Thursday, May 25, 2006
Gotcha!
Yeah, for the sake of curiosity.
NB: Hmm... keep trying to increase my pathetic English
Monday, May 22, 2006
Pernyataan Tujuan
Waktu ngobrol ama calon dosenku, aku ditanya kenapa milih Matematika. Sebenarnya banyak banget yang mengajukan pertanyaan itu padaku, dan jawaban yang aku berikan pun bergantung pada mood, ya MBA(Math By Accident)lah, karena menarik, karena ngga tau lagi mau ngitemin apa padahal pilihan di form UMPTN ada 3(aku milih IPC), dsb. Tapi waktu aku ditanya ama calon dosenku itu, jawabanku bukan jawaban yang biasa aku kasih, “Karena dari SD-SMA, matematika satu-satunya pelajaran yang saya ngga perlu belajar, Pak.”
Pertanyaan mendadak yang aku timpali dengan jawaban mendadak pula, tapi malah membuatku berpikir lebih dalam. Aku memang jarang belajar kalau mau ujian matematika, karena kalau di kelas sudah mengerti, aku tinggal menggunakan pola-pola yang sudah ada di dalam kepala ketika berhadapan dengan soal. Kalau alasannya malas belajar, rasanya tidak juga, karena bagiku matematika seperti teka-teki yang memancing rasa ingin tahu. Karena itu, biasanya aku kemana-mana membawa soal-soal yang kerap diberikan guruku dalam bentuk lembaran-lembaran. Mirip kalau orang mengerjakan buku TTS yang dijual seharga seribuan untuk mengisi waktu luang, maka aku biasa membawa lembaran-lembaran soal math.
Keadaan berubah ketika aku menginjak bangku kuliah. Matematika mulai menjadi tidak menarik(aku juga ngga tau kenapa), dan dengan sendirinya aku kehilangan mood ‘memecahkan teka-tekiku.’ Baru ketika mengerjakan tugas akhir aja, aku kembali menemukan kesenangan itu. Dan kini, ketika aku hendak melanjutkan studiku, benarkah aku benar-benar akan meninggalkan ilmu yang telah aku tekuni selama 4 setengah tahun lebih?
Aku masih akrab dengan buku-buku matematika. Mulai dari yang filosofis, sampai yang sudah berhubungan dengan simbol-simbol dan teorema-teorema tertentu. Untuk yang sudah agak teknis, daya tariknya bukan terletak pada manfaatnya, tapi benar-benar pada keindahan logikanya. Buku-buku filososfis analog dengan buku-buku fiksi, sedangkan buku teknis analog dengan buku non-fiksi. Pertanyaan yang menghiasi benakku adalah, benarkah aku benar-benar akan memulai lembaran hidup baru dengan pindah jurusan?
Hmmph... pertanyaan yang sulit. Tapi aku akan mencoba mencari gambaran yang lebih besar dari matematika. Himpunan Cantor(ambil bilangan real di selang [0,1], kemudian bagi menjadi tiga bagian yang sama besar, kemudian buang yang bagian tengahnya, lakukan hal yang sama secara terus menerus pada bagian-bagian yang tersisa) misalnya, merupakan contoh fraktal. Di alam, banyak bentuk yang merupakan fraktal(misal: snowflake, daun ijo gepeng temennya anggrek). Secara sederhana, fraktal berarti rekursif self-similar. Nah, karena rekursif self-similar ini seringkali sampai infinite, maka yang tertangkap langsung seringkali bentuk yang tidak beraturan, padahal kalau dilihat dalam skala mikroskopik, terlihat ada pola tertentu.
Nah, bidang pasca-ku kayanya juga ngga jauh-jauh dari pola. Hanya saja, makhluk-makhluknya sekarang ngga sebaik bilangan yang mengikuti aturan tertentu, melainkan manusia yang variasinya bakalan jauh lebih banyak. Hmm, kayanya ngga cocok kalau menggunakan konsep fraktal, aku pakai konsep butterfly effect aja deh. Contoh ini aku baca dari tulisannya mas Roby yang mengamati lonjakan listrik di Inggris setiap kali ada pertandingan sepakbola. Jawaban dari adanya lonjakan ini adalah karena ketika waktu istirahat(pergantian dari ronde satu ke ronde dua), para penonton berbondong-bondong membuat teh.
