Wednesday, September 14, 2005

Soliter

Suatu kali aku pernah minta alamat e-mail seorang penulis. Balasan dari orang yang kutanya seperti ini: “dia punya beberapa email. tapi orgnya gak terlalu ramah. jd jangan kaget kalau nggak dibalas atau dibalas tapi sinis. penulis dan karyanya gak selalu sebangun.” Aku jadi bertanya-tanya, mungkin ngga seseorang dinilai tulisannya? Gordimer dalam pidato Nobel Sastra(07/12/91) yang berjudul Tulisan dan Ada, menyebutkan: “Saya menulis sebagaimana seorang anak bahagia karena memahami hidup melalui indra—penglihatan, penciuman, dan merasakan sesuatu; dan segera keluar dari emosi yang membingungkan dan mengamuk dalam diri saya, dan mengambil bentuk, menentukan sejumlah pencerahan, pelipur lara, dan kebahagiaan, dibentuk dalam kata tertulis.”

Aku ngga tau seberapa tepat seseorang bisa dinilai dari karyanya, yang jelas aku kadang juga menggunakan buku untuk menilai seseorang. Dari jenis buku bacaan, pengarang-pengarang favorit, penerbit buku, maupun pilihan tema. Aku pernah menemukan sebuah teenlit yang kelam. Kalau menurutku, ceritanya rada keluar pakem yang umumnya hanya menyinggung persoalan hubungan perempuan-laki dengan variasi putus-sambung. Jawaban atas tema yang dia pilih, aku temukan dari sederet nama penulis perempuan India yang dia sebut sebagai pengarang favoritnya.

Untuk jenis tulisan non-fiksi, mungkin kasusnya agak berbeda. Sebagaimana yang diungkapkan oleh almarhum Soedjatmoko(di Intisari aku baca namanya Soedjatmiko, tapi pas baca Kebudayaan Sosialis namanya ditulis Soedjatmoko, apa aku salah inget ya?), menulis baginya merupakan proses yang menyakitkan, karena harus menorehkan banyak keperihan, mengingat begitu banyak realitas yang menyakitkan, dan menuangkannya dalam teks. Karena alasan itu pulalah, beberapa penulis yang tulisannya acap aku sebut sebagai ‘manusia banget’ mungkin bisa menjadi sinis.

Serem juga membayangkan seseorang dengan idealisme dan cita-cita harus menjadi seorang yang demikian sinis. Menanggung segala kepedihan seorang diri, dan dengan segenap energi yang tersisa mencoba membagi mimpinya kepada orang-orang, lewat kata, sikap, namun kemudian tenggelam lagi dalam kedukaan yang dalam. Tak bisakah kepedihan itu dibagi dengan orang lain? Kau pernah bilang, kalau kau siap menanggung resiko untuk menjadi terasing, dari perasaan-perasaanmu, dari orang-orang yang kau sayangi, demi mewujudkan mimpi-mimpi besarmu yang lebih sering tak terpahami. Seperti lagu Gie ujarmu...

Apakah kau harus demikian kesepian? Mengamati segala hal, mencoba menafsirkan dunia dengan kacamata-kacamata yang kau temui dalam perjalanan kehidupan, namun ketika kau larut dalam pencarian, akhirnya kau sadar, kau tak pernah menjadi bagian dari sebuah kisah. Langkah-langkah perubahan, pandangan-pandangan revolusionermu hanya menjadikanmu bukan milik siapa-siapa. Kau menjadi orang luar yang kian lelah dalam melihat dunia yang menua.

Ada yang bilang, sejarah adalah milik pemenang. Guratan kisah dalam buku-buku yang dibaca anak-anak berseragam putih-merah, hingga abu-abu, hanya menulis siapa yang menjadi pahlawan. Orang-orang yang dianggap tidak mendukung pemenang, dianggap sebagai pihak kontra, kontra-perubahan, kontra-revolusioner, atau entah apalagi. Kau mungkin ingat masa-masa Orba dimana segala hal yang mencurigakan dapat dengan mudah dikenakan UU Subversif, atau periode 1945-1970, dimana baik-buruk berubah sedemikian cepat dan manusia yang ada di masa itu dengan mudah lupa pada sejarah.

