Wednesday, September 29, 2004

Lima Tahun

Lima tahun tak ada kabar. Tau-tau ada pesan di friendster isinya, "Pasti dah gede." Umur cuma beda setaun tapi bahasanya udah kaya bapak-bapak. Tampaknya lima tahun waktu yang cukup lama untuk merubah seseorang. Meski dari puisinya ada sebuah pencarian yang dalam seperti dulu. Ada banyak yang telah berganti, seperti usia yang kadang memaksa manusia tiba pada suatu tahapan, dimana mau tak mau ia harus bertanggungjawab. Tapi pencariannya tetap sama, kegamangannya, kejujurannya dan mungkin spontanitasnya. Sesuatu yang kini juga kujalani...

Sedih

Kemarin dulu saya mimpi gigi copot. Setengah percaya, setengah ngga tapi kata orang kalo mimpi gigi copot bakal ada suatu hal yang jelek. Dan entah nyambung apa ngga, dua hari ini rasanya sedih terus. Padahal ngga ada penyebab yang jelas, kalo orang tau ada masalah trus bad feeling, kayanya wajar. Tapi ini koq sedih tanpa alasan ya?! Bingung... Semoga saja Allah senantiasa menjaga orang-orang yang saya sayangi..

Adakah?

Adakah tersia?
Melewatkan kasih-Nya pada bulan mulia
Tenggelam dalam deru sang waktu
Bermain-main dengan roda peradaban
Namun bukan sebagai dalang
Melainkan manusia hampa
yang asing pada dirinya

Adakah sedikit makna?
Manakala manusia kian jengah
Dalam keindahan yang tiada
Kisah pendahulu berulang
Berganti topeng agar tak bosan
Terperangah, kemudian kembali terdiam

Adakah tabir tersibak?
Ketika alam menjadi tanda
Bagi pecinta yang merindukan-Nya
Terkuak dalam malam-malam panjang
Penuh harap dan keintiman
Abadi dalam waktu dan ruang

Adakah perubahan?
Lekat dalam tasbih alam
Menyerukan keagungan Sang Maha
Bernafas, menghirup, merasakan
Kehidupan…
Saat manusia kembali menjadi manusia

Marhaban Yaa Ramadhan…

(Sya’ban 1425 H)

Wednesday, September 15, 2004

Hitam/putih

Tadi iseng nyari nama sendiri di Mbah Goo, untung aja blog ini ngga keluar. Dulu pernah ada yang nge-sms jadi yang 12 malem cuma buat bilangain blognya keren. Eh, bukannya mo' narsis kaya judul tulisan ini, tapi serem aja. Pertama karena blog ini meski udah disensor tetep aja rada nyleneh atau mbeling ya.. lagi suka ama kata itu. Biasanya sih, gw bikin tulisan agak serius di rumah, tapi entah kenapa setiap kali ngeliatin blog pengennya nulis yang rada beda. Kaya kemaren nulis tentang ekonomi, nyangkut-nyangkut Samuelson segala, tapi ngga asyiklah.

Kemaren sempet mau nulis edisi kelabu segala. Tapi tadi udah baikan, ternyata pulsanya abis. Bener banget kata-kata 'Kita ngga bakal merasa seseorang berarti sampai kita kehilangan.' Abis biasanya rajin banget nyapa tapi kemaren nge-sms ngga dibales-bales. Boleh..ngga..boleh...ngga... bukannya batasannya cuma ngga boleh berkhalwat, ikhtilat trus jagalah hati, jangan kau kotori... Kayanya selamat deh dari syarat-syarat itu. Hua..ha.. pembenarannya udah parah banget. Mana mau Ramadhan lagi.. cayo yut semangat membenahi diri, bersihkan hati. Seandainya hidup ini sederhana...

