Penderitaan itu agung, tetapi manusia tetap lebih agung dari penderitaan
-Tagore
Sore itu langit tampak mendung. Dengan langkah bergegas aku mengarahkan kakiku ke Salman. Namun belum sampai ke tempat wudhu, langkahku tertahan. Ibu tua yang sering ku sebut sebagai ibu kucing tampak sedang mencari sesuatu di balik rumput-rumput. “Cari apa, Bu?” tanyaku dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, aku pikir ada kucing yang menggondol nasi bungkusnya. “Ooh, itu, tadi ada anak-anak yang mau mengambil kucing. Kucingnya bersih,” jawab sang ibu sambil mengarahkan tatapan matanya pada seekor kucing belang tiga yang tampak sedang mengendap-endap di rumput dekat kebun Bioter.
Tampaknya ibu tersebut telah memiliki ikatan yang kuat dengan kucing-kucing yang sering menemaninya itu. Ikatan yang mampu menggerakkan badannya yang sudah termakan usia, menyusuri rumput-rumput dan melewati pagar batu yang membatasi jalan setapak dengan rerumputan. Hubungan itu juga yang tampaknya menyebabkan ibu itu menolak tawaranku untuk mengejar kucing yang tengah diburunya.
Aku masih sering terkagum-kagum dengan kejadian-kejadian yang kutemui. Ada banyak orang yang kupikir kehidupannya jauh lebih susah namun memiliki hati yang tampaknya tak habis-habis menebarkan kasih. Senyum yang selalu tersungging meski harus menghadapi beban yang sangat berat. Seperti saat aku tengah menyebrang jalan menaiki si Sho, seorang bapak dengan gerobak sampah yang cukup penuh tampak tergopoh mendorong gerobaknya. Belum sampai di ujung jalan, lampu lalulintas telah berubah menjadi hijau. Sambil menengok kiri-kanan wajahnya menyiratkan punten. Sambil menurunkan kecepatan, aku tersenyum, yang dibalas anggukan dan senyum dari bapak itu.
Aku tak habis pikir bagaimana bapak itu masih bisa tersenyum. Seorang temanku pernah berkata, “Kebahagiaan tak mengenal kasta.” Tapi tetap saja menemui orang-orang yang tak hentinya memancarkan harapan di tengah himpitan hidup merupakan sebuah keajaiban tersendiri. Sebuah perasaan hangat ditengah berita-berita kriminal serta sosial politik yang penuh berisi kebusukan.
Hal yang tak hentinya membuatku takjub adalah orang-orang tersebut tampak lebih fasih dalam hal memberi. Bukan dalam hal materi tentu saja, melainkan mengenai arti sebuah keikhlasan. Dalam buku The City of Joy yang diambil dari pengalaman hidup orang-orang di Calcutta, keikhlasan itu tampak begitu dalam. Mungkin yang melintas dalam benak ketika mendengar kata ikhlas adalah keadaan menyerah. Tapi dugaan itu sama sekali salah. Di tengah keadaan “sudah jatuh tertimpa tangga” mereka tak pernah kehilangan harapan untuk berjuang dengan memeras keringat.
Pekerjaan-pekerjaan yang nyaris mustahil seperti menarik angkong(semacam becak yang ditarik dengan menggunakan tenaga manusia. Hal yang paling sulit dari menarik angkong adalah ketika harus berhenti, karena saat itu beban angkong ditambah penumpang bertumpu pada pundak si penarik angkong) tetap dijalani. Meski banyak orang yang mati kelelahan, namun resiko itu masih jauh lebih baik daripada diam meratapi nasib. Di sela segala hiruk pikuk tersebut mereka tak pernah lupa untuk bersyukur dan berdoa.
Bagiku hidup demikian ajaib. Meski aku harus mengakui membaca kondisi seperti itu bukan hal yang menyenangkan. Untuk menghabiskan 799 halaman buku tersebut misalnya, aku membutuhkan waktu satu bulan lebih. Atau ketika aku dihadapkan pada berita-berita yang disajikan dengan gaya feature mengenai kehidupan masyarakat pinggiran, aku langsung merasakan sebuah kepedihan yang dalam. Tahu dan diam merupakan sebuah kombinasi yang sangat tidak mengenakkan.
Aku kadang berpikir harus menutup mata dulu untuk sesaat. Tapi untung saja hidup ini tidak linier, kala aku tengah gundah biasanya ada kejutan kecil yang mampu membuatku kembali semangat. Memang agak parah kalau motivasi berasal dari luar, tapi kupikir ini sudah menjadi bagian dari sejarah manusia. Bahkan untuk yang sekaliber Fir’aun sekalipun, ia masih memerlukan pedang terhunus untuk memaksa orang-orang menyembah dirinya. Pengakuan yang dipaksakan? Pernyataan bahwa ia sebenarnya sadar bahwa dirinya tak layak disembah dan karenanya ia menggunakan kekerasaan?
Beberapa sms yang sering datang tak terduga kembali menyadarkanku akan beberapa hal, dan kupikir inilah yang disebut dengan providentia Dei. Karena semua berjalan atas sunatullah-Nya, dan orang-orang yang ada disekelilingku merupakan salah satu wujud kasih-Nya padaku...
Mungkin itulah rahasia senyum dari orang-orang yang kutemui, karena ketika engkau mencintai-Nya, Ia akan mencintaimu lebih...
1 comment:
hanya orang yang menderita yang mendapatkan "pencerahan" kenapa harus ada semadhi untuk dapat nirwana, kenapa harus ada puasa untuk menjadi fithrah, semua itu hanya untuk sebuah pencerahan, pencerahan tak kenal aroma duniawi, pencerahan adalah sesuatu yang langka, kuda_aced
Post a Comment