Monday, August 29, 2005

Ashish!

Rembeng, sebuah dusun di Tlogowatu. Sementara dusun-dusun lainnya marak dengan penambangan pasir, Rembeng kuat bertahan, alasannya: warganya berpendidikan. Meski profesi mereka sebagai petani maupun buruh upahan tak dapat menjanjikan penghasilan yang layak, mereka mau bekorban agar anak-anaknya mampu mencapai jenjang pendidikan tinggi. Di dusun miskin dekat lereng Merapi itu, sebagian anak bersekolah hingga SLTA.

Pengalaman Stephen Kovalski di daerah Calcutta dalam buku The City of Joy pun menyiratkan hal serupa. Ketika Stephen mensurvey hal apa yang diperlukan oleh masyarakat yang tidur beralaskan tanah, dengan rumah yang lebih banyak dilapis kain, kamar mandi umum tanpa air sehingga para penggunanya harus siap dengan ember penuh, serta genangan kotoran manusia, ia menemukan bahwa orangtua-orangtua di daerah kumuh tersebut menginginkan sesuatu diluar makanan bagi perut mereka, yaitu gizi bagi otak. Pola makan mereka yang kadang hanya diisi oleh isapan tebu sekali sehari, atau kulit-kulit mangga yang ditemukan disela-sela sampah telah menjadi bagian dari keseharian mereka.

Kemiskinan bukan lagi suatu hal yang membangkitkan keluh kesah. Kematian seorang gelandangan yang dibuang secara sembarangan ke sungai bukan pemandangan langka. Begitu pula donor darah yang dilakukan oleh orang-orang dengan tulang-tulang berbalut kulit, hanya demi berpuluh rupee. Padahal apa yang mereka lakukan itu biasanya langsung membuat kesehatan mereka hancur. Belum lagi para pekerja angkong yang harus mampu menanggung beban kendaraan serta penumpang, dengan bahu mereka.

Potongan-potongan kehidupan dari masyarakat di Calcutta itu menjadi demikian mapan. Kemiskinan yang terus menerus, keadaan ekonomi yang begitu-begitu saja, tengkulak serta orang-orang dengan mata-mata licik di berbagai sudut jalan yang siap menerkam para pendatang dari desa yang masih lugu dan polos. Tapi kisah itu tidak berhenti disana. Dibalik segala kepapa-an dan segala beban hidup, terdapat orang-orang yang sudah berdamai dengan kondisi yang menimpa mereka. Bukan dengan cara menengadahkan tangan meminta belas kasih, tapi berjuang dalam hiruk pikuk persaingan mencari makan.

Di samping tengkulak yang meminjamkan uang dengan bunga hingga tiga kali lipat, masih ada orang yang mau memberi padahal perutnya sendiri belum terisi. Di daerah Calcutta itulah, aku menemukan sebuah gambaran mengenai musuh bersama bernama kelaparan. Orang-orang dari berbagai daerah yang berbeda, agama, serta warna kulit dapat bersatu padu di daerah serba kekurangan itu.

Kebijakan tidak berasal hanya berasal dari tutur kata seorang tua dengan jenggot putihnya, tapi kebijakan tercermin dalam laku dan sikap anak-anak yang dapat bermain meski tengah terserang lepra, atau wajah damai seorang anak padahal batuknya mengeluarkan darah.

Di tengah pergulatan antara hidup dan mati, seorang manusia tampaknya telah berdamai dengan banyak hal, pada dirinya sendiri, lingkungan, dan juga pencipta-Nya. Satu hal yang kental dari daerah yang disebut Kota Bahagia itu adalah keikhlasan warga untuk menerima kondisi yang menimpa mereka. Dan kata ikhlas ini bukanlah perenungan siang malam di tempat ibadah, melainkan senyum yang tersungging dalam aktivitas keseharian yang sangat berat. Ashish(artinya harapan) begitu menyatu dalam detak jantung mereka, hari esok senantiasa dianggap sebagai sebuah harapan yang dapat mengantarkan mereka menuju kehidupan yang lebih baik. Harapan itu pulalah yang bagiku, mengantarkan mereka pada sebuah kesadaran akan pentingnya sesuatu diluar kebutuhan fisik yaitu pendidikan.

Aku melihat keajaiban dalam detil kehidupan mereka, sebuah dunia yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku tak mau berkata bahwa orang papa ada untuk mengajari manusia berpunya rasa bersyukur, melainkan pada tiap dimensi kehidupan manusia ada sebuah cahaya yang sama bernama harapan.

Catatan kecil:
Aku pernah mewawancarai seorang pengemis. Dalam obrolannya denganku ia berkata bahwa ia pernah ditawari pekerjaan. Namun pada waktu yang disebutkan, aku masih melihat sosoknya di pinggir jalan. Dia memang mengaku tak keberatan dengan profesinya sebagai pengemis, bahkan mengaku cukup bahagia. Tapi aku tidak mengerti, apakah kebahagiannya itu semu atau nyata? Aku juga tidak tahu, ia masih kujumpai karena gagal memperoleh pekerjaan atau takut kehilangan kemapanannya mengemis.

Kepada Seorang Kawan

[Episode: Ritual]

“Sebenarnya akan lebih baik jika kau datang pada waktu yang sama setiap hari,” kata si Rubah. “Seperti, misalnya, jika kau datang pada jam empat sore, jam tiga aku akan sudah mulai merasa senang. Semakin cepat kau datang, akan semakin senang aku jadinya. Jika kau belum datang sebelum jam empat sore, aku akan mulai merasa gelisah dan cemas; aku akan mulai merasa bahwa kebahagiaan ada harganya! Tetapi jika kau datang lebih lama lagi, aku akan mulai merasa bingung untuk menentukan waktu mempersiapkan hatiku untukmu… kita semua memang memerlukan ritual-ritual.”[Little Prince, Antoine de Saint-Exupery]

Kawan, saat ini aku merasa seperti Rubah. Aku bingung untuk menentukan waktu mempersiapkan hatiku. Apakah aku harus bersiap-siap untuk merasa senang, cemas, atau sebaliknya, aku tak boleh membiarkan hati mengendalikanku? Tapi kau tahu, hati adalah masalah yang rumit. Aku tak bisa mengaturnya semudah menggerakan kaki maupun tanganku.

Menurutmu apa yang sebaiknya kulakukan? Membiarkan aku terjebak sebuah ritual yang aku tidak tahu akan berujung kemana, atau sekadar menganggap itu sebagai sebuah kebetulan? Ah, tapi aku tidak suka dengan konsep kebetulan. Bagiku, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini memiliki makna dan tempatnya masing-masing. Bahkan pada sehelai daun yang jatuh sekalipun, jadi bagaimana mungkin aku menganggap ini semua adalah kebetulan?

Kawan, kau pernah bercerita padaku, bahwa segala sesuatu ada harganya. Tapi bagaimana jika aku menolak untuk memilih? Aku tahu, hal ini tidak berarti banyak bagi perasaanku. Aku berpikir, kenapa segala sesuatu tidak menjadi seperti dirimu, dimana aku bisa merasa nyaman untuk melabuhkan segala kesahku? Mungkin karena seperti yang kau bilang, kita menjadi cocok karena perbedaan. Kau dengan kolerismu dan aku dengan plegmatisku.

