Wednesday, September 28, 2005

Narasi

“the attempt is made to construct a categorical scheme of general ideas…in terms of which every element of our experience can be interpreted.” (Whitehead, Process and reality)

Dalam seminar yang aku ikuti kemarin(tentang kosmologi dan filsafat Shadra), definisi diatas sebenarnya dilekatkan pada kata filsafat. Tapi bagiku, kalau digunakan untuk menjelaskan narasi lumayan cocok juga. Minggu lalu dosenku bilang, kalau aku udah bisa seminar. Padahal aku sendiri merasa kalau aku belum mengerti apa-apa. Memang bimbingannya udah jalan satu semester, dan selama rentang waktu tersebut, aku juga sudah menemukan banyak hal, tapi kalau sampai dirangkai dalam sebuah narasi mengenai shock wave, entropi dan solusi aku masih agak bingung.

Dalam kepala, informasi-informasi yang aku miliki masih diskrit. Dalam artian masing-masing bagiannya independen. Sedangkan kalau seminar, semua petunjuk yang sudah aku dapatkan selama rentang waktu itu harus bisa menjelaskan suatu masalah. Sebenarnya tema yang aku ambil memang cukup luas, kemudian untuk TA 2 masalah itu dikerucutkan untuk mencari ketunggalan solusi dengan metode numerik, tapi tetap aja untuk mencari titik mulanya yaitu latar belakang, tujuan, rumusan masalah, aku masih rada bingung. Soalnya semua memang tampak bermasalah, hehehe…

Pilihan pertama, menyoroti masalah diskontinuitas shock wave dalam kacamata hukum kekekalan. Pilihan kedua, langsung menyoroti penggunaan metode numerik dalam mencari ketunggalan solusi entropi. Ada berbagai pilihan sudut pandang, dan sampai saat ini aku belum memutuskan sudut mana yang akan kuambil. Hmm… mungkin lebih tepatnya aku masih belum menemukan sudut yang dapat meng-cover semua informasi yang aku miliki menjadi sebuah narasi holistik.

Berbicara mengenai narasi cukup menarik. Contohnya ketika terjadi perubahan konteks dari filsafat menjadi narasi dalam kutipan yang aku ambil. Hmm… aku coba membahasnya menggunakan alat semiotika. Yang menjadi penanda(materi) disini adalah kutipan Whitehead, dan petanda(konsep mental)nya adalah: pemahamanku terhadap narasi yang analog dengan kutipan Whitehead(meski ketika disampaikan, kutipan tersebut digunakan untuk menjelaskan filsafat). Proses penafsiran dalam otakku bisa disebabkan oleh berbagai hal.

Misalkan aku menggunakan narasi meme, maka aku bisa mengatakan bahwa pengetahuan yang sudah ada dalam kepalaku mengasosiasikan/memetakkan definisi Whitehead tersebut dengan konsep yang ada dalam kepalaku mengenai narasi. Akibatnya, proses dialektika yang terjadi adalah tesis: narasi adalah usaha untuk menyusun informasi-informasi yang ada sehingga bisa dipahami, anti-tesis: filsafat adalah the attempt is made to construct a categorical scheme of general ideas…in terms of which every element of our experience can be interpreted, sehingga sintesis dari keduanya bagiku adalah, filsafat dan narasi memiliki arti yang tidak jauh berbeda.

Huahaha… pusing kan? Kesimpulannya posmo banget, segala informasi yang ada merupakan hasil konsepsi, sehingga kita rayakan saja semuanya:D. Adanya perbedaan narasi ini memiliki implikasi luas, terutama dalam hal komunikasi. Seperti yang diungkapkan dalam seminar kemarin, kita telah mengalami empat evolusi: physic, biologis, …., dan sekarang ini kita tengah berada dalam evolusi informasi(untuk lebih jelasnya aku pernah disarankan baca Habermas, tapi belum kesampaian juga). Nah, karena kita tengah berada dalam era informasi maka komunikasi(yang memungkinkan terjadinya transfer informasi) menjadi signifikan.

Catatan tambahan: Sebenarnya kondisi entropi yang menjadi bahan TA-ku juga menyinggung masalah komunikasi(entropi terdapat di 3 bidang:termo, teori informasi dan statistik), tapi aku lebih fokus ke bagian termodinamik-nya, meski lebih jauh lagi nyambung ke masalah numerik(nah kan keliatan, nulisnya aja kemana-mana:D). Back to book deh…

Tuesday, September 27, 2005

Mengenang, Mengingat, Merasakan

Senang rasanya masih memiliki sejengkal waktu rehat. Meski aktivitas yang memadat dan berbagai target yang kian mendekat. Tapi menyusuri kembali kebiasaan-kebiasaan lama, teman-teman yang telah lama akrab, memberikan semangat. Membiarkan segala perasaan itu membanjiri kesadaranku, menyiramku dengan rasa hangat. Aku tidak tahu apa yang tengah kualami, namun semuanya jadi mudah. Buku-buku yang dulu enggan kujamah, kini jadi menyenangkan. Pun dengan orang-orang yang kutemui.

Dan saat aku gundah, Kau menghampiriku dengan kata-kata-Mu yang kutemui di sebuah blog. Sebuah kejutan manis dari-Mu...

Monday, September 26, 2005

Zona Mabuk Informasi

“Tidak tahu kadang lebih baik. Buat apa juga tau artis mana mau cerai, dan siapa yang lagi selingkuh,” ujarku ketika sedang ngobrol mengenai kondisi tau dan tidak tahu.

“Ngga gitulah. Bisa aja kan informasi tersebut digunakan untuk bahan pembicaraan ringan dengan saudara atau tetangga,” sanggahnya.

“Huahaha.. kata-kata kamu tadi persis seperti yang dibilang ama presenter acara infotainment.”

“Bukannya begitu, memang ada informasi yang terlihat tidak penting. Tapi tetap saja, kondisi tahu derajatnya lebih tinggi daripada tidak tahu.”

“Wah, kalau begitu buat apa ada sensor. Contohnya anak kecil, ada beberapa tayangan yang memang belum pantas ditonton untuk kisaran usia tertentu, karena secara psikologis mereka belum siap. Sama saja dengan infotainment yang punya potensi untuk meracuni massa karena rendahnya tingkat pendidikan.”