Trus kenapa aku nyebrang ke masalah sosial? Aku ngga tau juga, meski kalau aku baca profil founding father-nya matematika, khususnya yang analisis, kebanyakan larinya ke masalah-masalah filosofis. Dosen-dosenku yang banyak nulis tentang matematika sekolah dan konsep berpikir juga kebanyakan dari latar Kelompok Keahlian Analisis. Jadi meski aku kecebur ke analisis(karena awalnya, aku nyangka dosenku terapan) setelah dijalani ternyata malah ketemu benang merahnya.
Mau pake konsep alam bawah sadarnya Freud? Boleh juga sih, tapi aku ngga mau membahasnya disini. Well, udah dulu ah menganalisis diri sendiri.
NB: Aku jadi kepikir, apa kalau aku berhasil menganalisis diri sendiri, dan membuat logika yang cukup rigid, aku akan cukup puas? Koq, aku malah jadi keinget salah satu episode Mr. Bean yang ngga bisa tidur trus menghitung domba. Ajaibnya. perhitungan domba yang sebenarnya bertujuan untuk mendatangkan rasa bosan dan kantuk, diselesaikan dengan kalkulator. Adegan ini bisa menjadi benar, seandainya Bean tidak bisa tidur karena penasaran dengan jumlah domba, tapi masa gitu sih??
Friday, May 19, 2006
Godel
Kemarin aku abis ngobrol lagi dengan calon dosenku. Setelah sebelumnya aku ditanya siapa tokoh favoritku, yaitu Godel, perbincangan berlanjut ke pemikir-pemikir di kalangan sosial sains. Selain ngobrol, aku juga diberi beberapa artikel yang ditulis oleh Bruno Latou(?), salah satu tokoh di bidang studi sains dan teknologi. Dari belasan artikel yang dikasih, aku langsung tertarik pada sebuah judul: Cogito ergo sumus, lucunya quote yang digunakan diawal tulisan adalah kata-katanya Kapten Haddock. Hihi, kebetulan yang aneh, soalnya aku baru bikin profil orang yang menurutku mirip dengan kapten Haddock.
Ok, back to the real topic, dalam studi kebijakan sains dan teknologi, menurut calon dosenku ada beberapa pemikir yang penting, Bruno dan Locke. Aku pernah denger konsep Locke mengenai tabularasa. Aku sendiri tidak setuju dengan konsep tabularasa-nya Locke, karena bagiku tidak mungkin ada orang yang memulai sesuatu dengan layar kosong dan tanpa tercampur subjektivitas. Itulah yang menyebabkan saat ini tokoh filosofku adalah Godel, yaitu dengan memandang teorema Ketidaklengakapannya sebagai subjektivitas. Dalam arti seperti ini: tiap kali seseorang membuktikan teorema, ia akan menggunakan sebuah asumsi yang terlebih dahulu ada di dalam kepalanya. Sama halnya ketika memecahkan paradoks Zeno yang mengatakan Achilles tidak mampu mengejar kura-kura, karena tiap kali Achilles mengejar, kura-kura tersebut pasti telah melangkah maju lagi.
Cara memecahkan paradoks Zeno(dalam pemahamanku) adalah dengan melihat sistem paradoks tersebut dalam tingkatan yang lebih tinggi, yaitu dengan melihat bahwa ketika terjadi deret geometri yang lebih mengecil maka karena masalah tersebut berbicara mengenai keterhinggan versus ketakhinggan, maka pada suatu waktu tertentu, Achilles mampu mengejar kura-kura.