Hai, kau lihat? Aku jadi ikut-ikutan menempatkan diriku dalam empat sifat yang acap kudengar dari orang lain. Tapi sejak kau yang mengatakannya, aku jadi melihatnya sebagai sebuah kebaikan. Kenapa sangat mudah untuk mempercayaimu, tapi sulit bagi yang lain? Mungkin karena waktu, tapi mungkin juga karena hatiku mengatakan demikian.

Alasan tampaknya tidak berarti banyak. Meskipun mempercayai berarti menyerahkan sebagian diriku padamu, aku tidak merasa kehilangan, bahkan merasa lebih kuat. Kenapa denganmu begitu mudah menyingkirkan segala pikiran buruk, sedangkan dengan orang lain, aku harus berusaha jauh lebih keras?

Kawan, kau pernah bilang bahwa adakalanya aku harus berani untuk mempertahankan apa yang kuinginkan. Ah, seandainya aku tahu, mungkin segalanya akan lebih mudah. Tapi saat ini, apa yang kuinginkan pun tak jelas. Bahkan kalau ritual itu berubah menjadi sebuah kepastian, aku tak tahu akan merasa senang atau malah sedih.

Satu-satunya pikiran yang menghiburku saat ini adalah aku yakin ketika kau membaca surat ini, kau akan tersenyum-senyum. Memikirkan hal itu saja, perasaanku menjadi nyaman. Karena kau, aku jadi belajar suatu hal yang baru. Ritual bukanlah sesuatu yang dilakukan berulang-ulang sehingga kehilangan esensi, melainkan sebuah hubungan yang terus diperbaharui dan diuji. Tiap kali kau berhasil melewatinya, kau akan menemukan sebuah kesadaran yang lebih tinggi. Dan bagiku, waktu dan jarak telah menjadikan persahabatan kita menjadi sesuatu yang istimewa.

Semoga Sang Maha senantiasa melindungimu, dan mencurahkan kasih-Nya padamu...

Salam sayang selalu,
Kawanmu

Sunday, August 28, 2005

Kosmos dan Kesadaran

Kemarin ada studium generale(SG) menarik mengenai: Kosmos, Kesadaran dan Kompleksitas. Satu hal yang mungkin secara sederhana bisa aku tarik dari SG tersebut adalah, aku menyadari bahwa yang diungkapkan oleh pak The, kompleks dan membuat aku terbengong-bengong. Hehehe... ngga ilmiah banget, tapi diskusi kosmos dan kesadaran itu menurutku memang mengarah pada sebuah pencarian akan kesadaran yang lebih tinggi, sebuah tahap atau tingkatan yang sampai sekarang terus ditelusuri melalui jalan-jalan auto, mulai dari self-organize, evolusi, chaos, kondisi disipatif, entropi dan hal-hal lain.


Bagaimana kesadaran itu muncul? Karena berbicara dalam tataran ilmiah, biasanya kondisi yang ada di alam diterjemahkan dalam sebuah model. Mungkin karena kebanyakan baca buku-buku ‘filosofis’ atau malah gara-gara posmo ya(?), mendengar model kepalaku langsung dihinggapi kata-kata ideal-nyata, simulakra, eror, pendekatan dlsb. Terlepas dari akurasi sebuah model, alam ini sering dilekatkan dengan berbagai teori, mulai dari string, M, yang mengarah pada Theory of Everything, hingga yang mengambil jalur alam semesta ini merupakan sebuah komplesitas dimana partikel-partikel didalamnya hanya bisa diamati dari hubungan satu dengan lainnya(inter-relasi). Pandangan yang kedua aku lihat menganut semangat fisika modern, dimana segala sesuatunya adalah masalah probabilitas(seperti posisi partikel dan massa-nya tidak bisa ditentukan secara bersamaan, kalau ngga salah).


Belum lagi masalah dark matter, dan dark energy yang muncul dari kenyataan bahwa materi/pyshic yang teramati di kosmos selama ini hanya 5% dari keseluruhan. Hanya saja karena aku memang mendengar sepintas-sepintas, jadi aku tidak begitu paham bagaimana diperoleh angka 5% untuk menjelaskan bagian yang teramati, lalu zat seperti apakah yang 95%nya lagi? Apa seperti teori eter yang kemudian sudah patah? Atau seperti thayon(huaks, istilahnya bikin lidah keseleo plus ngga tau cara nulisnya)?


Bagian yang aku pahami mungkin pertanyaan atau malah gugatan terhadap film Terminator yang mengisahkan kesadaran robot hanya akan menyebabkan manusia pada kehancuran. Cuma karena aku pecinta damai, aku mikirnya kenapa harus konflik, kalau ada makhluk berkesadaran lain selain manusia kenapa tidak hidup berdampingan saja? Pikiranku lompatnya jadi agak jauh, yaitu ke trilogi The Lord of the Rings yang mengusung sebuah pesan bahwa untuk mencapai kesatuan diantara ras-ras diperlukan musuh bersama. Ironisnya, dari sejarah perang yang aku tahu, musuh selalu dilihat dari warna kulit, agama, dan hal-hal yang sangat fisik, kenapa musuh itu tidak dilihat sebagai sebuah sifat seperti kejahatan itu sendiri, kelaparan, kebodohan? Ah, entahlah.


Balik lagi, apakah kesadaran itu? Lebih jauh lagi, mungkinkah robot/mesin mencapai kesadaran? Larinya jadi agak ke artificial intelligent. Salah satu contoh yang pernah aku coba adalah ramona buatannya Kurzweil. Di web itu ada tokoh bernama ramona yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan. Sistemnya menggunakan jaringan, jadi kalau aku memasukkan pertanyaan, di layar muncul sejumlah keluaran, atau kalau misalnya aku memuji dia, dia akan bilang terimakasih(tentu saja semuanya dalam bahasa inggris:D).


Bagiku, artificial intelligent(AI) bukan berbicara mengenai kesadaran melainkan pengalaman atau proses belajar. Seperti sebuah robot yang dengan sistem AI dapat menangkap bola setelah sebelumnya berulangkali gagal. Robot itu hanya menyimpan data berupa sudut/derajat yang gagal untuk menangkap bola. Aku melihat kesadaran lebih ke arah perasaan. Jadi ketika pak Freddy membatasi fisik adalah segala hal yang berhubungan dengan matter--sehingga ruh orang yang meninggal tidak bisa ditentukan koordinatnya--begitu pula dengan kesadaran. Kesadaran tidak akan pernah dapat dimodelkan karena wilayahnya bukan lagi sekadar matter atau rangkaian logika yang bisa dibakukan melalui algoritma, melainkan sudah merambat ke hal psyche.


Waduw, sekarang nyambung ke masalah psikologi. Perdebatan yang aku ikuti belum mengarah pada sebuah kesepakatan, psikologi itu ilmu pasti atau bukan? Terlepas dari perdebatan itu, orang-orang senang membuat klasifikasi. Seperti yang dilakukan oleh Aristoteles--yang sepengetahuanku orang pertama yang membuat klasifikasi--tujuannya adalah untuk memudahkan. Begitu pula dengan psikologi yang kini banyak dipopulerkan oleh buku-buku kepribadian seperti personality plus maupun psikotes. Karakter maupun penilaian akan seseorang dilakukan dengan metode tertentu sehingga memungkinkan bagian HRD di perusahaan dapat membaca seseorang dalam sesi wawancara singkat.


