Thursday, April 27, 2006

Seminar

Akhirnya tiba juga di penghujung status mahasiswa
Meski masih harus menunggu bulan Juli tiba


Sipirili... besok seminar. Tadi abis ngotak-ngatik presentasi lagi yang kemarin udah di approve. Dan baru nyadar bahwa bahasa TeX mirip dengan bahasa untuk ngerubah template blog. Jadi bukannya baca-baca lagi, aku malah asyik ngerubah template biar besok ngga usah banyak nulis di papan tulis.

Biasanya aku tegang. Kemarin sampai bikin dua hipotesis. Yang pertama, saraf takutku lagi eror, makanya tenang banget. Hipotesis kedua, aku memang udah siap. Ya... aku sih pro ke hipotesis kedua aja.

Buat yang kebetulan baca, mohon doanya aja ya...
Makasih berat

Monday, April 24, 2006

Rain, Art, Chaos and Happy

You Are Rain

You can be warm and sexy. Or cold and unwelcoming.
Either way, you slowly bring out the beauty around you.

You are best known for: your touch

Your dominant state: changing


You Should Get a MFA (Masters of Fine Arts)

You're a blooming artistic talent, even if you aren't quite convinced.
You'd make an incredible artist, photographer, or film maker.


Your Brain's Pattern

Your mind is a creative hotbed of artistic talent.
You're always making pictures in your mind, especially when you're bored.
You are easily inspired to think colorful, interesting thoughts.
And although it may be hard to express these thoughts, it won't always be.


You Are 72% Happy

You are a very happy person. Generally, you feel content and that all is right with the world.
Occasionally, you have a down day - but you have the ability to pick yourself right back up.


How You Life Your Life

You are honest and direct. You tell it like it is.
You tend to avoid confrontation and stay away from sticky situations.
You tend to have one best friend you hang with, as opposed to many aquaintences.
You tend to dream big, but you worry that your dreams aren't attainable.

Einstein

"The important thing is not to stop questioning. Curiosity has its own reason for existing. One cannot help but be in awe when he contemplates the mysteries of eternity, of life, of the marvelous structure of reality. It is enough if one tries merely to comprehend a little of this mystery every day."

(Einstein quotes taken from www.pbs.org)

Thursday, April 20, 2006

Sebuah Coretan+Pesan Sponsor

Salah satu kebiasaan yang aku ngga tau positif atau negatif, adalah mencari namaku sendiri di Google. Awalnya sekadar ingin tahu se'pasaran' apa namaku, tapi belakangan aku menggunakannya untuk melihat karya-karyaku yang ada di jagat maya, dan sekarang mungkin, karena sudah menjadi kebiasaan. Apalagi dokumentasiku parah banget, alhasil jadi seneng juga membaca tulisan-tulisan yang kulakukan di waktu yang lalu dan tak pernah tersimpan di PC.

Karena nanti sore aku harus membedah buku Mimpi-mimpi Einstein, tadi malam aku baca ulang lagi buku itu. Dan kadang aku mengartikan hidupku dalam sebuah wilayah diskrit. Tak peduli apa yang kulakukan di waktu lalu, yang penting dalam tiap keadaan aku harus memberikan yang terbaik. Hidup yang terfragmen dalam diskrit membuat hidup ajaib. Karena pengalaman senantiasa hadir dengan caranya yang istimewa dan tak tergantikan.

Udah sering di protes sih, kaya kalo bimbingan dosenku ampe ngeliatin aku nyatet atau ngga. Hehe, soalnya kalau merasa paham, aku jadi agak malas menuliskannya, padahal dirumah suka lupa. Aku senang dengan kerapihan, hmm... mungkin diksinya kurang tepat, aku hanya bisa konsentrasi ke pelajaran kalau meja belajarku rapih. Namun keadaan tersebut membuka peluang berantakan disaat aku hanya tengah bersantai.