Monday, September 13, 2004

Kenangan

Kemarin guru IC datang ke Salman, ngga semepet ketemu sih. Tapi namanya saja sudah mampu menghadirkan berbagai macam kenangan. Satu hal yang paling saya ingat sapaannya, "Kaifa haluk, yut?" Pertanyaan yang selalu saya jawab dengan "haluk-haluk." Saya selalu ingat guru saya itu akan protes dan ngasih tau jawaban yang benar, tapi saya cuek aja. Abis untuk anak negri ujian pelajaran tauhid pake bahasa Arab. Sampe pernah satu kali ada soal menjodohkan saya jawabnya cuma satu huruf, biar probalbilitas benernya 10%, daripada salah semua,he..he..

Ternyata kenangan-kenangan itu ngga bisa ilang dengan cepat. Setiap kali ada kabar atau acara kumpul bareng, saya tidak bisa menghentikan gambar-gambar yang menyerang dengan tiba-tiba. Seperti tadi ketika ngecek friendster, ternyata salah satu kakak IC-ku udah nikah. Wah, cepat juga dia mengubah statusnya. Saya ingat banget tindakan-tindakan dia yang bisa dibilang kontroversial versi sekolah, hingga dia memutuskan keluar karena ngga masuk IPA. Untungnya, pemikirannya yang visioner tidak pernah terhambat oleh apapun. Terakhir denger kabarnya dia jadi ketua BEM Fakultas Teknik UI. Jadi inget waktu dia ultah trus ngerayain ampe jam 12, diluar udah ada guru yang ngawasin anak-anak Mading, terpaksa lampu dimatiin, wah.. jadi kangen masa lalu...

Tuesday, September 07, 2004

Bo..

Permainan dimana kesabaran memegang peranan. Seperti catur, incar mengincar menyusun strategi untuk menangkap sang perdana mentri, kemudian sang raja. Tapi ini nyata...

Naik Mobil

Edisi katro.
Hipi.. tadi diajak naik mobil buat ngambil bahan kuliah pemodelann ama dosen. Baik banget... dosennya. Lumayan buat nambah spirit, entah kenapa hari-hari kemarin langit tak secerah biasanya... Hua.. melow banget

Monday, September 06, 2004

Kontinu dan Diskrit

Hmm.. pagi-pagi udah dapet temen diskusi. Tapi sebenernya kata diskusi juga memiliki tendensi khusus, apa batasan antara diskusi dan ngobrol. Wah, males banget pagi2 udah ngomongin definisi. Nah, tadi via messenger, saya ngobrol tentang kontinu dan diskrit. Ngga asyik kalo terlalu teoritis, jadi bagaimana kita memandang kehidupan? Pasti kontinu kan, kejadian-kejadian yang saling mengait membentuk sebuah peradaban. Bagaimana kalau kita mengambil sekelumit waktu dan mulai membuat target-target dalam kurun waktu tertentu? Apakah dengan demikian kehidupan berubah menjadi diskrit, seperti sebuah model matematis yang dimasukkan dalam program dengan pendekatan tertentu? Tampaknya ketika kita mulai membuat batasan2 tanpa kita sadari, semua berubah menjadi parsial, aku kamu, sekarang-masa lalu, dan kemudian holistik berubah menjadi sederetan pendekatan yang diklaim sebagai representasi kenyataan.

Thursday, September 02, 2004

Filsafat

He..he.. kata yang bisa bikin orang freak out. Tapi kayanya dalemnya lucu, lagian kan kata gurunya Sophie, yang diperlukan untuk jadi seorang filosof adalah rasa ingin tau, dan ngga mungkinlah manusia bisa terbebas dari rasa itu. Kemaren temen saya ada yang ngasih warning, hati2 ama filsafat. Soalnya ada temennya yang jadi gila. Hi.. serem juga, dulu juga pernah ada yang ngingetin kalo mo' belajar filsafat harus punya guru. Daripada bingung, mending pake definisi gurunya Sophie aja, artinya semua orang adalah filosof. He..he.. narik kesimpulannya bener ngga ya?!