Tidak hanya alam, manusia pun masuk dalam pemodelan. Dengan kata lain, kita hidup dari sebuah model ke model yang lain. Dari model, kita kemudian berbicara mengenai sistem, apakah sistemnya terbuka atau tertutup. Salah satu hal yang lucu dari pandangan yang mengatakan alam semesta ini didekati dengan kompleksitas adalah orang-orang masih ngotot menetapkan sebuah model. Sudah semrawut, dan ditemukan berbagai chaos, tetap saja para ilmuwan itu bahagia dengan ditemukannya kondisi disipatif(kemunculan struktur pasca kekacauan), atau penjelasan mengenai kondisi entropi.


Matematika sendiri saja yang disebut sebagai ‘anak’ dari aritmatik, gagal untuk diformalkan. Dengan kata lain, matematika adalah ilmu tidak formal. Dalam penafsiranku, informal ini adalah ruang untuk melakukan ‘chaos’ pikiran. Karena menurut pak The, saat kreatif seseorang adalah lim t menuju chaos(huahaha... kayanya aku sedikit keracunan deh), tapi tetap saja untuk dapat menulis makalah/produktivitas diperlukan peredaan chaos. Dalam psikologi, aku menemukan hal yang mirip, yaitu keadaan theta. Keadaan theta merupakan keadaan dimana kita bisa bermimpi(adanya mimpi atau tidak diukur dengan Rapid Eye Movement). Nah, karena kreativitas ini muncul dalam keadaan yang tidak memungkinkan, maka ide-ide itu harus diredakan dan dibawa dalam kondisi alpha, yaitu keadaan rileks. Nah, peradaan chaos ini aku analogikan dalam keadaan alpha.


Hubungannya dengan matematika adalah, selain bentuk pembiasaan seperti yang bisa dilakukan oleh AI, matematika juga mengandalkan pada inspirasi. Hal inilah yang kuterjemahkan oleh bentuk informal yang disebutkan pak The(ngga tau benar apa ngga). Karena itu pula pendiri math seperi Descartes bisa memperoleh inspirasi di depan tungku perapian, atau kisah Newton dan Archimedes dengan apel dan bak mandinya dapat terjadi. Informal banget....


Yang sedikit mengerikan mungkin kekalahan manusia melawan komputer catur. Tapi tetap saja bagiku peristiwa tersebut tidak menjelaskan kesadaran. Sama saja seperti kalau aku dibandingkan dengan Mbah Goo, pasti mbah Goo punya lebih banyak informasi. Namun bagaimana merasakan kayanya aku masih jauh lebih canggih. Mungkin saja sih, mbah Goo bisa gombal dengan menampilkan puisi tapi itu hanya peniruan dari informasi mengenai kebiasaan manusia.


Dari usaha pemodelan yang dilakukan oleh para ahli, baik fisikawan maupun psikolog, aku tetap menolak untuk dimodelkan. Karena manusia begitu istimewa...

Thursday, August 25, 2005

Anak-anak

Apa mimpi kamu? Pertanyaan itu menari-nari terus dalam kepala layaknya sebuah layangan putus. Tak tentu, kadang ke kiri, ke kanan, lembut, tapi kadang melesat cepat, mengikuti permainan angin. Kalau sudah bosan kutinggalkan saja pemandangan itu, membiarkan ia lepas bebas. Namun adakalanya aku ingin menggulungnya, lalu mendekapnya erat hingga aku tahu mimpiku dapat kusentuh serta kukendalikan.

Kenapa sangat sulit mematri sebuah mimpi? Melukisnya dalam benak kemudian mulai meniti jalan setapak demi setapak. Mengorek kenangan mungkin mampu membantu merumuskan mimpiku. Dan salah satu bagian terbaik yang masih kuingat adalah masa kanak-kanak. Ketika dunia tampak cerah dengan satu warna. Tanpa beban maupun pikiran, dunia yang hanya mengenal tawa. Aku ingat ketika masih kelas 1 SD kami boleh bercerita di depan kelas mengenai apa saja. Saat itu aku memiliki kepingan batu dari tembok yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur. Potongan batu bersejarah penuh grafiti yang kubawa ke sekolah untuk kuperlihatkan pada teman-teman.

Kalau aku menggali ingatanku kembali pada masa itu, aku mengingatnya seperti kelas dalam cerita Totto-Chan. Sebuah kelas bebas, dan sangat tidak formal. Dengan dinding penuh gambar, langit-langit yang dihiasi prakarya, dan pojok ruangan terdapat pohon-pohonan dengan biji-biji pinus. Pelajaran di dalam kelas pun berlangsung bebas, tanpa sekat-sekat pelajaran. Penghargaan yang aku ingat jelas adalah ketika aku selesai mengerjakan tugas, lalu menyerahkannya kepada ibu guru. Setelah melihat pekerjaanku, aku biasa diberi stiker. Begitulah cara guru kami memberi penghargaan pada murid-muridnya. Kalau ada waktu luang, kami juga boleh bercerita dihadapan semua kelas mengenai apa saja.

Belajar terasa begitu menyenangkan, meski tentu saja waktu istirahat adalah saat-saat yang paling ditunggu. Di arena yang seingatku tidak begitu luas, kami bisa berlari-lari atau bermain otopet, engrang, yang disediakan oleh sekolah. Kami juga memiliki sepetak tanah yang ditanami oleh bunga-bungaan. Pada saat pelajaran bercocok tanam, kami memegang cangkul kami masing-masing dan mulai menggemburkan tanah bagian kami sendiri. Selain mengenal langsung alam, kami juga diajari untuk menyayangi binatang. Salah satu binatang yang paling sering ditangkap dan diamati adalah kepik merah. Aku suka menghitung bintik-bintik yang ada di punggung kecilnya.

Untuk pelajaran olahraga, kami harus berjalan agak jauh. Gedung olahraga tersebut terletak terpisah dari sekolah. Bangunannya besar, dengan alat-alat olahraga yang lengkap. Tali-tali yang menggantung untuk dipanjat, kuda-kuda pelana untuk dilompati serta berbagai peralatan olahraga yang biasa dipakai senam. Tapi karena kami masih kelas 1, kami biasanya banyak melakukan permainan sambil berlari-lari dan bernyanyi.

Di akhir pekan, biasanya aku menghabiskan waktu bersama ayah, ibu serta kakak. Entah jalan-jalan naik sepeda ke salah satu taman yang terletak di pinggir kota, atau pergi mengunjungi salah satu objek wisata. Bunga-bunga di musim semi, museum, taman hiburan atau juga miniatur-miniatur pesawat terbang. Ingatan-ingatan itu kini sudah cukup kabur. Namun tanteku pernah bercerita mengenai pengalamanku naik sepeda. Hingga kini cerita itu masih membuatku senyum-senyum.

Ketika baru belajar naik sepeda beroda dua, aku suka mengayuhnya dengan kekuatan penuh. Tapi aku tidak tahu bagaimana mengentikannya. Alhasil, ditengah rasa senang karena angin menerpa, dan rasa panik, aku biasa bersiul, dan tanteku yang mendampingi harus berlari-lari mengejarku. Aku jadi membayangkan kedua sepupuku yang mungkin kini tengah belajar bersepeda. Aku yakin mereka memiliki kisah yang tak kalah seru.

