Dear Kemala,
Maafkan aku karena tak menjumpaimu di taman setahun yang lalu. Aku berdiri di sana dengan segala kekuatan untuk tak melangkah mendekatimu. Aku mencoba menjadi ksatria dengan mencoba percaya bahwa mencintai berarti melepaskan kau pergi. Tapi nyatanya aku tak lebih dari seorang pengecut karena tak berani menghadapi perasaanku sendiri. Aku melihatmu menunggu. Mengamati wajahmu yang menyiratkan sejuta rasa antara harapan, cemas, dan kemudian pasrah. Kau pantas marah padaku dan saat kau memperoleh surat ini, mungkin kau sudah melanjutkan hidupmu. Aku berharap kau bahagia, tapi dengan segala keegoisanku, aku berharap kita dapat kembali bersama.
Setahun ini berjalan begitu pelan. Aku mencoba melakukan segala agar bayangan dirimu enyah dari kepala. Namun sedalam aku mencoba, sejauh itu pulalah dirimu kian merasuk ke seluruh tubuhku. Seperti kau lihat, aku tak pandai berkata-kata. Bahkan otak kiriku yang dulu senantiasa bisa kuandalkan kini mendadak menjadi tumpul. Kalau dulu aku bisa menyusun langkah-langkah, kini jalan itu tak lagi berarti.
Aku tahu untuk membebaskan diriku, aku harus melupakanmu. Tapi hingga detik aku mengetikan kata-kata ini untukmu, aku tidak mampu.
Katakanlah apa yang ada di pikiranmu dan aku akan mengikutinya. Kalau kau menginginkanku enyah, aku takkan lagi menyapamu. Kalau kau ingin aku terbang untuk menjumpaimu, aku akan melakukannya. Aku hanya memohon kerelaanmu untuk membalas kata-kata ini.
Yours,
Andre
No comments:
Post a Comment