Pembicaraan yang cukup seru itu akhirnya tidak menghasilkan kata sepakat. Saat aku bertemu lagi dengan temanku itu dia bilang, kondisi lebih tahu tetap lebih mulia. Namun ada yang disebut dengan hierarki kebutuhan informasi, sehingga ada untuk kasus infotainment misalnya, berita yang disampaikan bisa menjadi kurang penting jika dibandingkan dengan informasi-informasi lainnya. Mungkin lebih tepat lagi, kalau disebutkan bahwa ilmu mengenai prioritas bahkan menjadi lebih penting dari informasinya sendiri.

Saat ini aku juga tengah kebanjiran informasi. Bukan karena gosip para artis tentu saja, tapi mengenai bahan TA-ku yang banyak banget. Untuk mengerti mengenai sebuah konsep saja, aku menggunakan referensi sampai lima buku. Alhasil bukannya dapat pencerahan, aku malah bingung berat. Parahnya lagi, semua buku itu menarik. Kebayang kan, tugas mencari masalah dari tema besar shock wave dan entropi benar-benar menjadi masalah, karena bahan bacaanku yang divergen abis.

Baca konsep entropi dari berbagai referensi memang membuka mataku. Tapi karena dalam tiap buku itu pembahasannya kemana-mana, dimana masing-masing bagiannya menarik, aku jadi kehilangan fokus. Dan yang membuat segalanya makin kacau adalah tiap buku biasanya berkaitan dengan buku lain. Jadi aku seperti detektif yang mencari petunjuk dari buku ke buku. Sisi positifnya adalah aku jadi bisa menikmati membaca textbook dengan rumus-rumusnya yang seperti teka-teki. Bagian konyolnya, dosenku ampe ketawa ngeliat aku kebingungan dengan bahan yang super banyak.

Kata dosenku, mengerjakan TA memang seperti itu. Seperti masuk hutan dan ngga punya petunjuk apapun. Baru lama kelamaan bisa familier dan mulai mencari jalan keluar. Aku sih senang-senang aja masuk hutan dan bermain-main dengan segala hal yang ada di sana, seperti saat aku membaca dari buku ke buku. Masalahnya aku juga dikejar waktu(payah juga nih, baru nyadar kalau matematika itu asyik di tingkat 4 ronde 2). Akhirnya aku diminta fokus aja ke satu buku. Karena waktu itu yang aku bawa Smoller, kata dosenku coba aja memahami bagaimana menemukan ketunggalan solusi pada kondisi entropi.

Pas liat bagian yang ditunjuk, aku sempat shock, abis makhluk-makhluknya aneh banget. Ada tanda infinite didepan bagian norm-lah, integral, indeks yang banyak banget, dan berlembar-lembar lemma yang jadi alat untuk membuktikan satu buah teorema. Untung bapaknya bilang kalau pendekatannya pakai skema beda-hingga dan teorema nilai rata-rata. Rumus yang tadinya terlihat rumit banget jadi terlihat sedikit lebih sederhana(sama seperti ketika kita melihat sebuah gambar perempuan tua dan perempuan muda. Saat ditanya siapa yang melihat gambar perempuan muda, sebagian anak mengacungkan jari, dan begitu juga ketika ditanya siapa yang melihat perempuan tua, sebagian yang lain mengacungkan jari. Keadaan tersebut akan berbeda seandainya, pertanyaan yang diajukan pertama kali adalah, apakah kalian melihat perempuan tua? Kita akan langsung mengarahkan pikiran kita untuk mencari sosok perempuan tua, sehingga kalau ditanya siapa yang melihat perempuan muda, jumlah yang mengacungkan jari akan berkurang. Begitu pula dalam melihat suatu hal yang abstrak. Mulanya kita akan bingung, namun saat kita diberi petunjuk/frame untuk membingkai konsep abstrak tersebut, pikiran kita akan mulai mengasosiasikannya dengan sesuatu yang familier di otak kita, sehingga konsep abstrak tersebut menjadi lebih jelas).

Nah, waktu aku udah lega karena fokus masalahnya udah jelas, ternyata zona mabuk informasinya belum berakhir. Ketika aku menyusuri jalan pembuktian teorema, aku menemukan banyak konsep yang berkaitan dengan buku-buku lain lagi. Jadi setengah dibantu dosen, setengahnya lagi aku kembali masuk-keluar buku. Dan lagi-lagi aku terjebak pada buku-buku lain. Wah, kayanya cara belajarku rada kacau. Misalkan seperti ini, aku mencari informasi yang bisa menjelaskan kenapa aku membuktikan ketunggalan solusi entropi menggunakan skema beda hingga Lax-Friedrichs. Kata pembimbing, informasinya ada di Leveque. Pas aku baca Leveque, ternyata nyambung lagi ama buku Bartle(Real Analysis). Trus kapan aku balik ke buku Smoller ya?

Kalau menggunakan hierarki informasi, tingkat pertama ditempati oleh himpunan informasi yang ada di Smoller, himpunan kedua Leveque, ketiga Bartle, dan mungkin selanjutnya ditempati oleh Strauss, Knobel dll. Hua.. bingung. Akhirnya aku malah corat-coret untuk blog. Hehehe... makin ngga puguh.

Friday, September 23, 2005

I Hate You Then I Love You

I'd like to run away from you
But if I were to leave you I would die
I'd like to break the chains you put around me
And yet I'll never try

No matter what you do you drive me crazy
I'd rather be alone
But then I know my life would be so empty
As soon as you were gone

Impossible to live with you
But I could never live without you
For whatever you do / For whatever you do
I never, never, never
Want to be in love with anyone but you

You make me sad
You make me strong
You make me mad
You make me long for you / You make me long for you

You make me live
You make me die
You make me laugh
You make me cry for you / You make me cry for you

I hate you
Then I love you
Then I love you
Then I hate you
Then I love you more
For whatever you do
I never, never, never
Want to be in love with anyone but you

You treat me wrong
You treat me right
You let me be
You make me fight with you / I could never live without you

You make me high
You bring me down
You set me free
You hold me bound to you

I hate you
Then I love you
Then I love you
Then I hate you
Then I love you more / I love you more
For whatever you do / For whatever you do
I never, never, never
Want to be in love with anyone but you

I never, never, never
I never, never, never
I never, never, never
Want to be in love with anyone but you
But you

NB to aksara'ers: ckakakaka... bukan takut, tapi menunggu saat yang tepat. Meski sekarang pilihan itu kian sulit....