Tampaknya aku memiliki mimpi yang sederhana: melihat tawa anak-anak setiap saat. Mimpi yang membuatku merasakan konflik setiap kali melihat penjualan anak, sistem sekolah yang membuat seorang anak kecil harus membawa tas besar berisi buku-buku teks hingga lks, eksploitasi anak, serta anak-anak dengan riasan tebal di panggung diamati oleh puluhan pasang mata yang tampak siap menerkam sang anak. Meski kadang aku masih bisa menangkap cahaya di mata mereka, namun tetap saja ada sesuatu yang terasa asing. Sebuah jarak yang menimbulkan keraguan untuk memeluk, mencium dan mengatakan kau dicintai sebagaimana adanya.

Dalam sebuah artikel, aku pernah membaca anak-anak yang biasa menjadi korban, harus kembali belajar menjadi anak-anak. Belajar melepas curiga yang biasa menghinggapi pikiran mereka, belajar untuk merasa dicintai, dan belajar untuk diharapkan. Hingga penanganannya tak bisa sebatas memberikan sepenuh hati, melainkan juga dipenuhi dengan baku hantam. Bahasa yang kadang tak kupahami, karena aku selalu berpikir bahwa cinta bisa meruntuhkan segalanya, tapi ternyata tak sesederhana itu.

Kasih sayang ternyata juga bisa melahirkan konflik. Mulai dari yang paling sederhana, ketika orangtua menyuruh anaknya untuk mengikuti les ini-itu. Dengan alasan masa depan adalah globalisasi, persaingan tanpa pandang ras maupun agama. Sedangkan sang anak, baru belajar merangkak, berkata ma..ma.., rewel karena giginya mulai tumbuh, tapi sederet rencana sudah menunggunya.

Seiring dengan berjalan waktu, sang anak tak lagi dapat menangis sekendak hati. Ia harus mulai mengucapkan terimakasih, menggunakan segala sesuatu dengan ‘tangan baik’, dan geraknya tak lagi memancing decak kagum. Ia kini mulai belajar dunianya tak lagi miliknya sendiri. Ketika ia menangis di malam hari, ibunya tak lagi datang dan memeriksa keningnya, ia harus mulai bangkit dengan kakinya sendiri. Sekolah, sebuah tempat yang sering diceritakan ibunya menjelang saat ia harus meninggalkan tempat bernama rumah, juga tak selalu menyenangkan. Di sana ia selalu disuruh melakukan hal-hal baru, padahal ia tak mengerti untuk apa semua itu.

Suatu ketika ia menolak untuk kembali ke ruangan dengan bangku kecil berjumah 50 itu. Sang ibu malah memarahinya. Pandangan ibu yang biasa ramah, berubah menyeramkan. Ia tak mau melihat ibunya seperti itu lagi, ia takut, ia begitu kecil, ia hanya dapat menangis. Ah, cinta ternyata melelahkan. Sang ibu hanya takut anaknya nanti menjadi orang yang tidak berguna, yang terjerat pergaulan tidak benar, pengangguran dan menjadi sampah masyarakat, tapi cinta itu malah membuat buah hatinya menangis.

Aku jadi teringat puisi Sapardi yang berjudul aku ingin:
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Bagiku cinta tak pernah sederhana. Karena mencintai tak selalu berarti mengikuti, cinta bisa membuat seorang bahagia sebagaimana bisa mengakibatkan seorang menderita. Karena cinta, seseorang yang garang bisa menjadi lembut, maupun merubah seorang menjadi beringas. Cinta pula yang menyebabkan seorang ibu meneteskan airmata ketika melepas putrinya pada pemuda yang baru ditemuinya.

Aku masih harus belajar banyak, pada kejujuran anak-anak, pada ketulusan seorang ibu, perlindungan seorang ayah, serta kasihsayang-Nya yang betebaran pada setiap detil kehidupanku. Hanya kepada Sang Maha kupinta balasan yang terbaik.

Monday, August 15, 2005

Cinta

Cinta...
Sirna...
Satu...
Padu...

Adakah seseorang yang menolak disayang, dicintai, diinginkan? Hidup dalam kesendirian, kesepian, karena telah memiliki segala. Berkawan materi, gunjingan-gunjingan, dan bedak berlapis-lapis karena tengah berjerawat. Dengan sepatu kulit impor yang harganya dapat menghidupi sebuah keluarga sederhana selama satu bulan. Mobil mewah berjajar di garasi, dengan orang-orang yang siap membantu membukakan pintu hingga semir sepatu. Dalam salah satu adegan, sang ibu dengan kalung-kalung bertatahkan berlian, mencium anaknya. Dinasehatinya anak itu panjang lebar. Namun matanya kosong, sang anak pun mendengarkan sambil menambahkan sepotong ya pada bagian pertanyaan.

Tak jauh dari rumah megah itu, ada seorang ayah yang baru saja di PHK. Sang istri yang menjadi babu cuci tak dapat membantu banyak. Padahal sebentar lagi anak mereka akan kembali bersekolah setelah libur kenaikan kelas. Itu artinya ia harus siap mengeluarkan uang lebih. Dengan mata tak berdaya dipandanginya angka satu di rapot anaknya. Sudah berulang kali tertoreh angka satu di peringkat kelas. Angka yang tak hanya membuat bangga, namun lebih menorehkan luka. Perasaan terkoyak karena tak dapat berbuat banyak karena masalah biaya.

Sang anak memang tak pernah berharap banyak. Ia selalu berkata, ia selalu siap kalau harus berhenti sekolah. Tangan-tangan mungil anak usia empat SD itu bahkan sudah tahu bagaimana mencari uang dengan mengambil kue-kue tetangganya untuk dititipkan di koperasi sekolah. Tangan-tangan yang juga mengangkat tangannya kepada Sang Maha Kuasa dan senantiasa berdoa untuk dapat menjadi orang besar. Pinta yang diucapkan setiap kali, layaknya tasbih. Hingga meski tak pernah terkatakan, sang ayah tahu mimpi-mimpi anaknya.

Di tengah kegalauan, bimbang dan putus asa sang ayah menjadi gelap mata. Dilihatnya anak yang tak pernah merasakan tanah lumpur. Sepatu olahraga yang tampak selalu baru, tas berwarna, dan mobil lengkap sopir yang mengantarkannya kemana-mana. Dicarinya akal agar dapat merampas sesuatu dari anak itu, agar tak hanya anak orang kaya yang dapat merasakan bahagia. Ia ingin anaknya dapat merasakan hak yang sama, barang-barang keluaran pabrik, mengkilap dan harum. Pikiran-pikiran itu kian sering menggodanya, terutama semenjak ia tak lagi dapat membantu istrinya.

Di tengah rasa frustasi, ia mulai suka melayang. Alkohol menjadi salah satu kawan terbaiknya. Memberikan detik-detik paling bebas dalam hidupnya. Ia merasa begitu merdeka untuk melayangkan tangannya ke wajah sang istri yang kini lebih sering menangis. “Ah, berisik,” ketika sang istri menolak memberikannya uang sambil memberikan sebuah pukulan yang menorehkan lebam di pipi.

Kejadian itu berulang. Dan kali ini sang suami mulai mencari cara lain untuk memperoleh uang. Ia berniat untuk melaksanakan rencananya terhadap keluarga kaya itu. Ia akan menculik anak yang baginya tampak terlalu bahagia itu. Kenapa ada orang yang berhak menerima semua itu sedangkan dirinya harus terperangkap dalam kemiskinan, ketidakberdayaan, dan dilecehkan oleh istrinya sendiri. Kemarahan itu begitu menggebu-gebu. Menghentak, membuncah, hingga nyaris tak tertahankan. Dengan sisa-sisa akalnya, ia menyusun sebuah rencana penculikan.

