Tuesday, January 30, 2007

Merah Putih

Tadi abis ngeliatin blog dosenku, dan aku jadi teringat perayaan 17-an di kedutaan Indonesia sekitar belasan tahun silam. Perhelatan itu mungkin serupa dengan ribuan perayaan lainnya di Indonesia, lomba makan kerupuk, kelereng, balap karung, dan sebuah lapangan dimana semua aktivitas tersebut dapat tumplek. Saat itu aku memperoleh hadiah pensil warna yang kudapat dari lomba membawa bola tenis di atas raket. Untuk mengambil hadiah tersebut, aku harus menunggu acara usai, padahal kedua orangtuaku sudah ada acara lagi. Tapi karena judulnya hadiah, aku sangat senang dan enggan untuk beranjak hingga hadiah itu kuterima.

Saat beranjak dewasa, perayaan itu jadi terasa kian biasa. Apalagi dirayakan di negeri sendiri, dimana orang-orang dengan warna rambut, kebiasaan yang sama bukan pemandangan langka. Nilai-nilai kebersamaan sesama orang Indonesia tak jarang memudar. Bahkan mungkin tak jarang semua aksi dilakukan atas dasar kepentingan masing-masing. Kebersamaan menjadi kian langka, karena tak ada lagi perbedaan yang menjadikan identitas Indonesia mengemuka.

Ada apa dengan Yuti? Hihi, abis kata dosenku aku jangan terlalu melangit dan kebanyakan buku. Udah gitu cara belajarnya harus disiplin, ngga sekadar memuaskan rasa ingin tau. Hihi, dosenku tau aja, dan karena itu aku sedang bergelut dengan kondisi bangsa. Whoaa... jadi inget masa muda

Sunday, January 28, 2007

Teriak

Aaargh!!! Sebel @#!$^&!!!! Dan rasanya seneng juga teriak-teriak, melepaskan segala penat, dalam bentuk pelampiasan yang primitif. Bebas, lepas, tanpa perlu memikirkan apapun. Huaa..ah, lega. Teori-teori boleh istirahat dulu barang sejenak, pun orang yang akan menyangka aku gila. Hanya merayakan menjadi manusia yang penuh dengan liku. Kadang tertawa, kadang menangis, kadang penuh haru tak jarang melenggang cuek. Kalau kata dosenku kala aku mempertanyakan cara pandang konspirasinya, "Ya iyalah, ini kan the real worlds."

Mungkin aku tak begitu menyukai keadaan sekarang, tapi aku jadi lebih belajar untuk sabar(dan ternyata susah sekali, hiks, dunia teknis bikin kesabaranku rada menipis).

Monday, January 22, 2007

Mimpi

Pernahkah kau mendengar kisah tentang pelangi? Warna-warni yang hadir setelah hujan usai. Konon pada saat peralihan itu, ada banyak peri yang bemain-main di kaki pelangi, dan meninggalkan harta karun bagi para pencari. Jika kau beruntung, mungkin kau akan menemukan harta itu, harta yang menimbulkan perasaan hangat hanya dengan mengingatnya. Apalagi jika kau mendapatkannya, semesta akan turut berpesta bersamamu.

Aku belum pernah menemukan ujung pelangi. Bahkan kata temanku, pelangi tak pernah memiliki ujung, karena bentuknya yang bulat. Meski demikian, kisah pelangi tetap menarik bagiku, menemani kegaiban alam setelah diguyur hujan. Bau tanah yang khas, daun-daun yang tertunduk layu, seolah masih enggan untuk membuka mata, bunga-bunga yang entah kenapa, terasa lebih berwarna, dan awan kelabu yang kembali biru, cerah.

Kisah pelangi mengingatkanku akan mimpi. Sesuatu yang dianggap terlalu mustahil untuk tercapai, namun tetap dipuja. Dipuja dengan alasan aneka rupa. Karena manusia membutuhkan sebuah pegangan yang dapat dipakai untuk maju, hanya agar sekadar ada cerita, atau memberi warna pada hidup yang begitu-begitu saja.