Tuesday, September 20, 2005

Kasih

Penderitaan itu agung, tetapi manusia tetap lebih agung dari penderitaan
-Tagore

Sore itu langit tampak mendung. Dengan langkah bergegas aku mengarahkan kakiku ke Salman. Namun belum sampai ke tempat wudhu, langkahku tertahan. Ibu tua yang sering ku sebut sebagai ibu kucing tampak sedang mencari sesuatu di balik rumput-rumput. “Cari apa, Bu?” tanyaku dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, aku pikir ada kucing yang menggondol nasi bungkusnya. “Ooh, itu, tadi ada anak-anak yang mau mengambil kucing. Kucingnya bersih,” jawab sang ibu sambil mengarahkan tatapan matanya pada seekor kucing belang tiga yang tampak sedang mengendap-endap di rumput dekat kebun Bioter.

Tampaknya ibu tersebut telah memiliki ikatan yang kuat dengan kucing-kucing yang sering menemaninya itu. Ikatan yang mampu menggerakkan badannya yang sudah termakan usia, menyusuri rumput-rumput dan melewati pagar batu yang membatasi jalan setapak dengan rerumputan. Hubungan itu juga yang tampaknya menyebabkan ibu itu menolak tawaranku untuk mengejar kucing yang tengah diburunya.

Aku masih sering terkagum-kagum dengan kejadian-kejadian yang kutemui. Ada banyak orang yang kupikir kehidupannya jauh lebih susah namun memiliki hati yang tampaknya tak habis-habis menebarkan kasih. Senyum yang selalu tersungging meski harus menghadapi beban yang sangat berat. Seperti saat aku tengah menyebrang jalan menaiki si Sho, seorang bapak dengan gerobak sampah yang cukup penuh tampak tergopoh mendorong gerobaknya. Belum sampai di ujung jalan, lampu lalulintas telah berubah menjadi hijau. Sambil menengok kiri-kanan wajahnya menyiratkan punten. Sambil menurunkan kecepatan, aku tersenyum, yang dibalas anggukan dan senyum dari bapak itu.

Aku tak habis pikir bagaimana bapak itu masih bisa tersenyum. Seorang temanku pernah berkata, “Kebahagiaan tak mengenal kasta.” Tapi tetap saja menemui orang-orang yang tak hentinya memancarkan harapan di tengah himpitan hidup merupakan sebuah keajaiban tersendiri. Sebuah perasaan hangat ditengah berita-berita kriminal serta sosial politik yang penuh berisi kebusukan.

Hal yang tak hentinya membuatku takjub adalah orang-orang tersebut tampak lebih fasih dalam hal memberi. Bukan dalam hal materi tentu saja, melainkan mengenai arti sebuah keikhlasan. Dalam buku The City of Joy yang diambil dari pengalaman hidup orang-orang di Calcutta, keikhlasan itu tampak begitu dalam. Mungkin yang melintas dalam benak ketika mendengar kata ikhlas adalah keadaan menyerah. Tapi dugaan itu sama sekali salah. Di tengah keadaan “sudah jatuh tertimpa tangga” mereka tak pernah kehilangan harapan untuk berjuang dengan memeras keringat.

Pekerjaan-pekerjaan yang nyaris mustahil seperti menarik angkong(semacam becak yang ditarik dengan menggunakan tenaga manusia. Hal yang paling sulit dari menarik angkong adalah ketika harus berhenti, karena saat itu beban angkong ditambah penumpang bertumpu pada pundak si penarik angkong) tetap dijalani. Meski banyak orang yang mati kelelahan, namun resiko itu masih jauh lebih baik daripada diam meratapi nasib. Di sela segala hiruk pikuk tersebut mereka tak pernah lupa untuk bersyukur dan berdoa.

Bagiku hidup demikian ajaib. Meski aku harus mengakui membaca kondisi seperti itu bukan hal yang menyenangkan. Untuk menghabiskan 799 halaman buku tersebut misalnya, aku membutuhkan waktu satu bulan lebih. Atau ketika aku dihadapkan pada berita-berita yang disajikan dengan gaya feature mengenai kehidupan masyarakat pinggiran, aku langsung merasakan sebuah kepedihan yang dalam. Tahu dan diam merupakan sebuah kombinasi yang sangat tidak mengenakkan.

Aku kadang berpikir harus menutup mata dulu untuk sesaat. Tapi untung saja hidup ini tidak linier, kala aku tengah gundah biasanya ada kejutan kecil yang mampu membuatku kembali semangat. Memang agak parah kalau motivasi berasal dari luar, tapi kupikir ini sudah menjadi bagian dari sejarah manusia. Bahkan untuk yang sekaliber Fir’aun sekalipun, ia masih memerlukan pedang terhunus untuk memaksa orang-orang menyembah dirinya. Pengakuan yang dipaksakan? Pernyataan bahwa ia sebenarnya sadar bahwa dirinya tak layak disembah dan karenanya ia menggunakan kekerasaan?

Beberapa sms yang sering datang tak terduga kembali menyadarkanku akan beberapa hal, dan kupikir inilah yang disebut dengan providentia Dei. Karena semua berjalan atas sunatullah-Nya, dan orang-orang yang ada disekelilingku merupakan salah satu wujud kasih-Nya padaku...

Mungkin itulah rahasia senyum dari orang-orang yang kutemui, karena ketika engkau mencintai-Nya, Ia akan mencintaimu lebih...

Friday, September 16, 2005

Kesasar

Kau mungkin ingat permainan panas-dingin? Sebuah permainan mencari benda atau petunjuk dimana ketika kau sudah dekat maka sang penanya akan mengatakkan panas..panas.. dan kalau kau menjauhi jawaban, maka kau akan mendapatkan kata dingin. Begitu juga yang kurasakan ketika aku harus menjelajahi daerah baru. Karena salah satu hobiku yang paling antik adalah kesasar, maka aku terbiasa dengan sinyal panas-dingin yang ada di kepalaku. Ketika aku tiba di suatu tempat asing, di kepalaku seperti ada suara dingin..dingin...

Entah kenapa, aku cukup sulit untuk mengingat sebuah tempat. Apalagi kalau bangunan-bangunan di sekitarnya mirip. Hobiku yang satu itu selalu mengantarkanku untuk bertemu dengan orang-orang baru. Biasanya kalau kepalaku sudah dipenuhi suara dingin..dingin itu tandanya aku harus mulai bertanya kepada orang, jalan mana yang benar. Seperti kemarin sore, ketika aku telah melewati jembatan layang yang kukira akan mengantarkanku ke sebuah daerah yang kukenal. Nyatanya aku sampai ke daerah padat, dengan mobil angkot merah, biru, putih dan hijau. Angkot-angkot yang aku ketahui menempuh rute yang jauh.