Dan terjadilah. Ketika anak tersebut sedang menunggu jemputan di sekolahnya, laki-laki yang gelap mata itu menculik anak itu. Rencananya sederhana, untuk meminta uang tebusan, sama seperti yang sering dilihatnya di sinetron. Bukankah itu artinya keadilan, ketika setiap orang bisa merasakan hal yang sama, dan bagi dirinya, inilah saatnya ia bisa memperoleh uang banyak, dan membuat orang-orang yang tampak terlalu sempurna itu untuk menderita.

Di sebuah tempat yang sepi ia mengikat mulut anak itu. Tapi setetes air membuatnya terkejut. Mata anak itu mengeluarkan air dan menyiratkan ketakutan. Laki-laki itu sekilas teringat anaknya di rumah. Dan yang membuatnya lebih heran lagi, anak itu tidak menjerit-jerit mencari ibunya, melainkan hanya menangis tergugu dan pasrah. Kebeningan mata anak itu membuatnya takut, perasaan yang sudah lama tak dirasakannya. “Ternyata orang kaya bisa menangis juga,” pikirnya. Ketika ia memeluk anak itu, tangisan itu malah terdengar lebih keras. “Su...su..sudah la..lama, ibu saya tak me..melakukannya,” ucap sang anak dengan tergugu.

Kata-kata itu langsung menghancurkan pertahanan penculik. Dengan airmata yang membuat pandangannya kabur, ia melepaskan ikatan di tangan anak itu dan menyuruhnya pergi. Sementara sang ibu yang telah diberitahu oleh sopir bahwa anaknya tak ada di sekolah mulai merasa cemas. Pikiran-pikiran mengenai model baju terbaru musim ini yang tadi diperbincangkan seru di arisan, sirna. Perbincangan anak saya ikut les ini-itu, menang lomba antah berantah, hingga piala-piala kecil yang menghiasi salah satu pojok ruang tamunya terasa mengejek. Dengan perasaan galau dibantingnya salah satu piala milik anaknya.

Piala itu diperoleh anaknya ketika harus mengikuti lomba aritmatik. Di bagian bawahnya tertulis juara harapan I. Saat hendak mengikuti lomba itu, sang anak menolak ikut karena merasa tak enak badan. Tapi saat itu ia memaksa anaknya untuk tetap ikut. Minggu lalu, teman arisannya bercerita mengenai keberhasilan anaknya menang lomba. Ia tak mau kalah, ia merasa anaknya adalah yang terbaik dan tak terkalahkan. Karena itu ketika anaknya hanya memperoleh juara harapan, ia merasa sangat marah.

Potongan-potongan itu menyerangnya, menyerbunya, membuat kilatan-kilatan peristiwa. Tiba-tiba telepon rumah berbunyi. “Ma, ini ade. Ade ada ada di dekat SD Harapan Bangsa. Tolong jemput ade ya, Ma.” Dengan langkah tergopoh, ibu itu langsung meminta sopirnya untuk ke sekolah. Baru kali itu ia tidak memikirkan tatanan rambutnya, atau parfum apa yang harus dikenakannya. Ia merasa menjadi orang yang begitu jahat dan egois hingga nyaris kehilangan putranya sendiri. Kehilangan yang sebenarnya sudah terjadi bebapa tahun semenjak ia mengambil jarak, dan menutup hatinya.

Dari kejauhan dilihatnya putra semata wayangnya itu. Dengan baju agak berantakan dan wajah sedikit pucat. “Sudah berapa lama saya tak melihatnya tertawa lepas,” pikir sang ibu sedih. Ketika mobil berhenti, sang ibu langsung turun sambil memeluk anaknya yang baru kelas 3 SD itu. “Maafkan, ibu nak. Ibu minta maaf. Apa kamu ngga apa-apa Yang?” Sang anak hanya menguatkan dekapan pada ibunya.

Sementara laki-laki yang gelap mata, mulai berusaha bangkit. Dipandanginya lautan sampah yang ada di matanya. Perlahan ia mulai mengumpulkan botol-botol bekas. Ia bertekad, tak akan pulang ke rumah dengan kosong. Ia tak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya. Ia rindu tatapan anak dan istri yang begitu menyayanginya. Ia ingin menjadi bagian dari kehidupan itu kembali.

Untuk teman-temanku di Siaware tujuh: Saat kehidupanku beririsan denganmu, kau telah menjadi bagian dari diriku. Sang Sutradara telah menggariskan kisah ini untukku, untuk membuatku kuat, dan menyadari bahwa ternyata kaupun tak sempurna. Aku melihat diriku dalam dirimu, dan itu membuatku merasa kita adalah satu.

Thursday, August 11, 2005

Perempuan Tua dan Kucing

Di pinggir jalan setapak, dekat batang-batang besi yang dicat hijau, tampak seorang perempuan tua dengan kucing. Kadang seekor, kadang juga lebih, tak pasti. Kucing-kucing itu biasa menemaninya menghabiskan pagi. Kalau ada rejeki lebih, perempuan tua itu biasa membagi nasi bungkusnya dengan kucing-kucing yang ada di sekitar. Tak jarang, ia sengaja menyisakan nasi dari bagiannya sendiri. Saya tak bisa berkata perempuan tua itu makan berlebihan. Ia hidup dengan mengandalkan kedermawanan orang yang lalu-lalang.

Pagi hari, perempuan yang wajahnya sudah dipenuhi kerut-kerut usia itu biasa menyapu sekitar tempat ia biasa menggelar karton-karton usang, dilapis kain batik yang telah memudar. Kalau udara pagi cukup dingin, ia biasa duduk dengan kain disampirkan hingga menutupi rambutnya yang sudah memutih, dan kucing di pangkuan. Kucing-kucing itu biasa menemaninya di pagi hari. Suatu kali, saat tak ada seekor kucing pun menemaninya, saya melihat perempuan tua itu memanggil-manggil si pus, entah mau diajak makan bersama atau saling mengisi dalam kebisuan.

Pemandangan pagi itu selalu menarik perhatian saya. Suatu kali saat saya mengelus kucing yang biasa menamaninya ia berkata, “Dibawa pulang aja neng.” Sambil memberikan alasan agar kucing-kucing itu bisa makan dengan layak. Saat itu saya menolak dengan kata-kata pertama yang melintas dalam benak. Saya terkejut mendengar ucapan perempuan tua itu.

Bisa kau bayangkan, kebisuan yang biasa tercipta kala saya melewatinya runtuh seketika hanya karena seekor kucing? Dua orang yang saling tidak mengenal, beda generasi, dan mungkin tidak memiliki kesamaan sama sekali, menjadi saling menyapa hanya karena kucing. Makhluk berbulu yang kemalasannya pantas masuk rekor. Ya, itulah makhluk yang sedang saya bicarakan, makhluk berkaki empat, berbulu lembut, dengan mata yang selalu tampak tanpa dosa, dan karenanya telah menjinakkan hati perempuan tua itu, dan juga hati saya.

Saya suka terkagum-kagum dengan kehidupan ini. Bagaimana Sang Maha menebarkan kasih-Nya lewat detil-detil kehidupan. Lewat kucing-kucing yang mengajarkan arti keberadaan bagi perempuan tua, dan bagaimana perempuan tua itu mengajarkan arti bersyukur untuk saya. Fragmen-fragmen kehidupan yang seolah terjadi secara acak, tidak terduga, namun memberi makna yang mendalam.