From A to Z

Kemaren dulu ada buletin lucu nangkring di sekre. Kata kang Firman sih itu untuk kalangan underground tapi tetap dengan mengusung ideologi Islam. Wah, isinya keren abis. Mulai dari Revolusi Perancis, Bolsyewijk, revolusi tauhid yang dibawa oleh Rasulullah, semuanya masuk. Tapi bukan itu aja, buletin itu juga cukup punya dasar untuk berjuang. Kalo ada yang bilang sejak pelopor punk di Inggris(grup Sex ‘n Pistol yang awalnya berupa grup musik perlawanan terhadap kemapanan, tapi belakangan malah gabung ama major label) berkhianat terhadap perjuangan underground, banyak yang nganggap aliran punk--yang banyak ditandai dengan busana tertentu--udah mati(kalo ngga mati kehilangan arah geraknya). Boleh aja pake baju Che, atau lambang bintang merah, tapi kalo ngga tau bentuk perjuangan Che ngelawan Amrik di Kuba sama aja bo’ong. Ngga lucu kalo bilang Amrik busuk karena itu ngelawan arus tapi ngga tau kenapa. Lebih parah lagi yang make merchandise anak punk biar dibilang keren. Wah, itu sih ngga ada idealisnya sama sekali.

Emang agak susah ngebedain yang mana yang masih idealis atau ngga, abis bentuk luarnya bisa sama persis. Bukan di komunitas punk aja yang kaya gitu, semua orang punya topengnya masing-masing. Kaya cerita temen pas SMP, dia nyaris ngga mengenali dirinya di sekolah karena harus memasang banyak topeng agar bisa diterima kalangan tertentu. Dia ngaku koq hidupnya hampa…

Gimana dengan suku yang relatif masih agak tertutup, apakah resistensi mereka terhadap listrik dan bentuk-bentuk modernitas merupakan sebuah bentuk perlawanan, ataukah kesederhanaan yang mereka jalani merupakan sebuah pilihan sadar. Waktu main ke Badui, larangan untuk memakai sabun, peraturan mengenai penggunaan air dan tidak adanya istrik, lebih banyak bersandar pada penjagaan mereka terhadap kelestarian alam. Tempat tinggal mereka yang dekat dengan aliran sungai memudahkan pengaturan tempat untuk mencuci, mandi, buang air dll. Masing-masing ada tempatnya sendiri sesuai dengan aliran air. Ada juga larangan terhadap hewan-hewan tertentu, seperti tidak boleh memelihara dan memakan kambing, dan ada beberapa jenis lain tapi saya lupa. Semua aturan tersebut diatur oleh tetua adat yang dipanggil pu’un. Menurut penuturan warga Badui, pu’un tersebut sering berbaur dengan masyarakat tapi dengan menggunakan pakaian biasa, sehingga pelancong tidak tahu yang mana pu’un dan mana yang warga biasa. Keistimewaan pu’un terletak pada tempat tinggalnya yang terpisah, dan termasuk wilayah terlarang.

Kalau dibilang mereka menutup mata terhadap kemajuan, kayanya ngga juga. Buktinya beberapa orang dari mereka sudah ada yang pergi ke TMII untuk berdagang(mereka udah kenal uang koq). Perjalanan dengan bertelanjang kaki bisa memakan waktu 2-3 hari. Kadang mereka bertemu kenalan, hingga memperoleh tumpangan, tapi kadang mereka hanya mengandalkan otot untuk sampai ke tempat tujuan. Ketika ditanya bolehkah mereka naik kereta gantung yang ada di TMII, mereka menjawab harus nanya pu’un terlebih dahulu. Pokoknya pu’un serba tahu, dan inisiatif nakal seperti, lho kalau belum ada peraturannya, sah-sah aja ngambil keputusan sendiri ngga ada dalam benak mereka(setidaknya ketika salah seorang badui ditanya, ia menyerahkan semua persoalan pada pu’un). Secara administratif mereka tercatat sebagai orang Islam, tapi dari segi kepercayaan yang dipraktekkan orang-orang Badui lebih dekat ke animisme. Kalau udah berada diluar daerah badui, mereka boleh pakai sabun, tidur di atas tidur atau menggunakan listrik. Pokoknya merasakan penemuan-penemuan Eddison, tapi kalau mereka sudah kembali ke Badui dalam semua itu harus mereka lupakan.