Sama halnya dalam pembahasan sains dan teknologi yang dianggap bebas nilai(baca: memiliki kebenaran universal), nah bagiku hal ini tidak benar. Teknologi pupuk misalnya, ketika diterapkan di suatu daerah bisa jadi malah menimbulkan bencana karena unsur manusia. Pertama, karena mungkin pemanfaatan pupuk itu tidak dibarengi transfer ilmu, sehingga penggunaannya salah, kedua, karena pupuk tersebut bisa jadi menimbulkan ketergantungan petani kepada produsen pupuk dlsb. Apalagi dalam mengambil suatu kebijakan, terutama yang berskala nasional, tak pernah ada yang benar-benar lepas dari pertimbangan politis.
Hal inilah yang bagiku merupakan subjektivitas yang tidak terhindarkan dari sains dan teknologi. Karena itu pula Teorema Ketidaklengakapan Godel memiliki implikasi filosofis yang cukup luas, karena pada dasarnya tak ada yang benar-benar bisa terlepas dari subjektivitas. Aku mencoba menghindari kritik dari kalangan sains terhadap kajian budaya sebagaimana yang digugat oleh Sokal(fisikawan yang melakukan percobaan sosial dengan mengirimkan paper 'rekayasa' ke jurnal Social Text), namun dalam buku Agama Einstein pun dijelaskan bahwa subjektivitas adalah hal yang tidak terhindarkan.
Implikasi lain dari teorema itu bagiku adalah di dunia ini senantiasa akan ada misteri-misteri yang terpecahkan dengan cara 'aneh'. Descartes di depan tungku ketika menjadi prajurit, Archimedes dengan bak mandinya, Newton dengan pohon apelnya, dan banyak lagi. Namun, sesuai dengan konsep ikhtiar, hal ini tidak gifted begitu saja, melainkan merupukan proses decoding dengan tools yang sudah ada dalam kepala.
Wednesday, May 17, 2006
Meant To Be
Gara-gara status pengangguran terselubung, aku jadi banyak mikir. Sebenarnya nganggur banget-banget sih ngga juga, aku masih magang di Berkala, jadi asisten dosen, bermain di Aksara, dan kegiatan-kegiatan mendadak lain, tapi tetep aja, aku punya banyak waktu luang buat mikir(hmm... setidaknya pagi-pagi, aku memang menyediakan waktu untuk itu) apa yang akan aku lakukan selanjutnya.
Masih ingat film Serendipity, atau versi dalam negri ...(hihi, ternyata lupa, pokoknya yang main Marcel dan Rachel Maryam, trus settingannya gedung Trans TV gitu)? Nah, film-film itu menyebutkan bahwa perempuan emang seneng banget dengan yang namanya pertanda(dan karena itu formula Cinderella klasik masih tetep laku; FYI: sinetron yang lagi tayang dan menggunakan kata Cinderella saat ini saja ada dua buah). Kejadian-kejadian kecil yang bisa menimbulkan lintasan pikiran di kepala, “Wah, he’s the one nih,” cuma gara-gara ngedenger lagu yang bikin semacam deja vu.
Tambahan referensi, film When Harry met Sally(?), buku He’s Just Not That Into You, genre chicklit: Sihir Cinta, Cintapuccino, dll. Benang merahnya: perempuan seneng dengan pertanda dan seringkali mengambil keputusan besar berdasarkan pertanda itu. Aku? Iya banget juga. Kebayang ngga, berangkat ke kampus tanpa agenda apapun, trus tau-tau ngerjain suatu hal yang penting cuma karena mendadak ketemu dengan orang yang tepat.
Kejadian paling mutakhir Ahad lalu, saat Aksara mengadakan Creative Writing bareng kang Benny, kang Ipe, dan kang Deden. Sriiiing... aku mengalami deja vu, perasaan bahwa kejadian ini pernah aku alami sebelumnya. Nah, karena pesertanya cuma satu orang, alhasil panitia memiliki kesempatan untuk bertanya sebanyak-banyaknya. Dari sana, aku nanya tentang fiksi-non fiksi dan menerbitkan buku. Trus diluar forum aku juga cerita nasib naskahku yang ngga jelas juntrungannya ke kang Benny(soalnya sama-sama dari editor Mizan). Setelah dikasih saran, hari Seninnya aku langsung menghubungi editor di penerbitan yang aku kirimkan, dan bener aja, naskahku ngilang. Dari catatan di bagian penerimaan, naskahku udah diterima, tapi ngga tau ‘tu naskah jalan-jalan kemana. Jadi aku diminta mengirimkan lagi, kali ini dalam bentuk soft copy aja katanya. [Sebenernya sebelum ini, aku juga udah nanyain nasib naskahku, tapi belum dapet balesan, baru dapet balesan kemarin, waktu aku nanya lagi].