Sontak saja, aku sadar bahwa aku sudah kesasar. Setelah celingak-celinguk, aku bertanya pada sopir angkot yang ada disampingku. “Punten pak, kalau mau ke jalan Riau kemana ya?” “Balik aja neng, nanti belok kiri,” ujar sopir angkot merah putih itu. “Abis itu kemana pak? Ada angkot yang bisa diikutin ngga?” tanyaku lagi dengan tampang yang tampaknya membuat khawatir karena pak sopirnya kemudian berujar, “Nanti kalau sudah sampai diperempatan tanya orang lagi aja.” “O iya pak terimakasih.”

Sampai di ujung jembatan aku kembali bingung. Hmm.. jalan yang mana ya? Akhirnya kalau tadi aku naik ke atas jembatan, sekarang aku melewati jalan di bawahnya. Konyolnya arahnya sama seperti yang aku lewati tadi, tapi saat itu aku berpikir mungkin tak jauh darisana ada belokan yang bisa kuambil. Sambil menelusuri daerah di bawah jembatan yang cukup kumuh dengan penggalian di kiri-kiri jalan, tukang jualan beratapkan terpal biru-oranye, dan asap yang menebal aku menyusuri jalan itu. Jalanan kecil itu cukup padat. Lagi-lagi aku mencari orang untuk ditanya. Pandanganku berhenti pada seorang gadis berkaos merah.

“Punten teh, kalau mau ke jalan Riau lewat mana ya?” “Wah maaf, saya ngga tau.” Tak lama kemudian muncul seorang ibu yang memberitahukan bahwa aku harus lurus saja terus. Belum yakin betul, muncul seorang pemuda dengan kisaran 25-an yang membuat aku cukup seram. Alis yang berantingkan sebuah peniti emas, kuping yang ditindik sampai beberapa bolongan, dan wajah yang cukup sangar. Pikiran-pikiran buruk mulai menggelayuti kepalaku. Apa aku langsung tancap gas saja ya? Sambil mempertegas suaraku aku mengucapkan terimakasih atas informasinya dan langsung ngacir.

Benar saja, tak lama kemudian aku kembali sampai di ujung jembatan. Hanya saja kali ini aku datang dari jalan non-jembatan. Targetku kali ini adalah pengendara motor sebelah yang sama-sama terjebak dijalanan yang cukup ramai. “Pak, kalau mau ke jalan Riau kemana ya?” tanyaku. Belum sempat terjawab, jalanan sudah mulai lengang. Darpada aku dimaki-maki orang, aku pinggirkan motorku ke arah pangkalan ojek yang mangkal tak jauh dari tempatku bertanya tadi. Rupanya pengendara motor tadi mengikutiku karena hendak memberitahu arah jalan. Bapak itu memberikan beberapa batasan yang harus aku ikuti, tapi tetap saja aku bingung.

Karena itu akhirnya aku bertanya pada pak ojek berpeci. Ketika aku bertanya, orang-orang lain turut berkumpul, nimbrung. Petunjukknya sekarang seperti ini, kalau ketemu perempatan belok kiri, terus belok kiri lagi, dan nanti belok kanan. Karena kapok dan hari semakin beranjak malam, aku tegaskan, “Jadi saya tinggal belok kiri dua kali pak?” Sambil mengacungkan kedua jariku membentuk tanda peace. “Iya,” jawab bapak yang kutanya tadi.

Aku kembali ke arah jembatan yang sudah kulewati berkali-kali itu. Sekali yang ke arah Soekarno-Hatta dan dua kali ke arah kebalikannya, belum lagi ditambah sekali menyusuri jalan di bawah jembatan. Untung saja petunjuk bensin masih menyisakan satu garis sebelum batas merah. Kali ini setiap kali belokan, aku bertanya pada orang, dan akhirnya sinyal di kepalaku mulai bersuara panas..panas... Hipi...

Kesasar kadang merupakan suatu hal yang menakutkan. Namun seiring dengan rekor kesasarku yang terus bertambah, aku mulai menerimanya sebagai sebuah pengalaman yang memungkinkan aku untuk bertemu berbagai macam orang, dan melihat tatapan-tatapan peduli di balik wajah lelah dan berkeringat. Seperti saat aku melakukan survey pada pengamen di simpang. Bukan aku yang kasihan pada mereka, tapi mereka lebih ribut ketika melihat aku berpeluh di tengah sengatan matahari. Akhirnya mereka memintaku berteduh, dan memanggil kawan-kawan mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan.

Hua, senangnya memperoleh semangat baru, lagi dan lagi...

Wednesday, September 14, 2005

Soliter

Suatu kali aku pernah minta alamat e-mail seorang penulis. Balasan dari orang yang kutanya seperti ini: “dia punya beberapa email. tapi orgnya gak terlalu ramah. jd jangan kaget kalau nggak dibalas atau dibalas tapi sinis. penulis dan karyanya gak selalu sebangun.” Aku jadi bertanya-tanya, mungkin ngga seseorang dinilai tulisannya? Gordimer dalam pidato Nobel Sastra(07/12/91) yang berjudul Tulisan dan Ada, menyebutkan: “Saya menulis sebagaimana seorang anak bahagia karena memahami hidup melalui indra—penglihatan, penciuman, dan merasakan sesuatu; dan segera keluar dari emosi yang membingungkan dan mengamuk dalam diri saya, dan mengambil bentuk, menentukan sejumlah pencerahan, pelipur lara, dan kebahagiaan, dibentuk dalam kata tertulis.”

Aku ngga tau seberapa tepat seseorang bisa dinilai dari karyanya, yang jelas aku kadang juga menggunakan buku untuk menilai seseorang. Dari jenis buku bacaan, pengarang-pengarang favorit, penerbit buku, maupun pilihan tema. Aku pernah menemukan sebuah teenlit yang kelam. Kalau menurutku, ceritanya rada keluar pakem yang umumnya hanya menyinggung persoalan hubungan perempuan-laki dengan variasi putus-sambung. Jawaban atas tema yang dia pilih, aku temukan dari sederet nama penulis perempuan India yang dia sebut sebagai pengarang favoritnya.

Untuk jenis tulisan non-fiksi, mungkin kasusnya agak berbeda. Sebagaimana yang diungkapkan oleh almarhum Soedjatmoko(di Intisari aku baca namanya Soedjatmiko, tapi pas baca Kebudayaan Sosialis namanya ditulis Soedjatmoko, apa aku salah inget ya?), menulis baginya merupakan proses yang menyakitkan, karena harus menorehkan banyak keperihan, mengingat begitu banyak realitas yang menyakitkan, dan menuangkannya dalam teks. Karena alasan itu pulalah, beberapa penulis yang tulisannya acap aku sebut sebagai ‘manusia banget’ mungkin bisa menjadi sinis.

