Rembeng, sebuah dusun di Tlogowatu. Sementara dusun-dusun lainnya marak dengan penambangan pasir, Rembeng kuat bertahan, alasannya: warganya berpendidikan. Meski profesi mereka sebagai petani maupun buruh upahan tak dapat menjanjikan penghasilan yang layak, mereka mau bekorban agar anak-anaknya mampu mencapai jenjang pendidikan tinggi. Di dusun miskin dekat lereng Merapi itu, sebagian anak bersekolah hingga SLTA.
Pengalaman Stephen Kovalski di daerah Calcutta dalam buku The City of Joy pun menyiratkan hal serupa. Ketika Stephen mensurvey hal apa yang diperlukan oleh masyarakat yang tidur beralaskan tanah, dengan rumah yang lebih banyak dilapis kain, kamar mandi umum tanpa air sehingga para penggunanya harus siap dengan ember penuh, serta genangan kotoran manusia, ia menemukan bahwa orangtua-orangtua di daerah kumuh tersebut menginginkan sesuatu diluar makanan bagi perut mereka, yaitu gizi bagi otak. Pola makan mereka yang kadang hanya diisi oleh isapan tebu sekali sehari, atau kulit-kulit mangga yang ditemukan disela-sela sampah telah menjadi bagian dari keseharian mereka.
Kemiskinan bukan lagi suatu hal yang membangkitkan keluh kesah. Kematian seorang gelandangan yang dibuang secara sembarangan ke sungai bukan pemandangan langka. Begitu pula donor darah yang dilakukan oleh orang-orang dengan tulang-tulang berbalut kulit, hanya demi berpuluh rupee. Padahal apa yang mereka lakukan itu biasanya langsung membuat kesehatan mereka hancur. Belum lagi para pekerja angkong yang harus mampu menanggung beban kendaraan serta penumpang, dengan bahu mereka.
Potongan-potongan kehidupan dari masyarakat di Calcutta itu menjadi demikian mapan. Kemiskinan yang terus menerus, keadaan ekonomi yang begitu-begitu saja, tengkulak serta orang-orang dengan mata-mata licik di berbagai sudut jalan yang siap menerkam para pendatang dari desa yang masih lugu dan polos. Tapi kisah itu tidak berhenti disana. Dibalik segala kepapa-an dan segala beban hidup, terdapat orang-orang yang sudah berdamai dengan kondisi yang menimpa mereka. Bukan dengan cara menengadahkan tangan meminta belas kasih, tapi berjuang dalam hiruk pikuk persaingan mencari makan.
Di samping tengkulak yang meminjamkan uang dengan bunga hingga tiga kali lipat, masih ada orang yang mau memberi padahal perutnya sendiri belum terisi. Di daerah Calcutta itulah, aku menemukan sebuah gambaran mengenai musuh bersama bernama kelaparan. Orang-orang dari berbagai daerah yang berbeda, agama, serta warna kulit dapat bersatu padu di daerah serba kekurangan itu.
Kebijakan tidak berasal hanya berasal dari tutur kata seorang tua dengan jenggot putihnya, tapi kebijakan tercermin dalam laku dan sikap anak-anak yang dapat bermain meski tengah terserang lepra, atau wajah damai seorang anak padahal batuknya mengeluarkan darah.
Di tengah pergulatan antara hidup dan mati, seorang manusia tampaknya telah berdamai dengan banyak hal, pada dirinya sendiri, lingkungan, dan juga pencipta-Nya. Satu hal yang kental dari daerah yang disebut Kota Bahagia itu adalah keikhlasan warga untuk menerima kondisi yang menimpa mereka. Dan kata ikhlas ini bukanlah perenungan siang malam di tempat ibadah, melainkan senyum yang tersungging dalam aktivitas keseharian yang sangat berat. Ashish(artinya harapan) begitu menyatu dalam detak jantung mereka, hari esok senantiasa dianggap sebagai sebuah harapan yang dapat mengantarkan mereka menuju kehidupan yang lebih baik. Harapan itu pulalah yang bagiku, mengantarkan mereka pada sebuah kesadaran akan pentingnya sesuatu diluar kebutuhan fisik yaitu pendidikan.
Aku melihat keajaiban dalam detil kehidupan mereka, sebuah dunia yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku tak mau berkata bahwa orang papa ada untuk mengajari manusia berpunya rasa bersyukur, melainkan pada tiap dimensi kehidupan manusia ada sebuah cahaya yang sama bernama harapan.
Catatan kecil:
Aku pernah mewawancarai seorang pengemis. Dalam obrolannya denganku ia berkata bahwa ia pernah ditawari pekerjaan. Namun pada waktu yang disebutkan, aku masih melihat sosoknya di pinggir jalan. Dia memang mengaku tak keberatan dengan profesinya sebagai pengemis, bahkan mengaku cukup bahagia. Tapi aku tidak mengerti, apakah kebahagiannya itu semu atau nyata? Aku juga tidak tahu, ia masih kujumpai karena gagal memperoleh pekerjaan atau takut kehilangan kemapanannya mengemis.