O iya, nitip pesan sponsor ah. Kemarin aku sempat chatting dengan seorang teman yang senang pemrograman. Selang menjelang wisuda, aku mencari permainan yang asyik, setelah berkutat dalam buku-buku chaos dan kompleksitas yang menarik dari segi filosofis namun bikin dahi berkerut dari sudut persamaan matematis(mode anak math:OFF), akhirnya aku memutuskan untuk belajar pemrograman saja. Meski sempat diketawain karena belajar buat mainan, dan ngga punya tujuan yang jelas tapi tampaknya cukup asyik. Jadi bagi yang punya saran untuk mulai dari buku apa atau malah mau memberi pinjaman, aku akan sangat senang:) :)

NB: Gambaran yang kemarin aku dapat sih, mulai dari matlab, trus nyambung ke C dan C++

Demi Waktu

Ada satu tempat di mana waktu berhenti. Tetesan air hujan menggelantung kaku di udara. Bandul jam beku separuh ayunan... Ketika seorang kelana mendekati tempat ini dari arah mana pun gerakannya semakin lambat. [Mimpi-Mimpi Einstein, Alan Lightman]

Apakah waktu itu? Manusia mengidentifikasikannya dengan jarum jam yang berjalan detik demi detik, atau angka-angka yang bergerak mengikuti perbandingan atom cesium. Namun sebelum definisi dipaksakan dalam sebuah satuan, waktu telah mulai berjalan. Bunga dengan daur kuncup, kembang, serta layu, pohon-pohon dengan ritme semi-gugur, serta mentari dan bulan yang datang silih berganti. Lalu apakah waktu itu? Sekat yang mengantarkan pergantian tanggal di kalender, tanda yang mengantarkan seorang ayah kembali ke rumah setelah melewati angka tertentu di jam dinding kantor, anak-anak berangkat sekolah, atau keadaannya tak pernah bergantung pada aktivitas yang mewarnai apa yang disebut dengan hari?

Dalam buku yang berisi 30 dongeng mengenai waktu, Lightman menyulap kemungkinan teori mengenai waktu menjadi kisah-kisah filosofis. Waktu yang melingkar mungkin tak pernah kita bayangkan. Namun melihat bahwa dalam kehidupan ada yang tak berubah, kita tetap bisa menemukan fragmen-fragmen kehidupan yang terulang. Rasa sedih, iri, marah, serta cinta menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Karena itu, sejarah tak pernah menghadirkan dirinya sebagai sebuah kisah usang, melainkan ia ada untuk digali dan dimodelkan hingga masa depan dapat diprediksi.

Akhirnya waktu tak pernah hadir sendiri. Ia ditemani oleh ruang yang menjadikannya berarti. Apalagi waktu dituduh subjektif karena dipengaruhi oleh pengamat, kedudukannya sebagai sebuah ukuran mutlak digantikan oleh kecepatan cahaya. Lalu ketika kita mengatakan telah menghabiskan sekian jam untuk membaca buku, menulis maupun berdiskusi, apa yang tengah kita bicarakan? Sebuah proses fisik yang akan membuat seseorang dari tak paham menjadi paham, atau segalanya menjadi relatif?

Saya pribadi akan menjawab relatif. Pemahaman seseorang tidak bisa dibakukan dalam ukuran jam. Seperti ketika seseorang tengah jatuh cinta, waktu bisa melambat begitu rupa. Fragmen kehidupan yang biasanya terlewatkan begitu saja mendadak menjadi istimewa. Rintik hujan yang jatuh perlahan, cahaya mentari yang mengintip di sela-sela dedaunan, pohon-pohon yang entah kenapa tampak begitu teduh menenangkan. Kehidupan yang biasa dilewati hanya demi menamatkan hari, tiba-tiba merupa dalam beragam warna.