Informasi dari mamaku terjadi dengan cara yang ngga beda jauh, saat mama lagi ngobrol dengan kenalan baru, tau-tau topik mengarah tentang lowongan untuk menjadi kontributor. Trus kenalan baru mamaku itu langsung minta aku mengirimkan CV secepatnya. Waktu aku mengirimkan CV, aku ngga berharap banyak, kalau emang udah meant to be, ya jadi, kalo ngga ya udah. Lempeng banget ya? Tapi ajaibnya, karena gaya hidupku lempeng, aku jadi ketemu dengan orang-orang yang semangat banget ngasih saran dan dorongan buatku.
Karena itu, bagiku hidup ini benar-benar ajaib. Orang-orang dari berbagai karakter dipertemukan dalam sebuah irisan kehidupan untuk saling melengkapi.
Mmm... I just love how people fit my world
NB: Kemarin aku baru nyampein salam dari calon dosen ke dosenku, hihi.. rasanya lucu.
Monday, May 15, 2006
Porto
[Nyeh..nyeh... si alter ego ‘gw’ kumat]
Akhirnya jadi juga gw bikin porto. Setelah semaleman ngubek-ngubek folder di kompie, terkumpul 25 tulisan yang udah pernah dipublikasikan. Asli, nyarinya lama banget, abis kalo lagi ngga ada ide buat ngasih nama file, muncul bunyi-bunyian aneh, ya krek, kruk, bruk, plek, dkk. Gw jadi inget waktu praktikum pemrograman, untuk suatu fungsi biasanya gw kasih nama moo, bluk dan sejenisnya, ampe asistennya bengong-bengong ngeliatin program gw. But, as Shakespeare said, “What is in a name?” So’ selama programnya lancar-lancar aja, kenapa juga bingung mikirin nama.
Masalahnya emang jadi beda kalau udah menyangkut dokumentasi. Alhasil, tadi malem gw harus bukain satu-satu untuk nyari file yang gw inginkan. Sebagai pelaku aja, gw geleng-geleng kepala ngeliat hasil kerja gw sendiri, bener-bener ngga teratur. Bayangin aja, dalam satu folder ada yang namanya baru, new, new lagi, baru euy. Untuk tau mana yang paling baru sih gampang, cari aja yang namanya paling panjang. Algoritmanya gini, tingkat paling awal ditempati oleh bahasa Indonesia, trus dari panjangnya. Jadi kalau ada file yang namanya ‘baru’ dan ‘new’, yang lebih baru adalah ‘new’. Huehehe, sederhana kan?
O iya, gw mulai serius mikirin bikin porto gara-gara ngeliatin CV temen-temen yang ampe 5 halaman. Gila, banyak banget pengalaman organisasinya, sedangkan gw meski udah nyoba nyantumin segala hal yang gw inget dan lumayan aktif, cuma dapet 2 halaman. Buat ngimbangin, gw bikin porto yang nyampe 80 halaman lebih, huehehe... ternyata banyak juga ya tulisan gw yang udah beredar, dan itu juga cuma yang namanya di kompie lumayan bener aja(lumayan nyambung antara judul dengan isi), abis kalo gw bukain satu per satu, bisa-bisa gw ngga tidur-tidur.