Bagaimana dengan muggle? Bukan darah campuran antara penyihir dan manusia, tapi perkawinan dengan badui dalam dan badui luar. Biasanya sih keluarga baru tersebut akan mengikuti pihak suami, jadi boleh-boleh aja jadi warga badui dalam, selama dia mau ngikutin peraturan yang ada. Pakaian badui luar yang lebih modis(lumayan, batik dengan corak khas berwarna biru) harus berganti dengan baju hitam dan putih, bagi pria ada semacam sorban hitam yang menjadi khas. Tapi kalo dari pengaturan dan kebersihan badui dalam jauh lebih tertib. Rumah-rumah panggung badui dalam yang lebih tinggi jika dibandingkan badui luar relatif lebih bersih. Ngga enaknya nginep di badui dalam cuma hawa dingin yang membuat semua rombongan ngga bisa tidur. Udah pake baju berlapis-lapis, tetep aja menggigil kedinginan, yang bisa tidur nyaman hanya orang yang tidur deket tungku di dapur. Kalau ada yang berpikir, kehidupan seperti apa yang ditawarkan suatu komunitas tanpa listrik dan sabun, maka jawabannya harus dikembalikan ke diri individu masing2, bukankah kita semua terperangkap dalam sebuah rutinitas, dan hidup ditempat dimana semua masalah sangat sederhana dan teratur karena terikat oleh hukum adat tentu bukan suatu hal yang buruk.

Okelah kita bisa protes, dimana letak identitas, kala semua manusia seolah kehilangan kreavitas dan terjebak dalam sebuah komunitas yang statis? Lagipula mana ada komunitas seperti itu? Pasti ada friksi-friksi yang timbul. Ada juga sih yang bilang penduduk badui berkurang karena anak mudanya menginginkan perubahan dengan mencari ilmu keluar komunitas. Hmm.. jadi inget film The Village, dimana ada sebuah komunitas terisolasi yang hidup terlindung oleh mitos. Ngga asyik memang, tapi itulah yang dibangun oleh para tetua agar tradisi dapat tetap terjaga. Sebenarnya sih jadi keliatan ada benang merah, sebuah komunitas bisa berjalan dengan damai dan teratur kalo ada tokoh yang dipercaya dan sebuah hukum adat/kepercayaan yang dijalankan oleh semua warga komunitas. Liat zaman Rasulullah, umat Islam kebanyakan dapet tantangannya dari luar. Meski tetap ada orang-orang munafik, tapi itu kalangan minoritas. Cinta para sahabat ke Rasulullah, dan bagaimana para pecinta kebenaran mendekati Sang Utusan untuk memperoleh ilmu yang sebanyak-banyaknya, merupakan sebuah tanda bahwa kehidupan umat Islam berkisar seputar Rasul, yang menjadi pembawa hikmah dan penyampai kata-kata dari Sang Khalik. Pas Rasul wafat dan digantikan zaman kekhilafahan, bermunculanlah nabi palsu, orang-orang murtad, dan daerah-daerah yang hendak melepaskan diri dari kekuasaan Islam. Ya Rasul, betapa kami begitu merindukanmu….