Serem juga membayangkan seseorang dengan idealisme dan cita-cita harus menjadi seorang yang demikian sinis. Menanggung segala kepedihan seorang diri, dan dengan segenap energi yang tersisa mencoba membagi mimpinya kepada orang-orang, lewat kata, sikap, namun kemudian tenggelam lagi dalam kedukaan yang dalam. Tak bisakah kepedihan itu dibagi dengan orang lain? Kau pernah bilang, kalau kau siap menanggung resiko untuk menjadi terasing, dari perasaan-perasaanmu, dari orang-orang yang kau sayangi, demi mewujudkan mimpi-mimpi besarmu yang lebih sering tak terpahami. Seperti lagu Gie ujarmu...

Apakah kau harus demikian kesepian? Mengamati segala hal, mencoba menafsirkan dunia dengan kacamata-kacamata yang kau temui dalam perjalanan kehidupan, namun ketika kau larut dalam pencarian, akhirnya kau sadar, kau tak pernah menjadi bagian dari sebuah kisah. Langkah-langkah perubahan, pandangan-pandangan revolusionermu hanya menjadikanmu bukan milik siapa-siapa. Kau menjadi orang luar yang kian lelah dalam melihat dunia yang menua.

Ada yang bilang, sejarah adalah milik pemenang. Guratan kisah dalam buku-buku yang dibaca anak-anak berseragam putih-merah, hingga abu-abu, hanya menulis siapa yang menjadi pahlawan. Orang-orang yang dianggap tidak mendukung pemenang, dianggap sebagai pihak kontra, kontra-perubahan, kontra-revolusioner, atau entah apalagi. Kau mungkin ingat masa-masa Orba dimana segala hal yang mencurigakan dapat dengan mudah dikenakan UU Subversif, atau periode 1945-1970, dimana baik-buruk berubah sedemikian cepat dan manusia yang ada di masa itu dengan mudah lupa pada sejarah.

Hidup ini pilihan, tapi kalau bisa memilih untuk tidak sendiri, kenapa kau mau melakukannya? Hari-hari ini winampku sering memutar lagu-lagu dari film Gie, dan tiap kali aku mendengarnya aku merasa miris. Aku jadi teringat potongan-potongan kisah harian yang kubaca di Catatan Seorang Demonstran. Aku meminjamnya dari seorang kawan, bukunya sudah cukup usang, dengan lembaran menguning dan sampul yang sudah tidak mulus lagi. Tapi bagaimanapun aku lebih memilih buku itu daripada buku terbitan baru, bersampulkan seorang artis tenar dan merk rokok. Padahal kau tahu, Gie tidak merokok...

Mungkin kalau kisahmu diangkat dan dipromosikan besar-besaran(mulai dari iklan sabun sampai bilboard-bilboard besar)kau tidak akan kesepian lagi. Mimpimu akan menjadi bagian dari impian muda-mudi yang menontonmu. Kau bisa lega, bahwa pada akhirnya perjuanganmu tidak sia-sia, dan pada akhirnya mimpimu terpahami, meski itu terjadi puluhan tahun setelah kau tiada.

Apakah kau sudah siap menanggung itu semua? Meski wajahmu selalu menyiratkan ketegaran dan senyum, tak ada manusia yang kuat menanggung kesendirian. Aku tahu realitas membuatmu gelisah. Anak-anak yang tak dapat sekolah dengan layak, trafficking, TKI, kelaparan, kehilangan rumah, penganiayaan, disisi lain, mal-mal terus menjulang mengambil lahan-lahan yang tadinya digunakan untuk tanaman palawija, rumah-rumah megah dengan gaya Eropa hingga Amerika, mobil-mobil built-in dengan pajak yang bisa digunakan untuk menghidupi keluarga sederhana selama beberapa bulan. Semuanya tak mudah, dan kalaupun masih ada senyum dibalik kepasrahan mereka, aku tahu itu bukan pembenaran akan kondisi yang ada. Tapi tak ada yang memintamu untuk menebus semua itu dengan kebahagianmu, dengan orang-orang yang menyayangimu dan mendukung segala langkahmu.

Kau mungkin masih ingat gaya pemberitaan di Aceh pasca Tsunami, dimana pembawa acaranya pun tampak tak dapat menyembunyikan kesedihan. Padahal seorang reporter seharusnya dapat menyembunyikan dirinya atas nama objektivitas. Tapi semua orang paham akan emosi yang tampak, pemberitaan itupun memperoleh julukan ‘reportase gaya baru.’ Ingatanku agak parah, tapi selain kasus itu, media juga acap disebut sebagai comitted observer. Artinya, meskipun kau memperjuangkan objektivitas, kau tetap tidak kehilangan dirimu, karena kau memegang komitmenmu pada apa yang kau yakini. Untuk kasusmu, aku berharap kau bisa mempertahankan apa yang kau miliki: optimismu, tawamu, kemanusiaanmu...

Wednesday, September 07, 2005

Tentang Cinta

[Persembahan Untuk Ulangtahun Pernikahan Perak Papa & Mama]

“Ma, bagaimana mama yakin kalau papa adalah orang yang tepat?”
“Percaya.”

Seperti air yang menuju muara?
Laksana matahari yang menyinari bumi?
Udara yang memberi nafas kehidupan?
Begitu adanya, begitu alami?

Namun itulah yang terjadi. Saat semuanya telah berjalan dijalurnya masing-masing. Kejadian-kejadian yang mengantarkan dua insan pada fase kehidupan yang beririsan. Pertanyaannya kemudian, akankah pertemuan itu kekal, atau hanya menjadi sebuah adegan dalam album kenangan? Maka beralihlah sebuah bolpen Parker dari sang wanita kepada sang pria sebagai tanda setia. Sebuah tanda yang menandai awal baru dari segala yang telah dimulai, kebersamaan yang jauh melebihi kata-kata, perasaan yang melampaui bunga, perhatian yang meruntuhkan segala curiga, mungkin inilah yang disebut cinta.

Sampai saat ini Iyut tidak mengerti apa arti cinta. Tapi ada yang bilang, cinta itu bukan untuk didefinisikan melainkan untuk dirasakan. Cinta bukanlah kata-kata pujangga, melainkan sesuatu yang muncul dari dalam hati. Cinta juga yang menjadikan dua orang yang berbeda dalam segala, bisa menjadi sebuah pasangan yang saling mengisi. Karena itu Iyut tidak terlalu peduli dengan arti cinta, perasaan hangat yang muncul tiap kali Iyut pulang ke rumah menafikan segala definisi.