Lalu apakah waktu itu? Mengapa dimensi manusia-manusia yang tengah jatuh cinta bisa tampak begitu berbeda? Jawabannya relatif, karena waktu bisa menjadikan seorang bijak maupun sebaliknya. Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.(QS Al-‘Ashr 103:1-3)

[made for ruku Aksara: Mimpi-mimpi Einstein]

Wednesday, April 12, 2006

Faust

Huaaa....., semoga aku ngga menjadi seperti Faust yang menjual jiwanya untuk ditukar dengan ilmu pengetahuan. Gara-gara udah kelamaan ngga terikat oleh kurikulum, bacaanku jadi divergen banget. Udah gitu, buku A Beautifull Mind mengisahkan banyak orang-orang 'lucu' di bidang matematika, aku jadi semangat untuk tau wilayah-wilayah yang tadinya angker. Masuk ke wilayah analisis aja, by accident koq. Tapi sekarang semuanya jadi menarik, meski kemarin saat bimbingan ada beberapa hal yang aku kira udah bener ternyata masih menyimpan galat.

Serupa semi
Kala udara menjelma menjadi wangi bunga
Langit biru cerah memayungi sukma
Dunia merupa dalam jingga
Kesadaran menyergap begitu rupa
Hingga kata jadi tiada makna
Hanyut dalam lantunan semesta
Simfoni maha dahsyat Sang Maha
dalam sebuah syair Cinta

Wednesday, April 05, 2006

Hujan Bulan April

Hujan kembali menyapa
Kangen, ujarnya
Lewat tarian air yang tersapu angin
Ia berkata betapa dingin

Aku terkejut
Mungkin banyak hal telah luput
Hingga aku lupa akan sang hujan
Ia juga sering kesepian

Tuesday, April 04, 2006

Flaneur

“Pengelana sendirian: aku tak pernah menjadi milik negeriku, rumahku, teman-temanku, atau bahkan kerabat dan keluarga dekatku, dengan sepenuh hatiku… aku tidak pernah merasa lepas dari rasa keterasingan dan keinginan untuk menyendiri.” [Einstein, What I Believe, 1930]

Tampaknya kesendirian telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia. Dalam teori-teori sosial, kesendirian hadir dalam kata alienasi, keterasingan manusia akan dirinya sendiri. Kajian alienasi ini banyak menggunakan perspektif Marxisme, alat-alat produksi yang dalam bentuk modernnya mewujud dalam teknologi telah menyebabkan manusia terasing dari kemanusiaanya. Perputaran peradaban menyebabkan kehidupan berjalan dengan cepat. Efektif dan efisiensi menjadi kata kunci, dan sang waktu yang berjalan searah, hanya dapat menyaksikan dalam diam. Sejak popularitas relativitas mengemuka, waktu kehilangan kuasa. Kedudukannya terenggut oleh kecepatan cahaya yang menjadi patokan mutlak. Waktu hanya menjadi berarti jika dikaitkan dengan ruang. Semua menjadi gamang.

Dalam waktu tiga minggu ini, kepalaku relatif tak memiliki beban pikiran. Akibatnya ia lari kesana kemari, mencari sebuah tema yang dapat membuatnya bekerja. Buku-buku fiksi yang biasa menjadi penyeimbang dibalik timbunan buku teks untuk menyelesaikan skripsi menjadi tak menarik. Tak ada tantangan, dan mungkin terlalu sederhana sehingga mudah ditebak. Akhirnya aku kembali pada kajian-kajian yang acapkali dikategorikan berat. Namun lagi-lagi, aku tak begitu peduli, bukankah penilaian akan sesuatu senantiasa bersifat subjektif dan karenanya aku bisa memilih komunitas yang menilainya biasa atau sebaliknya? Dan tibalah aku pada sebuah buku, lembaran-lembaran yang kuhabiskan dengan helaan nafas dan banyak jeda.

Aku bisa dengan segera menutupnya, menggantinya dengan lembaran-lembaran lain yang tingkatannya mungkin hanya sebatas informasi, hingga tak perlu ada pergulatan yang mengaitkan batin, tapi bukankah segala memiliki dua sisi, dibalik berat ada sebuah tantangan yang menjadikannya layak untuk disimak? Seperti kata-kata Goenawan Mohamad dalam buku Kebudayaan Sosialis, “Sosialis itu seksi.” Aku tak melihat kata-kata itu secara ideologis, melainkan larangan yang menyertai pembacaan teks-teks tersebut terkait dengan UU No. XX tahun 1966. Senantiasa ada godaan yang menyertai larangan.