Kehadiran sosok-sosok seperti perempuan tua itulah yang menyadarkan saya kembali, bahwa manusia menjadi utuh dengan berbagi, bahwa kebahagian lahir dari kegunaan kita bagi makhluk lain, untuk kucing sekalipun, dan bahwa kasih Sang Maha mewujud dalam segenap ciptaan-Nya. Kau, perempuan tua, dan saya, yang senantiasa berada dalam samudera kasih dan sayang-Nya.

Shock Wave

Paragraf Analogi

Belajar matematika ibarat orang yang jatuh cinta. Saat bertemu dengan soal yang menyenangkan, hati jadi berbunga-bunga tak karuan. Namun ketika ada soal yang tak bisa dipecahkan, hati menjadi gundah gulana, ditinggal tak tenang, dilanjutkan juga susah karena tak ada kemajuan. Pada waktu yang lain, ketika soal dan kertas sudah tak di tangan, ada ide mengenai mengenai pemecahan solusi melintas. Langsung saja segala aktivitas ditinggalkan, untuk menumpahkan segala resah akibat soal yang belum selesai terjawab, layaknya bertemu sang pujaan hati.

Tadi pagi aku iseng mencari tulisan mengenai matematik yang menjadi tugas waktu kuliah TTKI(Tatu Tulis Karya Ilmiah). Hasilnya potongan tulisan diatas. Aku jadi ingat waktu mengambil kuliah itu dua semester lalu. Pengajarnya sudah cukup berumur tapi masih sangat semangat mengajar. Karena judulnya mata kuliah luar, anak-anak jarang yang datang tepat waktu. Jadi jam 13.00 biasanya yang datang baru satu-dua orang. Tapi hal itu tidak pernah menyurutkan semangat dosen untuk datang tepat waktu.

Nah, karena aku termasuk yang suka datang di jam yang benar, tulisanku biasa jadi korban pembahasan. Ketika mengumpulkan tugas mengenai berbagai macam paragraf, kertasku dibaca. Awalnya yang dibaca paragraf perbandingan, tapi ketika mau ganti korban, bapaknya melihat, “Wah, menarik nih, tentang jatuh cinta.” Alhasil, paragrafku yang kedua juga dibaca keras-keras, dan diketawain satu kelas. Hehehe… maklum deh, melownya lagi kumat dan akibatnya tugasku turut terimbas.

Meski aku gaya nulisnya becanda, tapi aku makna yang ingin aku sampaikan serius. Sama saja seperti seorang detektif yang sedang memecahkan kasus, atau wartawan yang hendak menulis berita. Potongan-potongan petunjuk disusun sehingga membentuk sebuah sebuah cerita utuh. Kepingan-kepingan yang pada awalnya terlihat saling bebas ternyata setelah dikumpulkan, membentuk sebuah gambar, layaknya puzle. Kalau belum ditemukan kaitannya rasanya gimana gitu.... Begitu juga ketika menurunkan sebuah persamaan, petunjuk dari fenomena fisik diasumsi, dibuat model kemudian dibuat persamaannya. Bagian ngga lucu adalah karena di textbook masih banyak bolong-bolong yang harus diisi sendiri.

Misalnya terdapat suatu permasalahan. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut biasanya kita membutuhkan alat-alat. Dalam shock wave, alat-alat itu adalah conservation law(hukum kekekalan), metode karakteristik, pemahaman akan diskontinu, dan beberapa persenjataan kecil lainnya. Hukum kekekalan berbicara mengenai perhitungan kuantitas partikular yang memungkinkan, seperti kepadatan mobil di jalan, partikel polutan dalam arus air yang sempit, dll. Shock wave sendiri dari salah satu definisinya berarti: solusi diskontinu yang dihasilkan dari hukum kekekalan.

Hukum konservatif dalam bentuk persamaan diferensial bisa dituliskan dengan: Ut + Psi x= f. Dengan u, f dan Psi sebagai fungsi dari x,t. U menyatakan kepadatan, f source function(yang menyatakan masuk/keluarnya konsentrat dari daerah yang dibatasi->bukan dari kedua ujungnya) dan psi merupakan fungsi yang berkaitan dengan U. Hubungan antara U dan psi dinyatakan dalam persamaan konstitutif. Biasanya hubungan antara keduanya diperoleh dari hasil trial-error di lapangan.

Untuk shock wave yang sedang aku garap, source functionnya ngga ada, jadi persamaannya menjadi Ut + Psi x = 0 (gila, ngga ada subscript jadi repot banget:-<) atau bisa juga ditulis sebagai: Ut + A(U)*Ux = 0. Persamaan ini mirip dengan persamaan transport(a*Ux + b*Ut = 0), hanya saja kemiringannya mengandung unsur U yang merupakan variabel tak bebas dari x dan t. sehingga untuk menyelasikan persamaan non-linier diatas, digunakanlah metode karakteristik. Dari metode karakteristik ini kita memperoleh beberapa fakta: kurva karakteristik yang diperoleh berupa garis, nilai u di sepanjang garis karakteristik konstan dan kemiringan setiap garis setara dengan nilai u(x,t).

Meski udah ada sedikit gambaran, masih ada masalah yang tersisa. Kalau dalam persamaan transport, kita bisa melihat kemiringan dari konstanta yang ada di depan Ux dan Ut, dalam persamaan yang aku gunakan kemiringannya ditentukan oleh a(u), akibatnya garis-garis karakteristiknya dipengaruhi oleh perubahan u(x,t). Adanya fungsi yang dipengaruhi x dan t memungkinkan terjadinya gradient catastrophe(gc). GC adalah peristiwa robohnya satu atau lebih karakteristik(sehingga garis-garis tersebut berpotongan). GC diakibatkan karena kecepatan gelombang di bagian atas dan bawah berbeda. Misalkan kita mengamati sebuah gelombang sin. Bagian atas dari gelombang tersebut lebih cepat dari bagian bawahnya, akibatnya pada suatu saat bentuk gelombang yang semula seperti sebuah gundukan jadi rata kanan(hua…ha…ha… lagi-lagi keterbatasan gambar). Ketika rata inilah, gelombangnya jadi tidak mulus lagi, atau dalam bahasa matemtiknya menjadi diskontinu, alias terjadi GC.

Untuk menganalisa permasalahn inilah aku harus mencari nilai s, yang dicari menggunakan Rankine-Hugoniot formula(hehe.. tadi malem baru berhasil nurunin rumusnyaJ). Setelah itu akan dilakukan analisis kondisi entropi, karena dalam sistem gas dinamik, yang realistis hanya yang memenuhi kondisi entropi(untuk kasus kepadatan mobil di jalan raya, kondisi entropi tidak harus terpenuhi, hal ini bisa diamati pada kasus mobil ketika bertemu lampu hijau, sedangkan yang memenuhi kondisi entropi terpenuhi pada kasus mobil ketika bertemu lampu merah). Dan untuk masalah kondisi entropi, aku masih bingung berat.

Tuesday, August 09, 2005

Readable

Udah lama juga aku ngga nulis blog. Kemarin ada yang protes tentang tulisan non-linier. Alasannya, ngga reader-friendly, bahasanya ajaib banget. Abis, mau bagaimana lagi, ditulis dalam bahasa sepopuler apapun, tema chaos dan kompleksitas memang berat. Jangankan yang menggunakan persamaan, penjelasan filosofisnya aja ribet banget. Dan aku sekarang memang sedang meracuni diriku dengan persamaan-persamaan matematis. Kan, racun dalam dosis yang tepat menjadi obat? Imbasnya ya ke blog.