Pertanyaan-pertanyaan papa pada detil kehidupan Iyut maupun tawa mama yang lebih sering keluar duluan sebelum orang lain tahu bagian lucunya, membuat Iyut senantiasa merasa kangen. Mungkin itulah yang membuat cinta ajaib, di satu sisi ia begitu menguatkan, membuat seorang memiliki tempat untuk kembali dan bersandar, namun disaat yang sama ia juga menyebabkan seseorang kehilangan kemandirian. Pada kehadirannya, cara ketawanya, gaya makannya, tontonan-tontonan yang disukainya, segalanya begitu mengikat. Dan meski hal itu membuat seseorang tidak akan menjadi sama lagi, keterikatan itu malah membuatnya bahagia.

Sampai saat ini Iyut tidak bisa membayangkan bisa melakukan hal itu. Menukarkan seluruh kemapanan Iyut: papa, mama, mas Adi, mimpi-mimpi, kebebasan, untuk seseorang yang sama sekali baru, seseorang antah-berantah dengan kebiasaan-kebiasaan aneh, bagaimana mungkin? Semuanya tampak sangat absurd buat Iyut. Keberadaan papa, mama, dan mas Adi tampak begitu tepat dalam kehidupan Iyut.

Apa yang papa dan mama rasakan 25 tahun lampau saat berikrar menjadi sepasang suami-istri, kemapanan yang ber-evolusi dengan kehadiran sosok baru? Perasaan benar yang tidak terjelaskan? Suatu hal yang tampaknya tidak akan pernah Iyut ketahui hingga saat yang tepat. Iyut tidak tahu alasan apa yang menyebabkan seseorang mau mempertaruhkan seluruh hidupnya pada sesuatu yang penuh ketidakpastian, dan resiko seperti perkawinan, tapi yang lebih tidak terbayangkan lagi adalah seandainya papa dan mama tidak berani mengambil resiko itu.

Resiko yang mengantarkan Iyut dan mas ke dunia, ketidakpastian yang telah menghadirkan begitu banyak tawa dan kebahagian. Apakah papa dan mama sudah tahu hal ini yang akan terjadi? Kalau tidak, mengapa segala sesuatu terasa begitu benar, dan tepat? Iyut tidak bisa membayangkan kehidupan lain tanpa kehadiran orang-orang yang Iyut cintai saat ini.

Mama ingat ngga waktu jalan-jalan di kebun propinsi Iyut pernah bertanya, “Apa mama pernah menyesal?” Kemudian mama menjawab bahwa mama tidak pernah menyesal, karena semuanya adalah pilihan dan komitmen. Mama melanjutkan, ketika memutuskan untuk berumahtangga, ada banyak hal lain diluar perasaan dan keinginan, seperti tanggungjawab, dan prioritas.

Iyut tidak begitu mengerti. Bagi Iyut cinta adalah sebuah mantra ajaib yang bisa meruntuhkan segalanya, tapi cinta ternyata juga membutuhkan pengorbanan serta tanggungjawab. Kadang Iyut berpikir cinta itu ada begitu saja, sebagaimana bulan yang selalu menemani malam, alami. Tapi ternyata ada banyak hal rumit dibalik itu, bahkan bulan pun memiliki saat-saat untuk bersembunyi dari pandangan mata. Mungkin itu sama halnya kalau Iyut lagi kesal karena merasa tidak dimengerti. Cinta itu selalu ada, hanya sedang sedikit tertutup dan mungkin Iyut jadi rada menyebalkan kalau lagi seperti itu(maafin Iyut ya..).

Iyut tadinya mau bilang terimakasih sama papa dan mama, tapi ucapan itu akan menjadi rangkaian kata yang tak habis-habisnya bagaikan tasbih semesta pada Sang Maha. Maka biarlah segala bahagia dan syukur Iyut terangkai pada Sang Pemilik Kasih untuk dua orang yang paling Iyut kasihi:

Ya Allah, jikalau aku merasa bahagia maka limpahkanlah kebahagian yang berlipat bagi kedua orangtuaku
Ya Allah, jagalah keduanya dari kesedihan dan kesulitan
Ya Allah, aku hanyalah hamba-Mu yang penuh khilaf, kataku bisa menjadi pedang, polahku mampu menorehkan luka, tapi kasih dan cahayu-Mu abadi, maka berikanlah keduanya kasih-Mu yang hakiki

7 September 1980- 7 September 2005

Monday, September 05, 2005

Buku, Cinta dan Kehidupan

Buku itu tersembunyi dibalik tumpukan teenlit dan chicklit. Namun saat aku sudah hendak membayar buku pertama, sebuah nama membuatku tertegun, Susanna Tamaro. Nama itu langsung membawa ingatanku menyelami halaman-halaman buku catatan seorang nenek pada cucunya. Saat aku membaca bagian belakang sampulnya, disebutkan: Buku ini bercerita tentang sifat-sifat jahat, perjuangan untuk hidup tanpa rasa takut, serta pencarian cinta.

Tanpa pikir panjang, akhirnya aku memutuskan untuk membeli dua buah buku. Karena Winn-Dixie(Kate DiCamillo) dan Jawablah Aku(Susanna Tamaro). Teh Ani dalam lingkar studi sastra pernah bertanya, “Apa alasan Yuti membaca buku sastra?” Saat itu aku menjawab untuk menambah wawasan. Namun wawasan itu aku klasifikasikan lagi menjadi beberapa bagian: melatih imajinasi, mengasah kepekaan, membuatku berpikir, mengoyak kemapananku dan merenungkan siapa diriku. Buku-buku yang melatih imajinasi serta kreativitas aku temukan dalam petualangan Harry Potter, Lima Sekawan, Sirkus Pak Galiano, Tintin dll. Kategori ini ringan dan menghibur.

Namun ketika aku berhadapan dengan karya-karya Pram, Umar Khayam, Arundhati Roy, Jhumpa Lahiri aku langsung dihadapkan pada sebuah fakta yang membuatku sangat tidak nyaman. Halaman demi halaman terasa berat, membacanya seperti menelan pil pahit yang tak berkesudahan. Hidup yang dibuka sedemikian rupa hingga memperlihatkan tulang belulang serta batas antara menjadi manusia dan binatang begitu tipis. Dalam kehidupan seperti itu, sangat sulit untuk menentukan benar-salah. Manusia seolah terpatri sedemikian rupa, struktur masyarakat yang menempatkan mereka menjadi baut-baut dalam sebuah mesin raksasa.