Untuk kali ini, aku membacanya bukan dengan alasan itu. Memang adakalanya aku menggunakan kata agar ada kesan canggih. Sebuah bentuk pemitosan tingkat tinggi dimana pembentukkan citra(image) tak lagi dilakukan turun temurun dari para tetua desa namun telah digantikan posisi oleh iklan-iklan, tokoh idola, dan juga para penguasa teknologi yang telah menggantikan posisi para pemuka agama di masa lampau. Zaman telah berganti, iklan dengan gayanya yang lugu dan terkesan tidak menggurui telah menancapkan pengaruhya di ruang-ruang keluarga, menyisakan sebuah citra mengenai gambaran ideal ala Plato yang bisa didekati oleh krim pemutih, conditioner, hingga handphone dengan standar tertentu. Tak ketinggalan tokoh-tokoh idola dengan kehidupan bak Cinderella, dan para penguasa teknologi yang memiliki juru bicara yang berkata layaknya penyelamat dunia.

Para penonton hanya terkesima menyaksikan segala kehidupan tak nyata tersebut. “Mungkin memang tak akan pernah sama, namun setidaknya mendekati,” begitu pikir mereka. Lagipula bukankah sekarang zaman komputerisasi dimana segala bentuk kekontinuan didiskritkan sedemikian rupa dengan selisih yang kian lama diharapkan mendekati nol? Semuanya hanya pendekatan, dengan perlombaan selisih: mana yang terkecil.

Aku? Hanya seorang flaneur(pengembara dalam bahasanya Baudelaire), yang mencoba menjawab pertanyaan dengan mengembara. Lewat teks ataupun kejadian-kejadian yang terjadi. Dari buku Agama Einstein, aku menangkap semangat panteistik Spinoza. Sebuah pandangan yang menyatakan spiritualitas adalah alam itu sendiri. Pada sebuah bagian, dikatakan bahwa panteistik dikatakan mirip pandangan atheis. Dalam buku Harun Yahya, evolusi seringkali diserang dari pandangan probabilitas. Sangat kecil peluang alam mewujud dalam bentuknya yang seperti sekarang jika tak ada campur tangan dari Sang Maha. Analogi yang cukup populer adalah keharusan kehadiran Sang Pembuat Jam bagi sebuah jam semesta. Yang aku tangkap dari pandangan Spinoza adalah alam(termasuk didalamnya manusia) memiliki suatu keadaan dasar(yang disebut spiritualitas) yang mengarah pada sebuah aturan/etika.

Etika inilah yang mengantarkan perasaan tenang atau sebuah ‘spiritualitas’ ketika seseorang melihat alam atau mendengarkan sebuah simfoni. Dalam pengamatan lebih lanjut, alam hadir dalam keteraturan yang menakjubkan. Spiral pada bunga daisy misalnya, mengikuti deret Fibonaci. Contoh lain adalah kuil Parthenon atau cangkang Nautilus yang mengikuti kaedah perbandingan emas(golden ratio). Dalam bidang musik, simfoni Mozart dapat dijelaskan dengan kacamata matematika. Rasa keindahan dan ketenangan ketika melihat alam ataupun mendengarkan musik dalam kacamata deterministik, menjadi sangat rasional.

Pertanyaannya kemudian, dimanakah letak agama formal? Dalam sebuah diskusi filsafat, aku pernah bertanya apakah mungkin seorang pencari dapat menemukan Tuhan, dan lebih jauh lagi melakukan apa yang ada dalam sebuah agama formal? Jawaban atas pertanyaanku adalah bisa. Narasumber mengisahkan ada seorang filosof yang tinggal di sebuah pulai terpencil yang melakukan shalat dlsb dari hasil pencariannya. Namun, karena yang teringat dalam kepalaku hanya jawaban singkat tersebut, aku tidak dapat menggunakan informasi tersebut lebih jauh lagi.