Ngomong-ngomong tentang tulisan, gw jadi inget cerita tentang penulis yang bilang kalo nulis dalam keadaan ‘trance’. Kalo gw sih, kayanya nyadar-nyadar aja kalo lagi nulis, cuma pas baca ulang, gw baru mikir, “Eh, pernah ya, gw nulis kaya gini.” Jadi sambil nyari-nyari, gw juga asyik baca-baca, dan ternyata keren juga, huehehe, narsis gw kumat.
Nah, si porto ini ceritanya bakal gw kirimin buat ngelamar jadi kontributor lepas di salah satu koran. Belum dapet informasi yang jelas sih, tapi pas gw ngerjain dan kembali mengingat-ingat apa aja yang telah gw lakuin selama kuliah buat ngisi CV gw yang rada-rada blank, akhirnya gw bisa melihat satu hal yang jelas, kehidupan gw ngga pernah jauh-jauh dari yang namanya dunia tulis menulis. Ah iya, dan dunia kajian, karena waktu gw baca lagi tulisan-tulisan gw itu, ternyata temanya ngga jauh-jauh dari hal-hal filosofis gitu. Nyeh... nyeh...
Gara-gara baca tulisan-tulisan masa lampau, gw jadi agak yakin mau kemana.[Di kepala udah ada yang ngejerit-jerit: masuk SP, masuk SP] Hehe.. gw ngikutin suara di kepala aja deh, kayanya gw jadi lebih mantep masuk SP, soalnya waktu ketemu ama calon dosen gw dari SP itu, gw terlibat perbincangan menarik. Bruno, John Locke, cultural studies semuanya keluar. Belum lagi ngomongin tentang strata dan masalah kebijakan menyangkut teknologi, kajian-kajian yang belakangan ini cuma nyangkut di kepala gara-gara teman yang suka ngebahas ini udah kemakan penjahat kelabu(hihi, just kidding, kak).
Trus yang bikin gw tambah yakin, adalah pertanyaan, “Tokoh idolanya siapa?” Pertanyaan itu biasanya juga gw gunakan untuk menilai orang(upps, gw buka kartu deh). Gw seneng aja, ada orang yang cara menganalisasnya mirip gw(hihi, sekali lagi menggunakan asumsi rada ngawur khas gw). Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya, mirip-mirip masa-masa muda(kaya gw udah tua aja;p), “Kebayangnya kalau udah dari SP mau kemana?”(Mirip kan dengan pertanyaan, “Kalau udah gede mau jadi apa?”). Gw jawab aja ke Bapenas, atau jadi peneliti gitu. Tau-tau, gw udah diceritain jalur untuk menjadi dosen, lengkap dengan cerita keluar negeri segala(di kepala gw mulai terdengar lagi suara-suara aneh).
Selesai cerita, dan ngasih pendapatnya tentang gw, gw mau dipinjemin jurnal dan buku-buku. Zzzzrep... eh bentar, lintasan pikiran di kepala: Haaahhh, gw bahkan belom daftar, kenapa udah dapet jurnal segala(keinget cerita tadi, kalo bisa kuliah di SP-nya cuma setaun, dan gw mulai mikir dosen gw cerita apa aja ya, ampe calon dosen gw ini yakin banget ama gw). Selesai ngobrol, gw dititipin salam. Pertama denger gw bingung juga, “Haa.. salam buat siapa, soalnya gw biasa dititipin buat ortu, dan gw kan sama sekali ngga nyebut-nyebut ortu,” pikir gw dalam hati. Ngga taunya salam buat dosen gw. Hihihi... entah kenapa gw kebayang masa-masa SD. Huaaa... seneng banget punya dosen yang suuupppppeeeer baaaaiiiiiikkkkkk :) :)
Friday, May 12, 2006
Aaaargh!