Kategori yang ketiga adalah buku-buku yang membuatku berpikir, mengoyak kemapananku, dan merenungkan siapa diriku. Paolo Coelho, Susanna Tamaro, Exupery, Gardner merupakan beberapa pengarang yang bisa membuatku melakukan dekonstruksi terhadap apa yang kurasakan, kuyakini, kemudian kembali menyusun apa yang hendak kulakukan ke depan. Cara kerja buku-buku itu tidak terstruktur, kadang bisa begitu saja lewat tanpa menimbulkan bekas yang mendalam, namun di waktu lain bisa membuatku terhenyak.

Karena semester ini aku mau fokus pada kuliah, aku menargetkan bacaanku hanya boleh yang sifatnya menghibur. Namun ternyata aku salah perhitungan, buku Susanna Tamaro yang aku kira bisa memberikan semangat ternyata membuatku larut dalam perenungan. Apa kau pernah merasa sebuah buku seolah membuka dirimu lapis demi lapis? Beberapa bagian dari buku Jawablah Aku melakukan hal itu.

Kerapuhan manusia, cinta narsistik, serta ketakutan-ketakutan yang membuat manusia justru kehilangan apa yang dipertahankannya mati-matian. Seperti saat ketika kau hendak menggenggam air. Kau mengepalkan tanganmu rapat-rapat agar tak ada sedikit pun yang keluar, tapi kau tahu apa yang terjadi selanjutnya, kau tak mendapatkan apa-apa. Ketika kau menginginkan sesuatu, kau harus cukup berani untuk membiarkan dirinya sebagaimana adanya. Kau harus membiarkan dirinya melihat dunia luar dengan membuka tanganmu dan membiarkan jari-jarimu menampungnya. Begitu pula dengan cinta, kau harus belajar untuk percaya.

Ketiga kisah dalam Jawablah Aku menceritakan orang-orang yang ketakutan akan kehilangan sesuatu yang mereka cintai. Namun sebelum kehilangan sesuatu, sebenarnya mereka telah kehilangan diri mereka. Kau mungkin ingat kisah Narcissus yang jatuh cinta pada bayangannya sendiri. Begitu pula dengan saat kau mulai membuat bayangan ideal mengenai sosok yang kau cintai. Ia bukan lagi sosok bebas, kau telah membalutnya sedemikian hingga ia harus cocok dalam bayanganmu. Kau tanpa sadar telah jatuh cinta pada bayangannya, bayangan yang kau buat dalam kepalamu sendiri. Saat kau melakukan hal itu, kau jadi sering membanding-bandingkan, kau jadi cepat cemas, dan mudah marah. Padahal mungkin kau tak pernah mencintainya, kau hanya mencintai bayangannya yang ada pada dirimu.

Kenapa cinta itu sangat rumit? Tokoh pertama dalam buku itu menyamakan cinta dengan peri. Seiring dengan bertambahnya umur, ia tahu bahwa peri itu tak ada, dan begitu pula dengan cinta. Bisa kau bayangkan hidup yang kelam seperti itu? Kau mungkin akan berkata mengapa ia memilih kehidupan seperti itu? Aku tak bisa berkata banyak, tapi melihat latarbelakangnya aku mencoba untuk mengerti. Ironisnya, saat ia mulai melihat cahaya, sebuah kejadian kembali menghempasnya. Mengapa hidup bisa begitu kejam? mungkin begitu pikirmu. Aku bisa mengatakan bahwa itu hanya cerita, tapi kau tentu tahu, aku hanya mencoba membohongi diriku sendiri, karena dunia nyata jauh lebih kejam.

Aku membutuhkan waktu cukup lama untuk menghabiskan buku setebal 219 halaman tersebut. Beberapa kali kuletakkan buku itu untuk menghirup udara segar, bukan karena kerumitan kata-katanya, melainkan karena kesederhanaannya. Ketika membaca buku Deleuze, Baudrillard, maupun text book wajar kalau kau membutuhkan waktu lebih untuk mencerna segala macam kata baru maupun jalinan logika yang tampak asing. Tapi ketika kau tercenung menghadapi kesederhanaan, dampaknya jauh lebih dahsyat. Kesederhanaan itu mengalir begitu rupa, masuk ke dalam sel darahmu dan melewati setiap inci tubuhmu. Bisa kau bayangkan akibatnya?

Hatimu yang biasa kau ajak bercengkrama, menjadi asing. Untuk mengusik danau yang tenang, kau tak perlu bom atom, kau hanya perlu sebuah batu kecil yang akan menimbulkan riak hingga ketepian. Atau kalau kau ingin contoh yang lebih dahsyat, kau bisa melihat pengaruh kepakan sayap kupu-kupu mampu menimbulkan badai tornado. Tentu saja dengan kondisi-kondisi khusus, tapi kapan kau tahu sesuatu itu khusus atau tidak?

Untung aku tak perlu gelisah terlalu lalu lama. Seiring usainya halaman terakhir, aku melanjutkan membaca buku DiCamillo. Di sampul bukunya tertera Newbery Honor Book, sebagaimana penghargaan serupa untuk buku Di Camillo yang sebelumnya, The Tale of Despereaux. Buku-buku itu tampaknya diperuntukkan buat anak-anak hingga usia 12 tahunan, tapi kadang isinya bisa mengajari lebih banyak hal. Dan entah kenapa, kisah yang aku temui memiliki benang merah dengan buku sebelumnya, yaitu seorang anak yang kehilangan ibunya.

Karena rating umur yang berbeda, sudut pandang keduanya juga lain. Namun keduanya sama-sama mengajarkan sikap untuk menerima, dan melihat segala sesuatu dengan jernih. Aku jadi belajar untuk melihat lapisan-lapisan dimensi. Suatu kali aku pernah bertanya, untuk apa aku sekolah dan melakukan segala rutinitas. Padahal proses kehidupan begitu sederhana: lahir-sekolah-kerja+menikah-meninggal. Apa jadinya jika aku tidak sampai pada salah satu fase dan langsung meninggal, apakah hidupku sia-sia?