Bagiku pribadi, agama merupakan sebuah wilayah privat. Aku tidak yakin pemahamanku akan agama sama dengan orang lain, meski kami memiliki agama yang sama, begitupula hubunganku dengan Sang Khalik. Seorang teman mengatakan agama formal berfungsi untuk mengantarkan manusia pada sebuah jalan singkat. Ada berbagai alasan yang sebenarnya bisa aku gunakan untuk meyakinkan orang, dan mungkin kugunakan jika sedang berdiskusi, namun alasan yang aku gunakan untuk diriku pribadi sangat personal: aku mencintai cara-Nya, mencintaiku.

Dengan menggunakan kacamata Marx, bisa saja seseorang mengatakakan kehangatan yang aku rasakan dalam menunaikan perintahnya merupakan hasil dari konstruksi sosial. Perasaan itu muncul sebagai reaksi dari ‘moral ketakutan’(sebagai akibat dari adanya pahala-dosa dalam pandangan agama). Aku bisa saja berkeras, pandangankulah yang benar dengan segala dalil-dalil yang aku ketahui, bahwa rasa tenang yang aku rasakan muncul akibat kedekatanku dengan-Nya, sebagaimana orang bisa berkata hal yang sebaliknya dengan dasar yang ia miliki, dan akhirnya tak akan ada kata sepakat.

Hmm… it’s complicated. Kalau aku ingat-ingat, pengembaraanku mirip pita mobius. Dari filsafat, aku berkelana ke ranah praksis, kemudian kembali ke teori-teori postmo-nya orang-orang sosial, kemudian beralih ke filsafat orang-orang sains, dan kembali pada pertanyaan-pertanyaan esensial. Miss my text book very much…

Monday, April 03, 2006

Entrope

Dua minggu di rumah benar-benar waktu yang lama untuk merenung. Meski oleh dosen aku disarankan untuk tidak menyentuh hal-hal yang berkaitan dengan tugas akhir, lama-lama aku tidak tahan juga. Baru tiga hari, aku sudah asyik membuka-buka jurnal yang tersimpan dalam bentuk file. Setidaknya aku tidak menyentuh text book. Dilanjutkan dengan melahap ensiklopedi sains yang ada di rumah. Ketika aku membaca mengenai waktu, ternyata aku bertemu lagi dengan entropi.

Hukum kedua termodinamika menyatakan elemen dalam sistem tertutup akan terus menerus mencari cara berdistribusi yang memungkinkan; dalam sistem tertutup entropi selalu meningkat. Entropi sendiri berasal dari bahasa Yunani, entrope yang berarti berubah. Dari definisi yang aku peroleh dari wikipedia, entropi berarti derajat ketidakteraturan dari sebuah sistem. Artinya, dalam sebuah sistem tertutup, sistem akan mengarah pada ketidakteraturaan, seiring dengan meningkatnya entropi.

Dari buku Waktu keluaran pustaka Life yang aku baca, tubuh manusia yang merupakan sebuah sistem tertutup dengan entropi yang terus meningkat. Pertumbuhan manusia memang mengakibatkan entropi menurun, namun penghancuran makanan atau ‘disorganiasi’ struktur kimiawi makanan yang dimakanannya mengakibatkan peningkatan entropi sehingga secara keseluruhan tubuh manusia mengalami pertambahan entropi. Begitupula saat kita memandang sebuah sistem yang lebih besar seperti alam semesta.

Apakah alam semesta mempunyai akhir?(serupa untuk pertanyaan, apakah semesta memiliki awal?) Boltzmann(ahli fisika Austria) pernah menggambarkan akhir alam semesta sebagai keadaan setelah entropi maksimum tercapai oleh alam semsta secara keseluruhan. Pada saat kondisi maksimum itu terjadi, tak ada lagi perubahan. Dalam buku itu disebutkan bintang-bintang telah menghabiskan energinya, perputaran bumi dan planet-planet lain menjadi lambat karena pengaruh gesekan dengan debu dan gas kosmik.