Dalam perjalanan hidup, aku menemukan banyak orang yang telah meredup. Kalau karena pilihan, takkan terlalu mengapa, tetapi tak jarang hal itu terjadi begitu saja. Tanpa perlawanan, tanpa bara, dan mungkin juga tak pernah ada jawaban atas kenapa.

Aku mencoba untuk terus bermimpi. Mencari harta yang mungkin hanya ada dalam mimpi. Setidaknya aku memilih untuk bermimpi, dan terus mencoba mewujudkan imaji...

Friday, January 12, 2007

Etnografer

Mungkin itu istilah yang tepat untuk menggambarkan diriku. Seorang pengamat yang tak boleh mengusik tapi sekaligus bagian dari sebuah usikan. Huehe... trenyata ada istilah formalnya. Awalnya aku mencoba mencari posisiku dari arah jurnalistik, tetapi gambarannya tidak terlalu cocok, karena jurnalis memiliki narasi yang berangkat dari hasil rapat redaksi, sedangkan seorang pengamat biasanya datang dengan kertas kosong. Gambaran yang lumayan mendekati ada pada etnografer. Tentu saja, tidak sepenuhnya kosong, karena bagaimanapun peneliti pasti dibekali metode, tapi signifikansi metode itu lebih banyak tampak pada hasil pengolahan, dan bukan interkasi langsung di lapangan.

Pembahasan mengenai etnograf, kemudian berlanjut pada citra atas citra, yang larinya ke post-strukturalis. Parah, kuliah kadang benar-benar membuat cacing-cacing di kepalaku menari-nari tapi sekaligus mengancam kemanusiaanku. Mengancam karena aku tak mau kuliah untuk diam. Diam atas segala keadaan yang mengerdilkan arti seorang manusia tapi sekaligus menikmatinya. Pernah ngga sih merasakan menemukan identitas justru ketika berada di suatu komunitas yang begitu berbeda? Nah, kira-kira itulah keadaanku sekarang. Lebih matematika dibanding ketika kuliah di matematika.

Gara-garanya kalau ada sesuatu yang berbau angka pasti jatuhnya ke aku. Padahal matematika dan kalkulator adalah dua hal yang jauh berbeda(meski kalau baca sejarah kalkulator, punch card, komputer ada benang merahnya), apalagi yuti dan matematikawan, huehehe. Alhasil, aku jadi harus lebih aware terhadap isu-isu math, demi menjaga nama baik dan biar image tentang matematika keren.

So' ini adalah fungsi pemetaan yang salah f(angka) = matematikawan, f(matematikawan)=yuti.

Thursday, January 11, 2007

Simulakra

Overdosis banget nih. Tiap hari dapat tugas baca baru yang jumlah halamannya meningkat mengikuti kurva eksponensial, belum lagi target tesis yang dalam waktu 4 bulan harus menghasilkan 3 bab. Tapi inilah hidup. Siapa bilang mudah dan bisa selalu nyantai, hiburan pun jadi di modifikasi mngikuti tuntutan. Untung aja dosenku membebaskan aku bermain-main dengan berbagai teori. Langkah awal aku mulai dengan mencari benang merah dari chaos ke graf. Ide yang ada di kepalaku sekarang baru dari bifurkasi-bifurkasi yang ada di tiap percabangan. Dalam modelku, percabangan-percabangan itu diakibatkan kurangnya data. Aku pernah sih, baca bagaimana relasi hilang/kurangnya data untuk menjelaskan sebuah fenomena terhadap hasil akhir, tapi pendekatannya statistik, dan aku mencoba jalan lain.

Langkah kedua mencari pola penggerombolan di masyarakat. Untuk pendekatan ini aku mengikuti aliran positivism dulu. Jadi, aku menggunakan asumsi struktur disipatif yang ditemukan Ilya Prigogine berlaku di masyarakat. Sampai sekarang fenomena-fenomena yang ada mendukung asumsiku, tapi jika aku menggunakan metode induksi, sampai akhir usia juga ngga mungkin selesai, jadi aku harus cari cara pembuktian yang lain.

