Monday, August 01, 2005

Kepergian

And their life happily ever after. Dongeng-dongeng klasik selalu diakhiri dengan kata-kata itu. Tapi belakangan aku menemukan versi lain yang entah harus kusambut dengan gembira atau sebaliknya. Kisah-kisah yang menceritakan kepergian seseorang untuk selama-lamanya, serta hal-hal buruk yang biasanya dijauhkan orangtua dari anak-anaknya yang masih kecil. Karena alasan itu pula cerita Little Prince ditafsirkan sebagai kepergian Pangeran Kecil ke sebuah tempat yang jauh dan bukan sebagai kematian. Tema kematian sangat tidak populer untuk anak-anak. Imaji dunia bocah-bocah penuh tawa dan tiada duka.

Bagaimana dengan anak-anak yang harus berhadapan langsung dengan realitas? Keadaan yang memisahkan mereka dari ibu karena masalah biaya ataupun bencana, kekerasan yang menjadi bagian dari keseharian, hingga aktivitas jalanan? Sebuah dunia yang tak pernah tersentuh dalam dongeng-dongeng berhiaskan kain-kain cerah, lengkap dengan istana megah. Hitam/putih terlihat secara jelas, sehingga orang dapat menebak akhirnya dengan mudah. Berbeda dengan buku yang aku baca barusan, tentang sebuah kehilangan. Seorang anak yang pada mulanya ceria, namun berubah jadi resah karena kepergian sang bunda.

Perubahan emosi serta perilaku tak terhindarkan. Manusia-manusia yang bersinggungan dengannya, mau tak mau turut terkena getah. Kata-kata tak sopan atau luapan perasaan yang kadang terdengar kasar. Dan buku itu mencoba menggambarkan petualangan Sal, sang tokoh dalam cerita itu, agar mampu berdamai dengan hatinya. Hati yang masih mengingkari kepergian bunda menghadap Ilahi, dan menyisakan sebuah keyakinan bahwa suatu saat nanti bundanya akan kembali.

Kehilangan tak akan pernah mudah, apalagi kalau itu terjadi dengan mendadak. Tanpa indikasi, ataupun pertanda, mengambil sesuatu yang begitu berharga. Gamang, perasaan tidak percaya, sekaligus pengingkaran dalam-dalam. Mungkin saja berita itu salah, mungkin ia sakit sehingga sosoknya tak lagi bisa ditemui, tapi pengingkaran-pengingkaran itu tak bisa dilakukan secara terus menerus.

Saat membaca buku itu aku jadi teringat satu sosok. Kalau ditotal, pertemuanku dengannya hanya berjumlah tak lebih dari satu hari. Beberapa jam dalam kepanitian bersama, dan dua jam dalam diskusi yang lebih mirip sebuah acara dongeng. Aku tak bisa menyanggah kata-kata yang keluar darinya. Bukan karena dia mendominasi pembicaraan, karena dalam kurun waktu tertentu dia selalu menanyakan pendapatku, tapi aku terlalu meresapi kata-katanya hingga lidahku kelu.

Dia yang membuatku memutuskan untuk mengirimkan tulisanku ke koran, serta merubah sebagian opiniku mengenai aksi mahasiswa ke jalan. Ia mampu menyajikan segala sesuatu dengan paradigma cinta, dan bukan dengan pendekatan kebencian atas Yahudi, Amerika dll. Kalaupun sekarang semua tampak tak ideal, baginya ini hanya proses.

Kalau sekarang tiba-tiba aku menulis mengenai sosoknya yang sederhana, yang mengintergrasikan komitmennya untuk membangun bangsa dengan celana kain dan baju keluaran penjahit(buatan Indonesia maksudnya). Tak lain karena dalam buku itu aku menemukan bahwa setiap kehidupan memiliki makna. Meski hanya satu hari, dia telah membuatku mempunyai semangat untuk melakukan sesuatu. Pengopinian massa lewat tulisan sebagaimana yang ia katakan padaku, “Ayo dong kirim tulisannya ke koran”(begitu kira-kira kata-katanya padaku). Pertama kali mendengar kata-kata itu, aku terkejut karena dalam relatif yang begitu minim ia punya keyakinan yang begitu besar akan kemampuanku.

Berangkat dari keyakinannya itu, beberapa tulisan yang aku kirimkan berisi mengenai teknologi. Aku berusaha melanjutkan visinya yang tertuang di salah satu tulisannya. Fiuu..h ternyata aku masih butuh energi lebih untuk menuliskan kenangan ini...

2 comments:

Anonymous said...

Yang menarik dari spot yang ini,
adalah kata-kata Paradigma Cinta.

Aku gak pernah ngerti, kalo Cinta punya paradigma, karena paradigma seperti apakah itu jadinya?

Karena aku belajar, bahwasanya, Paradigma selalu menghasilkan konflik. Like it or not.

Dan Cinta, sejatinya (menurutku) hanya menimbulkan kasih sayang.

Sebuah aksi Cinta, lagi-lagi sejatinya (menurutku), adalah aksi penggandaan kasih. Reaksi yang timbul adalah reaksi kasih.

Cheshire cat said...

Mungkin... Tapi aku ingin meyakinkan diriku sendiri kalau paradigama cinta itu ada. Seperti seseorang yang menggunakan kacamata(baca:paradigma) biru, dunia akan berwarna biru. Begitu juga ketika seorang menggunakan kacamata cinta, semua tampak sebagai lautan kasih.

Meski mungkin masih terjadi konflik. Seperti seorang ayah yang menolak permintaan anaknya yang menginginkan mainan baru. Cinta itu tetap ada, tapi bahasanya mungkin tak dipahami sang anak. Kedongkolan masa kecil yang mungkin akan melatihnya menjadi seorang pemuda yang mandiri dan tidak manja.

Atau ketika seorang sahabat menyarungkan pedangnya ketika musuhnya meludah, ia tak ingin perjuangan berlandaskan cinta ternodai kebencian pada musuh.

Itulah paradigma cinta yang saya tahu

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...