Mungkin begitu pula saat manusia mengalami mengalami kematian, entropinya sudah maksimum. Kemiripan manusia dan semesta juga tampak dari masa lalu semesta yang memiliki ruang kosong yang dalam tubuh manusia dikenal dengan nama microtubul. Lebih jauh lagi, seperti manusia yang mengalami pertumbuhan, semesta pun mengalami pengembangan yang dipercepat. Percepatan ini diakibatkan adanya dark energy(kata dark sepertinya diasosiasikan dengan misteri, seperti dark matter yang menyusun 90% massa alam semesta namun belum jelas susunannya).

Dalam konteks tugas akhirku, kondisi entropi digunakan untuk memperoleh solusi yang berkorespondensi dengan keadaan fisis. Jika hal ini dikaitkan dengan hukum termodinamika yang kedua, maka peningkatan entropi berarti kondisi fisis memiliki keadaan yang tunggal dan ireversibel(tidak dapat kembali). Yang menjadikan bahan bacaanku dengan TA menjadi sedikit tidak nyambung adalah kondisi entropi yang aku miliki hanya dinotasikan dalam sebuah pertidaksamaan. Pertidaksamaan ini dibatasi oleh sebuah konstanta yang berbanding terbalik dengan waktu. Dalam pembuktian matematis yang aku lakukan, pertidaksamaan ini berarti banyak, namun dalam artian yang agak filosofis, seperti meningkatnya derajat ketidakteraturaan, aku sama sekali tidak memiliki gambaran.

Dari jurnal Oleinik, yang aku tangkap, peningkatan entropi dilambangkan dengan tanda lebih besar(mungkin di buku Smoller, hal inilah yang menyebabkan fluksnya konvek). Namun untuk membayangkan apa yang terjadi pada kondisi fisisnya, aku masih rada bingung. Hmm... coba kalau aku kaji dari definisi dan sejarah. Sekitar tahun 1850 Lord Kevin, Carnot dan Clausius mempelajari pertukaran energi panas dalam mesin menunjukkan bahwa terdapat hierarki diantara variasi bentuk energi dan ketidakseimbangan dalam transformasinya. Hierarki dan ketidakseimbangan ini merupakan landasan dari prinsip termodinamika yang kedua.

Kenyataannya, bahan fisis, bahan kimia serta energi elektrik bisa diubah sepenuhnya menjadi panas. Namun pembalikannya(panas menjadi energi fisis, misalnya) tidak bisa sepenuhnya dilakukan tanpa bantuan dari luar atau tanpa kehilangan energi yang digunakan untuk proses pembalikkan. Hal ini tidak berarti energi musnah; hal ini berarti ‘pembalikan’ tersebut tidak tersedia untuk menghasilkan kerja. Peningkatan yang tidak dapat diubah(/dibalik) dari energi yang tidak dapat dibuang dari semesta diukur dengan dimensi abstrak yang oleh Clasius pada tahun 1865 disebut entropi.

Konsep entropi sendiri sebenarnya abstrak, sehingga para ilmuwan hanya dapat mengamati fenomena yang ditimbulkannya, seperti dari ketidakteraturan, efisiensi. Namun bagaimana penurunan energi, hierarki atau proses degradasi tersebut dapat merepresentasikan keadaan sesungguhnya?

Ada yang bilang bahwa panas dan energi merupakan dua dimensi dari ruang yang sama; sedangkan yang lain berpendapat mereka tidak berasal dari ruang yang sama, energi potensial berdegradasi irreversibel pada tingkatan inferior dibandingkan dengan panas. Teori statistik menyajikan jawabannya. Panas merupakan energi; ia merupakan energi kinetik yang dihasilkan dari pergerakan molekul dalam gas atau getaran atom pada zat padat. Dalam bentuk panas, energi tereduksi dalam keadaan ketidakteraturan maksimum dimana tiap pergerakan molekul/atom ternetralisasi oleh hukum statistik.

Nah, dari definisi dan sejarah tersebut, aku menangkap entropi yang aku gunakan berkaitan dengan masalah ireversibilitas. Kata entropi sendiri berkaitan dengan molekul/atom pada bidang gas dinamik ataupun zat padat, yang dalam penerapannya di bidang matematika(hehe jadi kebalik, keadaan fisis merupakan keadaan abstrak, dan notasi matematika merupakan ranah terapan) dilambangkan dalam bentuk pertidaksamaan.

