Tuesday, October 09, 2018

Jakarta

Satu dekade telah berlalu semenjak aku bekerja di kota itu. "Aku tak mau bekerja di sana lagi," batinku. Rupanya satu dekade adalah waktu yang cukup untuk mengubah pendirian seseorang. November nanti aku akan mulai kembali di kota yang kupikir tidak bersahabat. Memasuki sebuah dunia yang mulanya juga tak pernah terpikirkan sebelumnya, jurnalistik. Satu dekade lebih di dunia akademik hingga akhirnya memilih pergi.

Pertimbangannya sederhana, jodoh itu seharusnya mudah. Kalau kampus berulang kali menolakku, sampai kapan aku harus menunggu? Pemikiran ini muncul ketika aku berbincang dengan dosenku yang sudah lebih dari 10 tahun tidak aku temui.

"Memangnya kampus ini harga mati? Buat apa menanti sesuatu yang hanya bertepuk sebelah tangan?"

Pertanyaan retorik itu seolah menegaskan semua yang sudah aku pikirkan selama ini. Kadang jika berada di zona nyaman, kau akan bertahan dan berpikir, lebih baik bersabar, ini untuk yang terakhir kalinya. Sayangnya yang terakhir kali ini menjadi suatu yang tidak berkesudahan. "Sedikit lagi, ini yang terakhir" ... "sudah sampai sini, sayang kalau tidak dilanjutkan." Kau tidak bahagia, tapi kau menguatkan diri karena berharap ini pengorbanan yang harus kau lakukan.

Well, that's bullsh*t. You just need to move on and leave all those empty promises behind.

Jadi ketika semua proses lamaran di Jakarta berjalan dengan lancar, aku memutuskan ini saatnya untuk melangkah. Untuk menutup mata atas semua ketakutan and just do a leap of faith. If you've done your prayer and asked Him for the best, you just do it.

1 comment:

Anonymous said...


https://www.youtube.com/watch?v=FIzccz1UOMI

dei

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...