Tuesday, December 21, 2004

Takut Alim

Kemarin ngobrol ama temen, trus ada kata-kata yang menurut saya cukup lucu, “Teh, banyak lho yang takut alim.” He… baru pertama kali denger, kalau ada yang takut ngga gaul sih tau, tapi kalau sampai takut jadi alim?! Lagian kan secara bahasa alim itu artinya bagus, selain mencakup ilmu agama juga cerdas secara umum.
“Masa sih, takut dianggap beda aja kali?”
“Ngga kok, teh. Takut jadi alim, dan bukan karena masalah sosial ngga diterima di komunitas atau lainnya.”
Sampai saat ini saya belum kebayang alim yang seperti apa, tapi saya nangkepnya alim yang mengalami penyempitan makna alias sekuler dalam sudut pandang baru. Secara formal sekuler diartikan sebagai memisahkan ajaran agama dengan kehidupan politik. Indonesia tentu aja bukan negara sekuler merujuk pada sila pertama Pancasila, tapi itu ngga bisa menjamin bahwa masyarakatnya ngga sekuler, soalnya siapa yang bisa menjamin seseorang beriman pake pendekatannya Goenawan Mohamad, lebih dekat ke laku/tindakan. Apalagi pelaksanaan agama lebih sering dipandang berada di wilayah privat, gara-gara pandangan seperti ini Cak Nur jadi sering dituding sebagai orang sekuler.

Salah atau bener? Ngga tau juga. Lagian penilaian seseorang dipengaruhi banyak hal. Bisa karena persepsi yang salah, bisa juga karena kepengaruh orang lain, lagian ngomongin bahasa emang ngga mungkin lepas dari struktur sosial di suatu tempat. Takut alim yang dimaksud oleh teman saya, saya tafsirkan sebagai sebuah bentuk sekulerisasi juga. Maksudnya, seseorang yang diberi label alim, secara ngga langsung akan dikaitkan dengan tindakan-tindakan tertentu, dan mungkin juga batas pergaulan khusus. Saya pikir, inilah yang menyebabkan seseorang takut alim, yaitu kehilangan keceriaan dunia. Ngga sepenuhnya salah sih, abis dunia yang kita liat sekarang ini lebih banyak dilihat dari kacamata materialisme. Siapa yang bisa memungkiri kalau banyak orang yang masih terpatri dengan cerita Cinderella, atau seseorang baru disebut bahagia kalau punya mobil, rumah yang mentereng. Banyaklah parameter-parameter yang kapitalis banget, dan menjadi alim dalam sudut tertentu seringkali dikaitkan dengan zuhud.
Dari perspektif tertentu, hal ini bisa dianggap monoton, tidak menarik dll. Tapi lagi-lagi sudut seperti apa yang ingin kita gunakan, dan seberapa dekat kita dengan paradigma zuhud ini. Semuanya dikembalikan pada pertanyaan apa yang menjadi pusat hidup kita. Saya pribadi masih senang baca komik, nonton film, dengerin MTV. Lagi-lagi saya ngga akan memberi penilaian benar atau salah, lagian ngapain juga menilai diri sendiri. Meski begitu kadang saya nyadar juga kalo mau melakukan sesuatu harus total, soalnya kalau cuma setengah-setengah dapetnya juga sepotong.

Disalah satu buku yang saya baca, Rasul dikisahkan sudah nyaris berhasil mengajak kaum Quraisy untuk menyembah Allah. Namun karena Rasul meminta kaum Quraisy untuk meninggalkan sesembahan mereka, maka kaum Q pun menolak. Hal yang paling berat adalah meninggalkan tradisi, bukan karena menerima sesuatu hal yang baru. Hal ini dicontohkan dalam tawaran kaum Q untuk ibadah secara bergantian, sekarang menyembah Allah dan pada waktu yang lain menyembah berhala. Hal ini ditolak secara tegas dalam surat Al-Kafiruun. Bagaimana mungkin suatu hal yang mendasar bisa dikompromikan? Begitu pula dengan melakukan sesuatu, adakah celah bagi dua sisi yang berlawanan?

Ngga taulah, kadang suka bingung kalau mikirin hal-hal seperti itu. Kadang pemikiran-pemikiran seperti itu enaknya ditinggalin aja. Peduli amat apa kata dunia yang penting kan niat, tapi setiap kali mikir kaya gitu saya langsung istighfar, karena saya jadi inget kisah orang-orang kafir di buku tauhid, mereka tuh ngga mau nyembah Allah karena kesombongan mereka, karena mereka merasa udah yang paling bener. Ketika kita menutup mata dan telinga karena udah ngerasa paling bener, bisa-bisa kesombongan menyelinap dan membutakan hati kita. Hii… serem banget….

No comments:

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...