ganti aja, toh tulisan bukan sesuatu yang esensial. Well, coba aja ngomong kaya gitu ke anak DKV, pasti jawabannya ngga banget, atau kalau bikin program dengan struktur semua rata kiri. Aku pernah diketawain ama teman, karena struktur penulisan programku ancur banget, jadi susah dimengerti, meski sama-sama jalan. Intinya mah, penampilan itu ngga bisa dipisahkan dengan isi, dan font TNR masih bikin mood-ku ngilang.
Komprominya sih, aku nulis pakai font lain, trus di bagian akhir tinggal di ganti. Masalahnya, gambar-gambarku jadi belepotan, karena ada pemenggalan halaman yang ngga pas. Belum lagi aku jadi bete karena jadi jelek.
Target besok tesis beres nih, pengen tahu komen pengujiku soalnya...
Untuk Papa
Papa … Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat Tapi jasa papa tetap melekat Hangat itu tetap mendekap ...