Friday, September 16, 2005

Kesasar

Kau mungkin ingat permainan panas-dingin? Sebuah permainan mencari benda atau petunjuk dimana ketika kau sudah dekat maka sang penanya akan mengatakkan panas..panas.. dan kalau kau menjauhi jawaban, maka kau akan mendapatkan kata dingin. Begitu juga yang kurasakan ketika aku harus menjelajahi daerah baru. Karena salah satu hobiku yang paling antik adalah kesasar, maka aku terbiasa dengan sinyal panas-dingin yang ada di kepalaku. Ketika aku tiba di suatu tempat asing, di kepalaku seperti ada suara dingin..dingin...

Entah kenapa, aku cukup sulit untuk mengingat sebuah tempat. Apalagi kalau bangunan-bangunan di sekitarnya mirip. Hobiku yang satu itu selalu mengantarkanku untuk bertemu dengan orang-orang baru. Biasanya kalau kepalaku sudah dipenuhi suara dingin..dingin itu tandanya aku harus mulai bertanya kepada orang, jalan mana yang benar. Seperti kemarin sore, ketika aku telah melewati jembatan layang yang kukira akan mengantarkanku ke sebuah daerah yang kukenal. Nyatanya aku sampai ke daerah padat, dengan mobil angkot merah, biru, putih dan hijau. Angkot-angkot yang aku ketahui menempuh rute yang jauh.

Sontak saja, aku sadar bahwa aku sudah kesasar. Setelah celingak-celinguk, aku bertanya pada sopir angkot yang ada disampingku. “Punten pak, kalau mau ke jalan Riau kemana ya?” “Balik aja neng, nanti belok kiri,” ujar sopir angkot merah putih itu. “Abis itu kemana pak? Ada angkot yang bisa diikutin ngga?” tanyaku lagi dengan tampang yang tampaknya membuat khawatir karena pak sopirnya kemudian berujar, “Nanti kalau sudah sampai diperempatan tanya orang lagi aja.” “O iya pak terimakasih.”

Sampai di ujung jembatan aku kembali bingung. Hmm.. jalan yang mana ya? Akhirnya kalau tadi aku naik ke atas jembatan, sekarang aku melewati jalan di bawahnya. Konyolnya arahnya sama seperti yang aku lewati tadi, tapi saat itu aku berpikir mungkin tak jauh darisana ada belokan yang bisa kuambil. Sambil menelusuri daerah di bawah jembatan yang cukup kumuh dengan penggalian di kiri-kiri jalan, tukang jualan beratapkan terpal biru-oranye, dan asap yang menebal aku menyusuri jalan itu. Jalanan kecil itu cukup padat. Lagi-lagi aku mencari orang untuk ditanya. Pandanganku berhenti pada seorang gadis berkaos merah.

“Punten teh, kalau mau ke jalan Riau lewat mana ya?” “Wah maaf, saya ngga tau.” Tak lama kemudian muncul seorang ibu yang memberitahukan bahwa aku harus lurus saja terus. Belum yakin betul, muncul seorang pemuda dengan kisaran 25-an yang membuat aku cukup seram. Alis yang berantingkan sebuah peniti emas, kuping yang ditindik sampai beberapa bolongan, dan wajah yang cukup sangar. Pikiran-pikiran buruk mulai menggelayuti kepalaku. Apa aku langsung tancap gas saja ya? Sambil mempertegas suaraku aku mengucapkan terimakasih atas informasinya dan langsung ngacir.

Benar saja, tak lama kemudian aku kembali sampai di ujung jembatan. Hanya saja kali ini aku datang dari jalan non-jembatan. Targetku kali ini adalah pengendara motor sebelah yang sama-sama terjebak dijalanan yang cukup ramai. “Pak, kalau mau ke jalan Riau kemana ya?” tanyaku. Belum sempat terjawab, jalanan sudah mulai lengang. Darpada aku dimaki-maki orang, aku pinggirkan motorku ke arah pangkalan ojek yang mangkal tak jauh dari tempatku bertanya tadi. Rupanya pengendara motor tadi mengikutiku karena hendak memberitahu arah jalan. Bapak itu memberikan beberapa batasan yang harus aku ikuti, tapi tetap saja aku bingung.

Karena itu akhirnya aku bertanya pada pak ojek berpeci. Ketika aku bertanya, orang-orang lain turut berkumpul, nimbrung. Petunjukknya sekarang seperti ini, kalau ketemu perempatan belok kiri, terus belok kiri lagi, dan nanti belok kanan. Karena kapok dan hari semakin beranjak malam, aku tegaskan, “Jadi saya tinggal belok kiri dua kali pak?” Sambil mengacungkan kedua jariku membentuk tanda peace. “Iya,” jawab bapak yang kutanya tadi.

Aku kembali ke arah jembatan yang sudah kulewati berkali-kali itu. Sekali yang ke arah Soekarno-Hatta dan dua kali ke arah kebalikannya, belum lagi ditambah sekali menyusuri jalan di bawah jembatan. Untung saja petunjuk bensin masih menyisakan satu garis sebelum batas merah. Kali ini setiap kali belokan, aku bertanya pada orang, dan akhirnya sinyal di kepalaku mulai bersuara panas..panas... Hipi...

Kesasar kadang merupakan suatu hal yang menakutkan. Namun seiring dengan rekor kesasarku yang terus bertambah, aku mulai menerimanya sebagai sebuah pengalaman yang memungkinkan aku untuk bertemu berbagai macam orang, dan melihat tatapan-tatapan peduli di balik wajah lelah dan berkeringat. Seperti saat aku melakukan survey pada pengamen di simpang. Bukan aku yang kasihan pada mereka, tapi mereka lebih ribut ketika melihat aku berpeluh di tengah sengatan matahari. Akhirnya mereka memintaku berteduh, dan memanggil kawan-kawan mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan.

Hua, senangnya memperoleh semangat baru, lagi dan lagi...

3 comments:

Unknown said...

Teh Yutiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!

Mestinya saya temenin pulang ya? Hiks! Saya jadi merasa bersalah...

Mestiny saya temenin pulang...

Tapi, paling enggak satu-kosong. Maksudnya kemaren itu kita berdua sama-sama dapet pengalaman berharga...

Hihihihihi

Unknown said...

Eh, salah deng! Satu-sama yang bener...

Hihihihihi...

Cheshire cat said...

Huahaha... kalem aja, udah biasa koq Les. Itung-itung melihat kehidupan di kolong jembatan. Kayanya bandung sekarang sudah menjadi kota metropolis banget, lengkap dengan asap-asap bau yang biasanya hanya aku temui di film Hollywood tentang daerah kumuh. Perbedaannya mungkin, karena aku tidak melihat tong-tong besar yang digunakan untuk menghangatkan badan.

Lumayan untuk bahan renungan...

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...