Kemaren dulu ada buletin lucu nangkring di sekre. Kata kang Firman sih itu untuk kalangan underground tapi tetap dengan mengusung ideologi Islam. Wah, isinya keren abis. Mulai dari Revolusi Perancis, Bolsyewijk, revolusi tauhid yang dibawa oleh Rasulullah, semuanya masuk. Tapi bukan itu aja, buletin itu juga cukup punya dasar untuk berjuang. Kalo ada yang bilang sejak pelopor punk di Inggris(grup Sex ‘n Pistol yang awalnya berupa grup musik perlawanan terhadap kemapanan, tapi belakangan malah gabung ama major label) berkhianat terhadap perjuangan underground, banyak yang nganggap aliran punk--yang banyak ditandai dengan busana tertentu--udah mati(kalo ngga mati kehilangan arah geraknya). Boleh aja pake baju Che, atau lambang bintang merah, tapi kalo ngga tau bentuk perjuangan Che ngelawan Amrik di Kuba sama aja bo’ong. Ngga lucu kalo bilang Amrik busuk karena itu ngelawan arus tapi ngga tau kenapa. Lebih parah lagi yang make merchandise anak punk biar dibilang keren. Wah, itu sih ngga ada idealisnya sama sekali.
Emang agak susah ngebedain yang mana yang masih idealis atau ngga, abis bentuk luarnya bisa sama persis. Bukan di komunitas punk aja yang kaya gitu, semua orang punya topengnya masing-masing. Kaya cerita temen pas SMP, dia nyaris ngga mengenali dirinya di sekolah karena harus memasang banyak topeng agar bisa diterima kalangan tertentu. Dia ngaku koq hidupnya hampa…
Gimana dengan suku yang relatif masih agak tertutup, apakah resistensi mereka terhadap listrik dan bentuk-bentuk modernitas merupakan sebuah bentuk perlawanan, ataukah kesederhanaan yang mereka jalani merupakan sebuah pilihan sadar. Waktu main ke Badui, larangan untuk memakai sabun, peraturan mengenai penggunaan air dan tidak adanya istrik, lebih banyak bersandar pada penjagaan mereka terhadap kelestarian alam. Tempat tinggal mereka yang dekat dengan aliran sungai memudahkan pengaturan tempat untuk mencuci, mandi, buang air dll. Masing-masing ada tempatnya sendiri sesuai dengan aliran air. Ada juga larangan terhadap hewan-hewan tertentu, seperti tidak boleh memelihara dan memakan kambing, dan ada beberapa jenis lain tapi saya lupa. Semua aturan tersebut diatur oleh tetua adat yang dipanggil pu’un. Menurut penuturan warga Badui, pu’un tersebut sering berbaur dengan masyarakat tapi dengan menggunakan pakaian biasa, sehingga pelancong tidak tahu yang mana pu’un dan mana yang warga biasa. Keistimewaan pu’un terletak pada tempat tinggalnya yang terpisah, dan termasuk wilayah terlarang.
Kalau dibilang mereka menutup mata terhadap kemajuan, kayanya ngga juga. Buktinya beberapa orang dari mereka sudah ada yang pergi ke TMII untuk berdagang(mereka udah kenal uang koq). Perjalanan dengan bertelanjang kaki bisa memakan waktu 2-3 hari. Kadang mereka bertemu kenalan, hingga memperoleh tumpangan, tapi kadang mereka hanya mengandalkan otot untuk sampai ke tempat tujuan. Ketika ditanya bolehkah mereka naik kereta gantung yang ada di TMII, mereka menjawab harus nanya pu’un terlebih dahulu. Pokoknya pu’un serba tahu, dan inisiatif nakal seperti, lho kalau belum ada peraturannya, sah-sah aja ngambil keputusan sendiri ngga ada dalam benak mereka(setidaknya ketika salah seorang badui ditanya, ia menyerahkan semua persoalan pada pu’un). Secara administratif mereka tercatat sebagai orang Islam, tapi dari segi kepercayaan yang dipraktekkan orang-orang Badui lebih dekat ke animisme. Kalau udah berada diluar daerah badui, mereka boleh pakai sabun, tidur di atas tidur atau menggunakan listrik. Pokoknya merasakan penemuan-penemuan Eddison, tapi kalau mereka sudah kembali ke Badui dalam semua itu harus mereka lupakan.
