Tuesday, November 09, 2004

Ekstase

Kemaren abis baca buku yang Membangun Surga, lupa siapa(males ngeliat bukunya) tapi dia juga nulis Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. Udah keliatan kan sudut pandang yang dipake, ya rada mistikus gitu deh. Waktu SMA pernah baca Syekh Siti Jenar, tapi yang karangan Abdul Munir Mulkhan. Gara2 waktu SMA minatnya masih sama politik dan teori kekuasaan, jadi yang diinget dari cerita tentang wali kesepuluh itu, cuma tentang ajarannya yang bertentangan dengan sumbu kekuasaan. Pendekatannya sama Wahdatul Wujud malah rada ngga inget.

Kemaren ada beberapa hal yang agak nyambung. Pertama tulisan Abdul Munir Mulkhan di Kompas tentang puasa dan keshalehan sosial, tulisan pak Yasraf yang judulnya Virtualitas Politik, buku Cyberspace karangan Mark Slouka(ironisnya kemaren sambungan telepon juga mati, jadi seharian puasa internet, hmm... rada lebih berat dari menahan lapar dan dahaga) dan buku Membangun Surga, keempatnya nyambung dalam bingkai ekstase. Nah lho, koq bisa?

Sebenernya tulisannya mau dibikin agak serius, cuma ya sekarang rada bingung kalo ngelempar wacana ke komunitas tertentu, salah2 malah bikin orang bingung. Ok back to the topic, hubungan antara cyberspace, spirit, dan ideologi. Nyasar-nyasar ke tesisnya Althusser tentang ideologi yang mempengaruhi tindakan seseorang. Nyambung lagi ama revolusi tauhid gaya-gayanya Quthb. Yaks... pikiran geraknya jauh lebih cepet daripada ketikan di keyboard.

Dalam pelajaran tauhid ada beberapa hal mendasar yang perlu diketahui, yaitu: tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah dan asma wa'sifat. Dua bagian yang pertama paling sering diperdebatkan. Tauhid uluhiyah meliputi ruh/spirit yang melandasi sutu kegiatan, mirip-mirip niat alias hanya Allah dan hamba-Nya sendiri yang tau. Kalo tauhid rububiyah lebih nyangkut ke perbuatan-perbuatan fisik, seperti yang ada di rukun Islam. Wacana yang muncul dari keduanya adalah islam kulit, islam isi dan istilah-istilah serupa. Ada juga yang bilang kalo udah sampai ketingkat tauhid uluhiyah ibadah fisiknya bisa ditinggalin. Pendekatannya kebanyakan logika, ada juga sebagai bentuk kekecewaan terhadap fenomena sosial yang ada. Banyak banget alasan...

Nah, kalo ditarik ke tulisan Munir Mulkhan, ada yang hilang dari hirukpikuk puasa manusia, jika tidak dikaitkan dengan kesalehan sosial. Jadi inget wacana yang banyak dilempar belakangan ini, untuk siapakah agama itu ada, Tuhan atau manusia? Lalu hubungan dengan cyberspace apa? Nyambungnya ke hiperrealitas. Emang jadi agak kompleks, soalnya manusia sekarang tak lain adalah bit-bit informasi, bagaimana seseorang bersikap semuanya ditentukan oleh apa yang dilihat, dirasakan mengikuti arah budaya massa, sehingga kesalehan sosial bisa jadi hanya merupakan implementasi dari kegiatan massa, dan bukan dorongan dari keinginan individu itu sendiri. Keadaan ini layak kita sandingkan dengan konsep tauhid dan kesaksian manusia terhadap lafadz syahadat, yakni "Tiada Illah selain Allah." Artinya kita menafikan segala hal, kemudian menempatkan Allah sebagai pusat dari segalanya. Bagaimana jika kita menjadikan massa sebagai imam? Adakah manusia tetap menjadi manusia, ataukah ia hanya merasakan ekstase semu dari dunia, sebagaimana konsep candu?

(yaks... ternyata ngerembetnya ke mana-mana. U really need a help yut, bisa kesesat ntar kalo menjelajah sendirian)


No comments:

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...