Review kuliah sedikit. Ketemu ama saudara kembarnyanya semiotika di pelajaran phenomenology. Jadi kalau di semiotik ada konsep penanda-petandanya Saussure, di phenomenology ada noema dan noesis. Penggunaannya sama, bahkan sampai sekarang aku ngga tau bedanya apa. Trus ketemu lagi ama simulakra di bagian etnografi. Gara-garanya, pelajaran etno membolehkan banyak pemetaan yang abu-abu. Alhasil, ketika seseorang melakukan pemetaan berulang kali, realitas sesungguhnya menjadi bias. Salah satu contoh klasik tentang kesulitan menjelaskan realitas ada di bukunya Wittgenstein(Blue Book kalau ngga salah). Di buku itu dicontohkan dua kata yang saling merujuk satu sama lain.

Sibuk, dan senang...

Wednesday, January 10, 2007

One Day Off

Kemarin aku ngga ngantor. Sipirili... ternyata jadi mahasiswa beneran rasanya asyik juga. Apalagi 3 kuliah semuanya diskusi. Sesi pertama, tentang ekologi, ekosistem hingga Gaia. Whoa, kelompokku mengajukan diri untuk presentasi(hueheh, sebenernya aku yang ngacung paling dulu, trus temenku yang maju) dan seisi kelas ikutan nanya, hingga lebih dari 20 orang. Berbekal buku Capra, dan pemahaman tentang alam, cyat..cyat.. haiya.. semua pertanyaan dijawab, meski waktu dosen maju ke depan, ada beberapa jawaban yang meleset.

Sesi kedua diskusi kucing dan anjing. Hihi, abis dosen yang satu ini lucu, jadi aku ngasih argumennya juga bawa alien, ikan dan bebek. Parahnya kalau udah mengambil abstraksi yang terlalu jauh, aku ngga tahan untuk ketawa. Alhasil, seluruh kelas ikutan ketawa ngedengerin jawabanku. Huaaa... ngga tahan untuk ngga ketawa. Versi seriusnya, aku harus baca bahan yang dikasih(padahal kalau temen2 yang lain boleh ngga).

Diskusi yang ketiga tentang phenomonology. Hipi, jadi juga aku belajar filsafat formal. Karena belum familier, dosennya belum tau aku mode serius atau becanda, jadi masih rada jaim di sesi ini. Seneng karena dapat banyak tugas baca, trus melihat pemikiran Descartes diluar koordinat Cartesian.

Thursday, January 04, 2007

Tentang dia

Aku tak tahu apa yang terjadi pada dia. Segala perkiraan buyar begitu rupa dalam satuan tak tentu. Bukankah persahabatan tak mengenal sebuah sekat, dan tak pula mengenal hubungan yang mengikat? Tapi mungkin ada keunikan-keunikan tertentu yang menjadikan semua rancu, seperti asap yang mula lembut kemudian menjadi acak dalam sekejap. Seperti itukah dia saat ini?

Andai aku dapat lebih berhati-hati. Andai aku dapat mengulang waktu agar tak harus menjadi sedemikian tak pasti. Aku masih peduli, sama seperti dulu, meski mungkin rentang telah membawa banyak perubahan, terutama bagi sesuatu yang rentan seperti sebuah hubungan. Ada yang mengatakan hubungan itu layaknya sebuah pohon kehidupan yang akan tetap hidup jika dipupuk dan disiram, mungkin belakangan aku memang banyak menghilang.

"Nothing endures but change," begitu kata Heraclitus. Ah, tampaknya aku harus mulai meresapi kata-kata itu lebih dalam.

Ooops...