Aku masih duduk menunggu
Beratapkan awan kelabu
dan hujan yang malu
Berbalik arah atau terus maju
Aku tidak tahu
Biarlah belenggu ketidakpastian terbungkam waktu
Mungkin saat itu tiada lagi ragu
Persimpangan
Sayangnya ngga ada bunga, jadi aku ngga tau akhirnya math atau ngga. Asli lagi bingung, kalau pengen profesional beneran, aku kebayangnya keluar negri, kalau di dalem, aku malah pengen menekuni studi pembangunan sebagai katarsis keinginanku untuk jadi wartawan. Asli keduanya bertolak belakang banget, meski dalam test kepribadian, matematikawan dan wartawan dimasukkan dalam kategori yang sama. Keduanya dilandasi rasa ingin tahu yang besar. Nah, bedanya, kalau matematika itu bagiku menawarkan dunia imajinasi, sedangkan wartawan langsung menarikku untuk melihat dunia nyata.
Waktu ngerjain TA kemarin aja, aku asyik merekayasa diriku sendiri biar bisa bener-bener konsen. Jenis bacaan, ganti semua, koran aku filter, baca Life is Beautifull, surfing di Internet banyaknya ke Wikipedia, untuk bacaan beratnya aku pindah haluan dari kajian budaya ganti ke sains dan agama. Pergi ke perpus, meracuni diri dengan berbagai macam buku yang tidak begitu nyambung dengan TA tapi bisa memberiku gambaran besarnya.
Yeah, inilah asyiknya mengenal diri sendiri dengan cukup baik. Belum lagi rekayasa mood, meski kalo udah parah, main spider solitaire-nya bisa lebih lama dari baca atau nulis bahan TA, tapi dalam skala kecil cara itu berhasil. Nah, kalau sekarang aku banting setir, artinya aku harus kembali akrab dengan masalah-masalah sosial yang mebuatku tidak nyaman. Bukannya aku anti, tapi itu berarti aku harus mulai bikin penyesuaian-penyesuain diri lagi.
Hidup adalah pilihan, dan parahnya aku ngga yakin harus memilih apa.
Menunggu
(Woi, Yut, kan ada teknologi bernama hp?) Aaargh! Masalah pertama, aku ngga tau juga ketemu orang itu buat apa. Soalnya tingkat perkenalanku dengan dia statusnya second degree friend. Kedua, waktu ama orang TU-nya disuruh dateng jam1 karena ketika pagi-pagi aku kesana orangnya belom ada, ternyata jam1, orang itu harus ngajar. Waktu aku nanya ke TU-nya, jawabannya, "Oh, kuliahnya memang biasa telat koq." Gila, masa telat aja ampe udah dijadwalin segala, dan yang lebih gilanya lagi, orang yang bersangkutan ada kaitannya dengan sektor kebijakan.
Versi positif thingking: ini namanya dinamika Yut, dalam sebuah sistem diperlukan kejutan-kejutan yang membuat sistem itu kreatif. Aaaargh! Gimana mau kejutan, wong telatnya udah jadi kebiasaan koq. Versi negatif thingking kayanya udah tertulis semua di atas. Anehnya, ketika orang Indon ke Luar Negeri, mereka bisa koq tepat waktu atau membuang sampah pada tempatnya, pas balik aja semuanya jadi acak kadut seperti biasa.
Aku jadi inget pepatah: "Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung." Persis banget keadaannya dengan masalah jam karet dan kesadaran akan kebersihan. Isn't it just great(with an ironic thone)?
Tuesday, May 09, 2006
Tempat Lain
Beberapa hari ini aku udah jarang nulis, eh sekalinya nulis Kata Pengantar untuk skripsiku jadinya 5 halaman. Ngalahin Bab 1 yang isinya pendahuluan, dan lebih banyak juga dari lampiran yang isinya teorema-teorema. Huahahaha... akhirnya hobi ngarangku tersalurkan juga di skripsi, setidaknya 'gaya' nulisku ngga ketelen banget-banget oleh tanda integral dan sigma.
Di Kata Pengantar aku cerita tentang paradoks Zeno yang aku analogikan mirip dengan kehidupanku di matematika: paradoks. Trus untuk kata depannya, aku milih Godel Incompleteness Theorem. Hehe... halaman tambahannya gue banget-lah... baru ketika masuk bab benerannya jadi agak serius.
Untuk Papa
Papa … Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat Tapi jasa papa tetap melekat Hangat itu tetap mendekap ...