Friday, May 19, 2006

Godel

For any consistent formal theory that proves basic arithmetical truths, it is possible to construct an arithmetical statement that is true but not provable in the theory. That is, any consistent theory of a certain expressive strength is incomplete.(Godel Incompleteness Theory)

Kemarin aku abis ngobrol lagi dengan calon dosenku. Setelah sebelumnya aku ditanya siapa tokoh favoritku, yaitu Godel, perbincangan berlanjut ke pemikir-pemikir di kalangan sosial sains. Selain ngobrol, aku juga diberi beberapa artikel yang ditulis oleh Bruno Latou(?), salah satu tokoh di bidang studi sains dan teknologi. Dari belasan artikel yang dikasih, aku langsung tertarik pada sebuah judul: Cogito ergo sumus, lucunya quote yang digunakan diawal tulisan adalah kata-katanya Kapten Haddock. Hihi, kebetulan yang aneh, soalnya aku baru bikin profil orang yang menurutku mirip dengan kapten Haddock.

Ok, back to the real topic, dalam studi kebijakan sains dan teknologi, menurut calon dosenku ada beberapa pemikir yang penting, Bruno dan Locke. Aku pernah denger konsep Locke mengenai tabularasa. Aku sendiri tidak setuju dengan konsep tabularasa-nya Locke, karena bagiku tidak mungkin ada orang yang memulai sesuatu dengan layar kosong dan tanpa tercampur subjektivitas. Itulah yang menyebabkan saat ini tokoh filosofku adalah Godel, yaitu dengan memandang teorema Ketidaklengakapannya sebagai subjektivitas. Dalam arti seperti ini: tiap kali seseorang membuktikan teorema, ia akan menggunakan sebuah asumsi yang terlebih dahulu ada di dalam kepalanya. Sama halnya ketika memecahkan paradoks Zeno yang mengatakan Achilles tidak mampu mengejar kura-kura, karena tiap kali Achilles mengejar, kura-kura tersebut pasti telah melangkah maju lagi.

Cara memecahkan paradoks Zeno(dalam pemahamanku) adalah dengan melihat sistem paradoks tersebut dalam tingkatan yang lebih tinggi, yaitu dengan melihat bahwa ketika terjadi deret geometri yang lebih mengecil maka karena masalah tersebut berbicara mengenai keterhinggan versus ketakhinggan, maka pada suatu waktu tertentu, Achilles mampu mengejar kura-kura.

Sama halnya dalam pembahasan sains dan teknologi yang dianggap bebas nilai(baca: memiliki kebenaran universal), nah bagiku hal ini tidak benar. Teknologi pupuk misalnya, ketika diterapkan di suatu daerah bisa jadi malah menimbulkan bencana karena unsur manusia. Pertama, karena mungkin pemanfaatan pupuk itu tidak dibarengi transfer ilmu, sehingga penggunaannya salah, kedua, karena pupuk tersebut bisa jadi menimbulkan ketergantungan petani kepada produsen pupuk dlsb. Apalagi dalam mengambil suatu kebijakan, terutama yang berskala nasional, tak pernah ada yang benar-benar lepas dari pertimbangan politis.

Hal inilah yang bagiku merupakan subjektivitas yang tidak terhindarkan dari sains dan teknologi. Karena itu pula Teorema Ketidaklengakapan Godel memiliki implikasi filosofis yang cukup luas, karena pada dasarnya tak ada yang benar-benar bisa terlepas dari subjektivitas. Aku mencoba menghindari kritik dari kalangan sains terhadap kajian budaya sebagaimana yang digugat oleh Sokal(fisikawan yang melakukan percobaan sosial dengan mengirimkan paper 'rekayasa' ke jurnal Social Text), namun dalam buku Agama Einstein pun dijelaskan bahwa subjektivitas adalah hal yang tidak terhindarkan.

Implikasi lain dari teorema itu bagiku adalah di dunia ini senantiasa akan ada misteri-misteri yang terpecahkan dengan cara 'aneh'. Descartes di depan tungku ketika menjadi prajurit, Archimedes dengan bak mandinya, Newton dengan pohon apelnya, dan banyak lagi. Namun, sesuai dengan konsep ikhtiar, hal ini tidak gifted begitu saja, melainkan merupukan proses decoding dengan tools yang sudah ada dalam kepala.

No comments:

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...