Dengan perasaan bersalah yang sedikit menggelitik perut akhirnya aku melakukannya lagi. Entah kenapa tiap kali aku berada dalam kondisi stress, bawaanku pasti jadi konsumtif. Dan kali ini yang jadi sasaran adalah majalah National Geographic. Huhu, padahal tadinya cuma mau nyari voucher, trus liat majalah Tempo. Karena ada pembahasan tentang Microsoft, aku menambah belanjaanku dengan Tempo, dan saat orang yang menjaga kasir sedang menghitung jumlah belanjaanku, tanganku sudah asyik melihat-lihat NG, dan akhirnya...

Wednesday, January 03, 2007

Cappucino

Akhir-akhir ini aku menghabiskan pagi dengan meminum secangkir cappucino. Membiarkan toping coklat yang menjadikan tampilan cappucino selalu memikat, ditambah aromanya yang semerbak, membuat pagiku mejadi nikmat. Membiarkan gumpalan-gumpalan coklat hingga tengah gelas merupakan keasyikan sendiri. Lengkap dengan teknik tiup-tiup tiap kali mendekati mulut dengan kecepatan yang terus meningkat. Dilain waktu, aku langsung mengocoknya sehingga menghasilkan efek coklat yang memucat di tengah cangkir. Mmmph... sedap. Maklum, hari-hari ini aku diburu banyak tugas, sehingga pekat malam lebih sering kunikmati dengan mata terjaga. Siang, biasanya aku terserang kantuk, tapi tak begitu mengapa karena aku tak begitu memerlukan imaji yang berlari kencang. Cukup sebuah algoritma yang teratur, dan mata tetap terbuka, maka aktivitas bisa berjalan.

Aku

Satu semester telah berlalu, membiarkan aku bermain-main antara realita dan semu. Bertanya, benarkah ini yang kumau, atau lagi-lagi hanya sebuah persinggahan yang membuat jemu? Aku tak tahu. Nyatanya, aku malah meragukan kemanusiaanku yang tergadai oleh bujuk rayu. Mungkin aku harus menyalahkan Mephistopeles yang dengan gayanya menukar jiwaku dengan ilmu. Tapi kembali aku tercenung, bukankah godaan itu hanya dapat mewujud pada jin atau manusia? Ah, pertanyaan buntu.

Ditengah segala informasi yang menderu, pola-pola lucu yang membuatku termangu, aku malah jadi tak menentu. Aku suka memenuhi rasa ingin tahu, kalau patokannya buku, sudah berpuluh aku baca ditemani sang waktu. Tapi kenapa semua informasi itu hanya membuatku melembam diam, dan terpaku?

Wajah keras hasil tempaan hujan sedikit membuyarkan lamunanku. Usia tengah tigapuluhan atau kurang, tersamar dalam kerut wajah menua meski belum terlalu renta dibalik becak yang berlatar gerimis. Mulanya aku ingin menepis tawarannya, apalagi dengan nominal yang ditawarkannya. Namun saat tiba, aku tak kuasa untuk memenuhi permintaan awalnya. Biarlah tawar menawar tadi hanya sebagai uji coba.

Teori-teori ketergantungan yang kudengar di kelas, hanya menjadi semacam lagu sayup. Tanpa wujud ketika dihadapkan pada realita hidup. Tak jarang, berbagai kritik dilancarkan, mengutuk ketergantungan pada lembaga-lembaga dunia, yang memeras segala sumber daya yang ada. Aku hanya mengangguk-angguk setuju, sambil memikirkan apa yang dapat kuperbuat kelak. Dosenku memaparkan berbagai kemungkinan, tapi tak ada jua yang membentuk sesuatu yang nyata. Masih terlalu absurd, seabsurd model-model yang digunakan untuk menjelaskan manusia.

Sejak kapan manusia bisa diidentifikasi demikian rupa? Layaknya angka-angka yang digunakan untuk menjelaskan semesta? Aku masih bisa menikmati bangunan-bangunan indah yang ternyata memenuhi kaidah bilangan, tapi manusia, bisakah dijelaskan demikian sederhana? Aku kira tidak.

Well, saatnya aku kembali merumuskan hidup. Sebuah perenungan dalam momen sang waktu. Dalam gegap yang tak meluruhkan seorang aku.

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...