Tadi abis search shock wave interaction di mbah Goo. Keluarannya bikin geleng-geleng kepala. Hypervelocity-lah, plasma... hua...ah ngeliatnya udah bikin aku mundur duluan. Kaya kemarin waktu baca-baca mengenai interkasi turbulensi dan shock wave, contoh kasusnya supernova coba. Satu-satunya yang bisa bikin aku sedikit bernafas lega adalah karena belum ada hasil final, masih sebatas teori. Tapi tetep aja rumit...

Baca buku mulai dari Strauss, Smoler, Knobel, hingga Chorin yang semuanya membahas tentang shock wave aja, aku masih menemui jalan buntu. Apalagi baca artikel-artikel yang skalanya udah forum internasional. Waks.... akhirnya aku malah nulis tentang alien untuk hiburan. Ngeliat gambar-gambar film ET di Goo, trus tarik-tarik ke alienasi.

O iya, sekarang buku-buku yang berserakan di meja belajar di dominasi oleh text book. Masih ada beberapa buku umum juga yang nyasar: agama cinta agama masa depan, seri tokoh filsafat: Paul Feyerband(?) tentang anti-metode, Metode Diskursus-nya Descartes, dan The City of Joy. Hua..ha... berantakan banget, sama berantakannya dengan pikiranku saat ini.

Thursday, August 04, 2005

Non-linier

Waduw... ternyata non-linier itu merepotkan banget. Pas mau ngambil TA aku mikir-mikir enaknya ngambil apa ya? Saat itu yang melintas di kepala adalah sistem dinamik, karena bacaanku kebanyakan lagi membahas hal itu. Tapi karena satu dan lain hal, akhirnya aku ngambil shock waves. Eh, tau-tau sekarang menghadapi masalah entropy, non-linier dkk. Bahkan di buku From Order to Chaos, aku baca interaksi beberapa wave(dalam pembahasan sistem hydrodinamic) menyebabkan perilaku chaos. Dari segi semangat seneng, tapi dari segi pengerjaan jadi rada belepotan, abis emang jadi rumit.

Entah kenapa aku seneng banget dengan chaos, kompleksitas dan fraktal. Mungkin karena sering dapet dongeng tentang itu. Dan karena judulnya didongengin, persamaan-persamaannya ngilang semua, yang tersisa hanya cerita bagaimana fenomena-fenomena di alam ternyata memiliki kaitan satu sama lain. Hmm... intinya sih, sains yang kita pelajari sekarang ini sebenarnya dipecah-pecah menjadi bagian-bagian dengan simplifikasi tertentu. Masalahnya, realitas di alam tidak pernah sederhana. Hal inilah yang menyebabkan ramalan cuaca selamanya menjadi sebuah ramalan, dan tidak pernah menjadi sebuah kepastian.

Hal lain yang menarik dari chaos dari kacamata akedemik adalah, batas-batas keteraturan yang ada didalamnya. Seperti yang pernah kutulis dalam Chaos, dengan menggunakan geometri fraktal, kita bisa melihat sebuah pola dalam fenomena yang pada skala mikro tampak tidak teratur. Kalau dipikir-pikir, aku koq jadi kaya orang sosial gini. Abis rasa skeptiknya kurang banget, seharusnya kan aku harus bisa menurunkan rumus-rumusnya, dan merasakan keindahan chaos dari segi keteraturan dari rumus-rumus yang ada? Gawat nih, status matematikku dipertanyakan berat.

Aku jadi teringat percobaan Alan D. Sokal ke jurnal Social Text. Dalam percobaan sosialnya itu ia berkesimpulan, orang-orang di jurnal itu ngga kritis. Karena teori-teori fisika yang beliau gunakan untuk melegitimasi beberapa fenomena sosial banyak salahnya. Dalam tulisan yang beliau buat untuk mengulas percobaan sosialnya tersebut, beliau menyebutkan jurnal tersebut memasukkan mentah-mentah apa yang ditulisnya karena mendukung ideologi/keyakinan mereka akan adanya benang merah antara fisika dan sosial.

Nah, kalau aku nulis kesamaan antara sains dan ilmu sosial tanpa mengerti persamaan-persamaannya artinya aku menempatkan diriku sebagai orang sosial. Bukannya mau memisah-misahkan apalagi membangun konflik, tapi setiap peneliti memang harus kritis. Bagiku pribadi, kasus Sokal bisa ditafsirkan dalam dua narasi. Yang pertama, orang dari jurnal ST melihat latarbelakang Sokal yang mumpuni di bidang fisika sehingga teori-teori yang digunakannya tidak dicek lagi. Kemungkinan kedua, seperti yang dituduhkan Sokal, yaitu kurang kritisnya editor jurnal tersebut untuk melihat permasalahan yang sesungguhnya.

Sebenarnya keadaan itu bisa dijembatani kalau ada niat baik dari keduanya. Karena dalam wacana sosio-sains ada dua kubu besar. Pihak pro integrasi, dan pihak kontra yang menganggap ilmu sosial sangat subjektif sehingga tak bisa diintegrasikan dengan sains. Ketika kuliah KIS yang banyak menggunakan tools dari ranah sosiologi, perbedaan mendasar ini dibenarkan. Saintis menyebut bahan penelitiannya sebagai objek, sedangkan orang sosial menyebutnya subjek, yang kemudian berpengaruh pada keluarannya.

Terlepas dari dua kubu tersebut, dalam buku From Order to Chaos, Kadanof(seorang fisikawan teoritis yang mendalami chaos dalam mekanika sederhana dan fluid-system) mengaplikasikan ilmunya dalam pembuatan kebijakan publik, pembuatan model untuk pemasaran buruh di perkotaan dan pengembangan kebijakan, serta dalam pembuatan model kurva pertumbuhan.

Mungkin model yang dibuat tidak sepenuhnya ideal(baca: representasi kondisi riil). Namun ketika berbicara tataran konsep dan implementasi, bagiku semua memang merupakan pendekatan terhadap kondisi ideal(inget lagi simulakra). Dalam manajemen sendiri, ada sebuah buku yang menggunakan sistem dinamik dalam problem solving: The Fifth Dicipline(aku lupa nama pengarangnya). Melihat beberapa penerapan ilmu sains dalam ranah sosial, aku bisa bilang, “Matematika sebenarnya adalah ilmu bernalar.”

Hehehehe... pembelaan diri karena udah beberapa jam gagal menurunkan rumus:(

Monday, August 01, 2005

Kepergian

And their life happily ever after. Dongeng-dongeng klasik selalu diakhiri dengan kata-kata itu. Tapi belakangan aku menemukan versi lain yang entah harus kusambut dengan gembira atau sebaliknya. Kisah-kisah yang menceritakan kepergian seseorang untuk selama-lamanya, serta hal-hal buruk yang biasanya dijauhkan orangtua dari anak-anaknya yang masih kecil. Karena alasan itu pula cerita Little Prince ditafsirkan sebagai kepergian Pangeran Kecil ke sebuah tempat yang jauh dan bukan sebagai kematian. Tema kematian sangat tidak populer untuk anak-anak. Imaji dunia bocah-bocah penuh tawa dan tiada duka.

