Monday, September 26, 2005

Zona Mabuk Informasi

“Tidak tahu kadang lebih baik. Buat apa juga tau artis mana mau cerai, dan siapa yang lagi selingkuh,” ujarku ketika sedang ngobrol mengenai kondisi tau dan tidak tahu.

“Ngga gitulah. Bisa aja kan informasi tersebut digunakan untuk bahan pembicaraan ringan dengan saudara atau tetangga,” sanggahnya.

“Huahaha.. kata-kata kamu tadi persis seperti yang dibilang ama presenter acara infotainment.”

“Bukannya begitu, memang ada informasi yang terlihat tidak penting. Tapi tetap saja, kondisi tahu derajatnya lebih tinggi daripada tidak tahu.”

“Wah, kalau begitu buat apa ada sensor. Contohnya anak kecil, ada beberapa tayangan yang memang belum pantas ditonton untuk kisaran usia tertentu, karena secara psikologis mereka belum siap. Sama saja dengan infotainment yang punya potensi untuk meracuni massa karena rendahnya tingkat pendidikan.”

Pembicaraan yang cukup seru itu akhirnya tidak menghasilkan kata sepakat. Saat aku bertemu lagi dengan temanku itu dia bilang, kondisi lebih tahu tetap lebih mulia. Namun ada yang disebut dengan hierarki kebutuhan informasi, sehingga ada untuk kasus infotainment misalnya, berita yang disampaikan bisa menjadi kurang penting jika dibandingkan dengan informasi-informasi lainnya. Mungkin lebih tepat lagi, kalau disebutkan bahwa ilmu mengenai prioritas bahkan menjadi lebih penting dari informasinya sendiri.

Saat ini aku juga tengah kebanjiran informasi. Bukan karena gosip para artis tentu saja, tapi mengenai bahan TA-ku yang banyak banget. Untuk mengerti mengenai sebuah konsep saja, aku menggunakan referensi sampai lima buku. Alhasil bukannya dapat pencerahan, aku malah bingung berat. Parahnya lagi, semua buku itu menarik. Kebayang kan, tugas mencari masalah dari tema besar shock wave dan entropi benar-benar menjadi masalah, karena bahan bacaanku yang divergen abis.

Baca konsep entropi dari berbagai referensi memang membuka mataku. Tapi karena dalam tiap buku itu pembahasannya kemana-mana, dimana masing-masing bagiannya menarik, aku jadi kehilangan fokus. Dan yang membuat segalanya makin kacau adalah tiap buku biasanya berkaitan dengan buku lain. Jadi aku seperti detektif yang mencari petunjuk dari buku ke buku. Sisi positifnya adalah aku jadi bisa menikmati membaca textbook dengan rumus-rumusnya yang seperti teka-teki. Bagian konyolnya, dosenku ampe ketawa ngeliat aku kebingungan dengan bahan yang super banyak.

Kata dosenku, mengerjakan TA memang seperti itu. Seperti masuk hutan dan ngga punya petunjuk apapun. Baru lama kelamaan bisa familier dan mulai mencari jalan keluar. Aku sih senang-senang aja masuk hutan dan bermain-main dengan segala hal yang ada di sana, seperti saat aku membaca dari buku ke buku. Masalahnya aku juga dikejar waktu(payah juga nih, baru nyadar kalau matematika itu asyik di tingkat 4 ronde 2). Akhirnya aku diminta fokus aja ke satu buku. Karena waktu itu yang aku bawa Smoller, kata dosenku coba aja memahami bagaimana menemukan ketunggalan solusi pada kondisi entropi.