Hidup ini pilihan, tapi kalau bisa memilih untuk tidak sendiri, kenapa kau mau melakukannya? Hari-hari ini winampku sering memutar lagu-lagu dari film Gie, dan tiap kali aku mendengarnya aku merasa miris. Aku jadi teringat potongan-potongan kisah harian yang kubaca di Catatan Seorang Demonstran. Aku meminjamnya dari seorang kawan, bukunya sudah cukup usang, dengan lembaran menguning dan sampul yang sudah tidak mulus lagi. Tapi bagaimanapun aku lebih memilih buku itu daripada buku terbitan baru, bersampulkan seorang artis tenar dan merk rokok. Padahal kau tahu, Gie tidak merokok...

Mungkin kalau kisahmu diangkat dan dipromosikan besar-besaran(mulai dari iklan sabun sampai bilboard-bilboard besar)kau tidak akan kesepian lagi. Mimpimu akan menjadi bagian dari impian muda-mudi yang menontonmu. Kau bisa lega, bahwa pada akhirnya perjuanganmu tidak sia-sia, dan pada akhirnya mimpimu terpahami, meski itu terjadi puluhan tahun setelah kau tiada.

Apakah kau sudah siap menanggung itu semua? Meski wajahmu selalu menyiratkan ketegaran dan senyum, tak ada manusia yang kuat menanggung kesendirian. Aku tahu realitas membuatmu gelisah. Anak-anak yang tak dapat sekolah dengan layak, trafficking, TKI, kelaparan, kehilangan rumah, penganiayaan, disisi lain, mal-mal terus menjulang mengambil lahan-lahan yang tadinya digunakan untuk tanaman palawija, rumah-rumah megah dengan gaya Eropa hingga Amerika, mobil-mobil built-in dengan pajak yang bisa digunakan untuk menghidupi keluarga sederhana selama beberapa bulan. Semuanya tak mudah, dan kalaupun masih ada senyum dibalik kepasrahan mereka, aku tahu itu bukan pembenaran akan kondisi yang ada. Tapi tak ada yang memintamu untuk menebus semua itu dengan kebahagianmu, dengan orang-orang yang menyayangimu dan mendukung segala langkahmu.

Kau mungkin masih ingat gaya pemberitaan di Aceh pasca Tsunami, dimana pembawa acaranya pun tampak tak dapat menyembunyikan kesedihan. Padahal seorang reporter seharusnya dapat menyembunyikan dirinya atas nama objektivitas. Tapi semua orang paham akan emosi yang tampak, pemberitaan itupun memperoleh julukan ‘reportase gaya baru.’ Ingatanku agak parah, tapi selain kasus itu, media juga acap disebut sebagai comitted observer. Artinya, meskipun kau memperjuangkan objektivitas, kau tetap tidak kehilangan dirimu, karena kau memegang komitmenmu pada apa yang kau yakini. Untuk kasusmu, aku berharap kau bisa mempertahankan apa yang kau miliki: optimismu, tawamu, kemanusiaanmu...

3 comments:

Anonymous said...

.. there's a lot things or events in the past before two events or stranger meet, by the way, it`s a mathematics, about probability .. do you always c this world in a complex form? from now remember to have a cup of tea at afternoon & see the sun goes down, that`s life :-) & take a deep breathe ..

Cheshire cat said...

I wonder who you are...

Complex form? Maybe not, I liked too see things as it is, and try to enjoy every single thing which happened to me. But sometimes, a cup of tea, or music can't cheer me up...

Especially when someone who I care much feel sad...

Anonymous said...

2nd anonymous: Where did u get that quotes or something, Anonymous?

I'm wondering who u are...

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...