Bagaimana dengan anak-anak yang harus berhadapan langsung dengan realitas? Keadaan yang memisahkan mereka dari ibu karena masalah biaya ataupun bencana, kekerasan yang menjadi bagian dari keseharian, hingga aktivitas jalanan? Sebuah dunia yang tak pernah tersentuh dalam dongeng-dongeng berhiaskan kain-kain cerah, lengkap dengan istana megah. Hitam/putih terlihat secara jelas, sehingga orang dapat menebak akhirnya dengan mudah. Berbeda dengan buku yang aku baca barusan, tentang sebuah kehilangan. Seorang anak yang pada mulanya ceria, namun berubah jadi resah karena kepergian sang bunda.

Perubahan emosi serta perilaku tak terhindarkan. Manusia-manusia yang bersinggungan dengannya, mau tak mau turut terkena getah. Kata-kata tak sopan atau luapan perasaan yang kadang terdengar kasar. Dan buku itu mencoba menggambarkan petualangan Sal, sang tokoh dalam cerita itu, agar mampu berdamai dengan hatinya. Hati yang masih mengingkari kepergian bunda menghadap Ilahi, dan menyisakan sebuah keyakinan bahwa suatu saat nanti bundanya akan kembali.

Kehilangan tak akan pernah mudah, apalagi kalau itu terjadi dengan mendadak. Tanpa indikasi, ataupun pertanda, mengambil sesuatu yang begitu berharga. Gamang, perasaan tidak percaya, sekaligus pengingkaran dalam-dalam. Mungkin saja berita itu salah, mungkin ia sakit sehingga sosoknya tak lagi bisa ditemui, tapi pengingkaran-pengingkaran itu tak bisa dilakukan secara terus menerus.

Saat membaca buku itu aku jadi teringat satu sosok. Kalau ditotal, pertemuanku dengannya hanya berjumlah tak lebih dari satu hari. Beberapa jam dalam kepanitian bersama, dan dua jam dalam diskusi yang lebih mirip sebuah acara dongeng. Aku tak bisa menyanggah kata-kata yang keluar darinya. Bukan karena dia mendominasi pembicaraan, karena dalam kurun waktu tertentu dia selalu menanyakan pendapatku, tapi aku terlalu meresapi kata-katanya hingga lidahku kelu.

Dia yang membuatku memutuskan untuk mengirimkan tulisanku ke koran, serta merubah sebagian opiniku mengenai aksi mahasiswa ke jalan. Ia mampu menyajikan segala sesuatu dengan paradigma cinta, dan bukan dengan pendekatan kebencian atas Yahudi, Amerika dll. Kalaupun sekarang semua tampak tak ideal, baginya ini hanya proses.

Kalau sekarang tiba-tiba aku menulis mengenai sosoknya yang sederhana, yang mengintergrasikan komitmennya untuk membangun bangsa dengan celana kain dan baju keluaran penjahit(buatan Indonesia maksudnya). Tak lain karena dalam buku itu aku menemukan bahwa setiap kehidupan memiliki makna. Meski hanya satu hari, dia telah membuatku mempunyai semangat untuk melakukan sesuatu. Pengopinian massa lewat tulisan sebagaimana yang ia katakan padaku, “Ayo dong kirim tulisannya ke koran”(begitu kira-kira kata-katanya padaku). Pertama kali mendengar kata-kata itu, aku terkejut karena dalam relatif yang begitu minim ia punya keyakinan yang begitu besar akan kemampuanku.

Berangkat dari keyakinannya itu, beberapa tulisan yang aku kirimkan berisi mengenai teknologi. Aku berusaha melanjutkan visinya yang tertuang di salah satu tulisannya. Fiuu..h ternyata aku masih butuh energi lebih untuk menuliskan kenangan ini...

Kepada Serang Kawan

[Episode: Perpisahan]

“Apa yang akan kamu pilih, Georg, jika ada sebuah kekuatan yang lebih tinggi memberimu pilihan? Akankah kamu memilih untuk tinggal di bumi pada suatu waktu tertentu? Atau akankah kau menolak untuk ikut dalam permainan ini karena kamu tak menyukai peraturannya?” (Jan Olav pada Georg dalam Gadis Jeruk, Jostein Gardner).

Aku tahu pilihan itu tak mungkin ada. Kau telah menjadi bagian dari kehidupan, demikianlah kenyataannya. Tapi seandainya kau memiliki kesempatan untuk mengulang bagian dalam hidupmu, masihkah kau akan memilih jalan yang sama? Jalan yang menyebabkan hidupmu beririsan dengan hidupku. Dua makhluk asing yang dipertemukan dalam sebuah adegan hidup, dan seketika menjadi begitu dekat.

Peraturannya sederhana, aku peduli padamu sebagaimana kau padaku, kita menjadi terikat seperti rubah pada Pangeran Kecil. Namun dibalik segala kebahagiaan yang kudapatkan setelah mengenalmu, aku juga jadi belajar cemas. Gelisah saat kau tidak muncul, atau ketika tiba-tiba kau harus pergi. Kenyamananku dengan kehadiranmu telah menjadi bagian yang utuh, hingga saat kita berpisah kau membawa sebagian dari diriku bersamamu.

Aku tahu, kau pasti tidak menyukai peraturan ini. Tapi kalau kau diberi kesempatan untuk mengulanginya dan kau memilih untuk tidak bertemu denganku, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku. Sungguh, aku tidak bisa membayangkan kehidupanku tanpa dirimu, pikiran-pikiranmu yang maju, caramu menyemangatiku, dan satu hal yang membuatku berat untuk berpisah denganmu, kesedianmu untuk mempercayai segala langkah yang kupilih. Meski akupun merasa sedih saat harus berpisah denganmu, tapi masa-masa saat kau menjadi bagian dari hari-hariku menjadi kekuatan tersendiri.

Untuk meredakan kesedihan ini aku berusaha mengukir kenangan-kenangan indah yang telah kita lalui dalam ingatanku. Kenangan yang senantiasa bisa kulihat setiap kali aku merasa sedih, atau kala aku merasa tak ada seorangpun yang mengerti. Mengenai perpisahan, biarlah kesedihan itu hanya terjadi sekali, yaitu saat terjadi. Setelah itu aku hanya akan mengingat bagian-bagian indahnya saja.

Bukan hal yang mudah untuk melakukan hal itu, untukku sekalipun. Tapi kalau pertanyaan itu diperuntukkan bagiku, aku akan tetap memilih bertemu denganmu. Aku akan mengulangi kejadian demi kejadian setepat-tepatnya. Meski itu juga berarti aku harus merasakan sebuah kehilangan saat berpisah denganmu. Kau tahu aku seorang penakut, tapi untuk dirimu aku akan berusaha untuk menjadi orang yang berani, dan kuharap kaupun begitu.

Sejak mengenalmu aku belajar untuk berani kehilangan, karena mengenalmu sama artinya dengan mempersiapkan kepergianmu. Aku juga belajar untuk berubah, bukan karena kau memaksaku untuk mengikuti pola pikirmu, kau terlalu baik untuk melakukan hal itu. Tapi perubahan itu terjadi begitu saja, seperti halnya pohon yang menua, daun-daun yang berguguran dan diriku yang turut ber-evolusi bersama dunia ini.

Kawan, aku tak mau lebih banyak berkata-kata, karena kata kadang bisa mereduksi makna. Satu hal yang harus kau ketahui, aku senantiasa mengharap yang terbaik untukmu. Semoga irisan kehidupanku denganmu memberi makna yang indah, sebagaimana yang kau lakukan untukku.

Salam sayang selalu,
Kawanmu

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...