Ada hal yang menarik juga kemarin di kampus yaitu OSKM. Tujuan OSKM kemarin salah satunya adalah mengetahui identitas diri. Nah, kebetulan mentor agama diberi amanah untuk menyampaikan materi identitas. Asli bagi saya amanah itu berat banget. Kenapa coba? Soalnya pendekatannya Harun Yahya, padahal saya sendiri ngga sepakat dengan pendekatan itu. Gimana seseorang diminta menyampaikan sesuatu yang ngga sesuai dengan apa yang dipegangnya(kalau pake kata diyakini kayanya rada serem). Masalahnya bagi saya tanda-tanda yang berserakan di alam ini bisa diartikan secara beragam. Tanda memiliki penanda dan petanda, penanda yang terlihat secara fisik dan petanda adalah konsep yang ada di kepala kita. Kemungkinan besar orang dengan latarbelakang yang sama akan menafsirkan penanda dengan petanda yang sama. Nah, gimana kalo seseorang memiliki latarbelakang berbeda? Saya pribadi lebih seneng pendekatan tasawuf. Atau contoh lain, gugurnya fisika klasik setelah ditemukannya fisika kuantum. Ada yang beranggapan bahwa ketika SD penjelasan yang kita peroleh adalah kebenaran yang disederhanakan. Namun fisika kuantum bukan lanjutan dari fisika klasik melainkan sebuah pendekatan berbeda yang dianggap merepresentasikan kondisi fisik, bukan pendekatan seperti yang dilakukan fisika klasik.

Saya bisa saja menjawab pertanyaan-pertanyaan, siapa kamu? Kenapa kamu berada di dunia? Dengan pendekatan tertentu. Tapi kalau ditanya benarkah itu yang saya rasakan, tampaknya saya tidak bisa yakin sepenuhnya, atau mungkin juga keraguan saya berasal dari keengganan saya untuk melaksanakan sesuatu, entahlah bagi saya masih terlalu banyak wilayah abu-abu. Seperti jika seseorang sudah menjadi simbol sebuah kemapanan, bolehkah sebuah komunitas yang sudah mapan tersebut melindunginya, merubah hitam menjadi putih, untuk menyelamatkan harapan massa? Hu..uh semuanya seperti politik praksis elitis yang sering membuat saya bingung.


Wednesday, September 01, 2004

Dunia Lain

Saat orang dapat lekat dengan sebuah tradisi, ada sebuah rasa yang menganga, dimanakah akarku? Guruku bilang, aku anak globalisasi, akarku adalah tanah dan jiwaku adalah mentari. Namun saat tiba manusia bercerita tentang sebuah keakraban dengan tradisi, saat bahasa menjadi perekat, aku hilang dalam sejarah. Hibrid, campuran atau apalah orang menyebutnya, kadang membuatku gamang. Siapakah aku?

Candu

Pernah ngga ngedenger lagu, trus pikiran langsung melayang kemana-mana? Entah ngebawa pikiran melayang ke suatu massa, bikin emosi kita tercabik-cabik. Banyak hal sih yang bisa ngakibatin hal kaya gitu, bukan musik doang, seperti taman hiburan yang kaya simulasi. Semakin lama hal yang tadinya bisa untuk tempat sosialisasi jadi semakin privat. Kalo dulu anak-anak main petak umpet, galah asin, trus yang nyusun batu bata trus diancurin(lupa nama permainannya), sekarang game lebih banyak dibalik layar komputer atau televisi. Kalau dulu pencarian akan kegembiraan terjadi secara alamiah, kini semuanya menjadi semakin artificial dalam artian langsung menuju pusat dari segalanya. Makanya banyak orang yang langsung mencari jalan pintas menuju kebahagiaan lewat obat-obatan psikotropika. Padahal itu hanya sebuah cara semu yang mengarahkan mereka pada sebuah penjajahan baru. Sebuah ketergantungan dan persepsi yang kacau...

Kuliah

Hari ketiga semester baru udah ngga ikut kuliah karena telat. Lumayanlah ada kesempatan untuk ngerjain hal lain, seperti cari bahan di web. Intinya sih tetep aja ngga bisa kuliah dan terpaksa melakukan hal lain. Tapi lagi kehilangan semangat, kayanya belakangan ini nyari semangat ditempat yang salah. Mungkin caranya juga yang ngga beres, abis kalo ada orang yang super care masa dicuekin, trus kalo kebelakangnya buntutnya jadi makin kacau gimana dong? Biarkan semuanya ngalir atau mulai memberi batasan?

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...