Seiring dengan perjalanan waktu, aku mulai belajar bahwa masing-masing fase memiliki definisi kebahagiannya masing-masing. Sama halnya dengan kehidupan tiap orang yang memiliki cara untuk menyalurkan kesedihan dan kegembirannya dalam berbagai bentuk dan warna. Tiap kali bertemu dengan orang baru, lingkungan ataupun kisah manusia yang terangkum dalam teks, aku mulai melihat segala hal dengan kacamata berbeda. Dunia ini begitu luas, dan memiliki banyak kontradiksi. Kadang aku begitu takut kehilangan, namun disaat yang sama aku begitu mudah jatuh cinta.

Hidup ini begitu ajaib, menakjubkan, tapi kadang juga menakutkan. Ya Allah, berikan aku petunjuk-Mu....

Saturday, September 03, 2005

Kepingan Petunjuk

Hehehe akhirnya aku dapat beberapa petunjuk yang bisa digunakan untuk melanjutkan TA. Titik terang itu adalah: entropi, shock wave, hukum kekekalan, dan termodinamika. Tinggal bagaimana menghubungkan keempat hal diatas, terutama hubungan antara entropi yang dilekatkan pada pembahasan shock wave. Untuk lebih jelasnya, aku bikin glosarium dulu deh.


Entropi: berasal dari bahasa Yunani, entrope, yang artinya berubah; merupakan derajat ketidakteraturan dari sebuah sistem
Shock wave: solusi diskontinu dari hukum kekekalan


Aku menggunakan hukum kedua termodinamika yang menyinggung masalah peningkatan entropi dalam sistem tertutup, yang ternyata berkaitan juga dengan hukum pertama mengenai kekekalan energi. Payahnya kepingan-kepingan itu masih berdiri sendiri-sendiri, belum kelihatan sambungannya blas. Dari beberapa searching yang aku lakukan di mbah Goo, entropi digunakan dalam pembahasan termodinamika, teori statistik, dan teori jaringan. Nah, kebanyakan sumber yang aku baca malah lebih banyak menyinggung masalah filososfis yang diakibatkan oleh entropi, salah satu yang menarik adalah cara pandang mengenai semesta.


Konsep entropi(dalam hukum kedua termodinamika), menimbulkan implikasi filosofis mengenai alam semesta. Semesta dipandang sebagai sebuah sistem tertutup dengan entropi yang terus meningkat. Hal ini berarti suatu saat nanti, alam semesta akan berakhir. Huaks… aku koq ngga fokus gini(ayo yut, balik ke shock wave). Dalam pembahasan mengenai shock wave, ada beberapa versi kondisi entropi. Kata dosenku beberapa versi mengenai kondisi entropi tersebut tidak ekivalen(aku harus bisa menjelaskan mengapa bisa begitu dan kondisi apa yang menyebabkan hal itu).


Ada versi kondisi entropi yang dikenal juga sebagai pertaksaman Oleinik. Pertaksamaan ini lumayan sakti karena berlaku untuk fungsi f non-konvek(fungsi f yang digunakan disini merupakan kemiringan dalam persamaan inviscid Burger, kriteria non-konveksnya sendiri dianalisa lagi dengan konsep-konsep yang ada di Analisis Complex). Sedangkan pertaksamaan kondisi entropi Lax hanya bekerja dengan baik kalau fungsi f-nya konvek. Selain kedua pertaksamaan itu, ada bentuk kondisi entropi yang bentuknya lumayan beda dengan versi Oleinik maupun Lax, yaitu dengan mencari nilai E sehingga berlaku pertaksamaan sbb: [u(x+a,t)-u(x,t)]/a <>


Pertanyaan yang muncul: Apa hubungan entropi yang ada dalam hukum kedua termodinamika dengan entropi dalam shock wave(namanya sama tapi koq kayanya ngga nyambung blas)? Aduh, kayanya aku detektif yang lumayan parah. Kepingan-kepingan yang aku punya belum bisa disambung-sambung membuat sebuah jalinan yang utuh. Mana klien(biar keren, padahal aslinya dosen pembimbing) menargetkan aku bisa menyelesaikan kasus dengan tuntas tanggal 20 Oktober(udah harus seminar I). Hmm… dari sudut shock wave, kondisi entropi digunakan untuk menyeleksi solusi dari persamaan diferensial parsial agar mendekati keadaan sesungguhnya. Tapi dari sudut hukum kedua termodinamika apa ya?


Coba aku lihat dari perjalanan sejarahnya…. Sekitar tahun 1850 Lord Kevin, Carnot dan Clausius mempelajari pertukaran energi panas dalam mesin menunjukkan bahwa terdapat hierarki diantara variasi bentuk energi dan ketidakseimbangan dalam transformasinya. Hierarki dan ketidakseimbangan ini merupakan landasan dari prinsip termodinamika yang kedua(atau sering juga disebut dengan prinsip Carnot).


O iya yang lebih parah lagi, aku nggak tahu makhluk seperti apakah entropi itu. Sejenis energi yang memiliki satuan, atau sebatas konsep aja. Asumsi I: entropi sebagai konsep. Kayanya lumayan berhasil kalau menggunakan pendekatan ini. Salah satu yang menjadi sorotan dalam hukum kedua termodinamika adalah masalah irreversibiltiy(kemampuan untuk kembali;berkaitan dengan kekekalan).


Nah, kenyataannya bahan fisis, bahan kimia serta energi elektrik bisa diubah sepenuhnya menjadi panas. Namun proses pembalikannya(panas menjadi energi fisis, misalnya) tidak bisa sepenuhnya dilakukan tanpa bantuan dari luar atau tanpa kehilangan energi yang digunakan untuk proses pembalikkan. Hal ini tidak berarti energi musnah; hal ini berarti ‘pembalikan’ tersebut tidak tersedia untuk menghasilkan kerja. Peningkatan yang tidak dapat diubah(/dibalik) dari energi yang tidak dapat dibuang dari semesta diukur dengan dimensi abstrak yang oleh Clasius pada tahun 1865 disebut entropi


Dalam pembahasan shock wave, sebuah shock dikatakan memenuhi kondisi entropi jika dua buah karakteristik yang berpotongan bisa ditarik ke kondisi awal(mari kita coba melakukan visualisasi. Pertama: bikin kurva cartesian x dan t, kemudian tarik garis dengan kemiringan s yang diperoleh dengan formula Rankine-Hugoniot. Dari garis itu kemudian ada garis-garis yang tabrakkan, huahaha… visualisasinya udahan aja, belepotan neranginnya). Hal ini kayanya berhubungan dengan proses pembalikkan yang sempat disinggung diatas.


Parah nih tulisan masih banyak kayanya, ngga mungkin ngadep dosen dengan segudang kemungkinan kaya gini. Ada yang mau bantu?

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...