Pas liat bagian yang ditunjuk, aku sempat shock, abis makhluk-makhluknya aneh banget. Ada tanda infinite didepan bagian norm-lah, integral, indeks yang banyak banget, dan berlembar-lembar lemma yang jadi alat untuk membuktikan satu buah teorema. Untung bapaknya bilang kalau pendekatannya pakai skema beda-hingga dan teorema nilai rata-rata. Rumus yang tadinya terlihat rumit banget jadi terlihat sedikit lebih sederhana(sama seperti ketika kita melihat sebuah gambar perempuan tua dan perempuan muda. Saat ditanya siapa yang melihat gambar perempuan muda, sebagian anak mengacungkan jari, dan begitu juga ketika ditanya siapa yang melihat perempuan tua, sebagian yang lain mengacungkan jari. Keadaan tersebut akan berbeda seandainya, pertanyaan yang diajukan pertama kali adalah, apakah kalian melihat perempuan tua? Kita akan langsung mengarahkan pikiran kita untuk mencari sosok perempuan tua, sehingga kalau ditanya siapa yang melihat perempuan muda, jumlah yang mengacungkan jari akan berkurang. Begitu pula dalam melihat suatu hal yang abstrak. Mulanya kita akan bingung, namun saat kita diberi petunjuk/frame untuk membingkai konsep abstrak tersebut, pikiran kita akan mulai mengasosiasikannya dengan sesuatu yang familier di otak kita, sehingga konsep abstrak tersebut menjadi lebih jelas).

Nah, waktu aku udah lega karena fokus masalahnya udah jelas, ternyata zona mabuk informasinya belum berakhir. Ketika aku menyusuri jalan pembuktian teorema, aku menemukan banyak konsep yang berkaitan dengan buku-buku lain lagi. Jadi setengah dibantu dosen, setengahnya lagi aku kembali masuk-keluar buku. Dan lagi-lagi aku terjebak pada buku-buku lain. Wah, kayanya cara belajarku rada kacau. Misalkan seperti ini, aku mencari informasi yang bisa menjelaskan kenapa aku membuktikan ketunggalan solusi entropi menggunakan skema beda hingga Lax-Friedrichs. Kata pembimbing, informasinya ada di Leveque. Pas aku baca Leveque, ternyata nyambung lagi ama buku Bartle(Real Analysis). Trus kapan aku balik ke buku Smoller ya?

Kalau menggunakan hierarki informasi, tingkat pertama ditempati oleh himpunan informasi yang ada di Smoller, himpunan kedua Leveque, ketiga Bartle, dan mungkin selanjutnya ditempati oleh Strauss, Knobel dll. Hua.. bingung. Akhirnya aku malah corat-coret untuk blog. Hehehe... makin ngga puguh.

4 comments:

za said...

Awalnya sudah bagus. Ternyata, bisa juga Yuti buka-buka buku Matematika. Kirain, tangannya kebakar kalau pas ngebalik halaman buku Matematika :D Rajin juga kamu Ti, cari referensi sampai 5 buku. Sayang, akhirnya gak puguh.

Tetep optimis selesai Maret Ti?

Anonymous said...

salam...

lu musti banyak bersyukur ti...

pertama, lu bisa kuliah,
ke dua, lu kuliah di bandung,
[itb ya? sekolah favoritku seandainya aku bisa sekola]
ketiga, lu bisa baca gitu banyak buku2 ajaib,

gak semua orang bisa ada di posisi seperti itu,

nikmat yang sedang kita nikmati, emang kadang malah kita lupa utk syukuri

dei

za said...

Oh iya Ti. Kalau bagiku Zona Mabuk Informasi adalah keinginan ku yang pengen banget tahu banyak hal. Tapi terus sadar waktu terbatas, jadinya tahunya banyak tapi gak mendalam deh.

Gimana yah? (sambil garuk2 kepala)

Cheshire cat said...

Ternyata informasi itu bisa juga menjadi candu. Tiap memperoleh sedikit, aku menginginkan lebih. Maksudnya biar memperoleh pandangan secara holistik, tapi akibatnya malah jadi bingung.

Aku menikmatinya koq, kan ada dosen pembimbing, hehehe...

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...