Bagaimana dengan muggle? Bukan darah campuran antara penyihir dan manusia, tapi perkawinan dengan badui dalam dan badui luar. Biasanya sih keluarga baru tersebut akan mengikuti pihak suami, jadi boleh-boleh aja jadi warga badui dalam, selama dia mau ngikutin peraturan yang ada. Pakaian badui luar yang lebih modis(lumayan, batik dengan corak khas berwarna biru) harus berganti dengan baju hitam dan putih, bagi pria ada semacam sorban hitam yang menjadi khas. Tapi kalo dari pengaturan dan kebersihan badui dalam jauh lebih tertib. Rumah-rumah panggung badui dalam yang lebih tinggi jika dibandingkan badui luar relatif lebih bersih. Ngga enaknya nginep di badui dalam cuma hawa dingin yang membuat semua rombongan ngga bisa tidur. Udah pake baju berlapis-lapis, tetep aja menggigil kedinginan, yang bisa tidur nyaman hanya orang yang tidur deket tungku di dapur. Kalau ada yang berpikir, kehidupan seperti apa yang ditawarkan suatu komunitas tanpa listrik dan sabun, maka jawabannya harus dikembalikan ke diri individu masing2, bukankah kita semua terperangkap dalam sebuah rutinitas, dan hidup ditempat dimana semua masalah sangat sederhana dan teratur karena terikat oleh hukum adat tentu bukan suatu hal yang buruk.
Okelah kita bisa protes, dimana letak identitas, kala semua manusia seolah kehilangan kreavitas dan terjebak dalam sebuah komunitas yang statis? Lagipula mana ada komunitas seperti itu? Pasti ada friksi-friksi yang timbul. Ada juga sih yang bilang penduduk badui berkurang karena anak mudanya menginginkan perubahan dengan mencari ilmu keluar komunitas. Hmm.. jadi inget film The Village, dimana ada sebuah komunitas terisolasi yang hidup terlindung oleh mitos. Ngga asyik memang, tapi itulah yang dibangun oleh para tetua agar tradisi dapat tetap terjaga. Sebenarnya sih jadi keliatan ada benang merah, sebuah komunitas bisa berjalan dengan damai dan teratur kalo ada tokoh yang dipercaya dan sebuah hukum adat/kepercayaan yang dijalankan oleh semua warga komunitas. Liat zaman Rasulullah, umat Islam kebanyakan dapet tantangannya dari luar. Meski tetap ada orang-orang munafik, tapi itu kalangan minoritas. Cinta para sahabat ke Rasulullah, dan bagaimana para pecinta kebenaran mendekati Sang Utusan untuk memperoleh ilmu yang sebanyak-banyaknya, merupakan sebuah tanda bahwa kehidupan umat Islam berkisar seputar Rasul, yang menjadi pembawa hikmah dan penyampai kata-kata dari Sang Khalik. Pas Rasul wafat dan digantikan zaman kekhilafahan, bermunculanlah nabi palsu, orang-orang murtad, dan daerah-daerah yang hendak melepaskan diri dari kekuasaan Islam. Ya Rasul, betapa kami begitu merindukanmu….
Ada hal yang menarik juga kemarin di kampus yaitu OSKM. Tujuan OSKM kemarin salah satunya adalah mengetahui identitas diri. Nah, kebetulan mentor agama diberi amanah untuk menyampaikan materi identitas. Asli bagi saya amanah itu berat banget. Kenapa coba? Soalnya pendekatannya Harun Yahya, padahal saya sendiri ngga sepakat dengan pendekatan itu. Gimana seseorang diminta menyampaikan sesuatu yang ngga sesuai dengan apa yang dipegangnya(kalau pake kata diyakini kayanya rada serem). Masalahnya bagi saya tanda-tanda yang berserakan di alam ini bisa diartikan secara beragam. Tanda memiliki penanda dan petanda, penanda yang terlihat secara fisik dan petanda adalah konsep yang ada di kepala kita. Kemungkinan besar orang dengan latarbelakang yang sama akan menafsirkan penanda dengan petanda yang sama. Nah, gimana kalo seseorang memiliki latarbelakang berbeda? Saya pribadi lebih seneng pendekatan tasawuf. Atau contoh lain, gugurnya fisika klasik setelah ditemukannya fisika kuantum. Ada yang beranggapan bahwa ketika SD penjelasan yang kita peroleh adalah kebenaran yang disederhanakan. Namun fisika kuantum bukan lanjutan dari fisika klasik melainkan sebuah pendekatan berbeda yang dianggap merepresentasikan kondisi fisik, bukan pendekatan seperti yang dilakukan fisika klasik.
Saya bisa saja menjawab pertanyaan-pertanyaan, siapa kamu? Kenapa kamu berada di dunia? Dengan pendekatan tertentu. Tapi kalau ditanya benarkah itu yang saya rasakan, tampaknya saya tidak bisa yakin sepenuhnya, atau mungkin juga keraguan saya berasal dari keengganan saya untuk melaksanakan sesuatu, entahlah bagi saya masih terlalu banyak wilayah abu-abu. Seperti jika seseorang sudah menjadi simbol sebuah kemapanan, bolehkah sebuah komunitas yang sudah mapan tersebut melindunginya, merubah hitam menjadi putih, untuk menyelamatkan harapan massa? Hu..uh semuanya seperti politik praksis elitis yang sering membuat saya bingung.
No comments:
Post a Comment