Dari buku aoerodinamik yang aku baca, gelombang kejut dapat ditemui pada aliran supersonic dengan sedikit gangguan dari parallel stream, dan dengan demikian mengarah pada kecepatan kontinu dan tekanan. Studi mengenai hubungan gas sebelum dan sesudah shock wave, pertama kali ditelaah oleh Riemann, yang kemudian dimatangkan konsep oleh Rankine-Hugoniot yang menyebutkan: kandungan total energi(enthalpy) tidak berubah, sedangkan entropy senantiasa meningkat.

Berdasarkan teori linierisasi Ackeret(?), pembelokan aliran dengan sudut konkaf menghasilkan peningkatan tekanan, sedangkan pembelokkan dengan sudut konvek menyebabkan penurunan tekanan. Aku belum yakin konvek disini sama ngga dengan konvek yang ada pada fluks. Hmm, tampaknya aku masih butuh banyak membaca....

35 Jam di Yogya

Aaargh! Tampaknya belakangan ini, tulisanku lebih diwarnai oleh konsep. Seperti minggu lalu, ketika hendak membuat reportase sebuah acara, aku membutuhkan waktu cukup lama. Keadaan ini mengindikasikan satu hal: aku harus lebih banyak bermain-main di lapangan, dan mengurangi waktu untuk tenggelam dalam dunia buku. Atau karena aku lebih senang membiarkan khayalku memainkan pengalaman-pengalaman yang masuk dalam folder bernama kenangan dalam benak?

Malam beranjak fajar, ketika aku bersiap-siap untuk berangkat ke Yogya. Sebuah perjalanan tak terencana yang mengemuka pada suatu sore satu minggu sebelumnya. Dengan keadaan masih setengah sadar karena tak dapat tidur nyenyak, aku melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Jam menunjukkan setengah empat, ketika aku dan ibu meninggalkan rumah. Perjalanan menuju bandara aku isi dengan menahan kantuk agar wudhu tetap terjaga. Alhasil, pemandangan kiri kanan aku jadikan latar pengembaraan pikiran-pikiranku yang mengembara melampaui kecepatan mobil yang berjalan pada kecepatan sedang.

Kehidupan belum beranjak sepenuhnya. Selain lampu-lampu jalan yang memberikan cahaya temaram, di jalan kami hanya berpapasan dengan truk-truk besar. Dalam waktu 45 menit, kami sudah sampai bandara. Keadaan masih lengang, hanya satu dua orang pengangkat barang bersiap siaga menanti mangsa di bagian kedatangan. Baju seragam mereka yang dihiasi nomor-nomor berwarna hitam di bagian belakang menjadi ciri mereka. Kesadaranku tampaknya sudah kembali sepenuhnya, meski ketika melewati metal detector aku lupa untuk mengeluarkan hp, sehingga alarmnya berbunyi. Hehehe, sekarang aku bisa yakin, kalau aku akan benar-benar bangun. Setelah membayar pajak, aku dan ibu mencari tempat menyambut waktu subuh.

Di mushola, sudah ada beberapa orang yang juga tengah menunggu. Aku biasa memberi penilaian mushola berdasarkan keadaan tempat wudhunya(apakah bagian perempuannya tertutup), kondisi mukena, luas, serta perlengkapan ibadahnya. Mushola yang aku singgahi kali ini cukup luas. Dengan sebuah pembatas kayu membagi wilayah perempuan dan laki-laki. Sebuah lemari besar berisi mukena dengan warna yang sudah menggelap pada bagian kepala, begitu pula keadaan sarung-sarungnya. Disampingnya terdapat sebuah lemari yang berisi kitab suci. Di dinding tampak peringatan mengenai larangan menyalakan hp. Aku rasa hal ini disebabkan banyaknya gangguan dering saat shalat berlangsung. Sayang, aku tidak sempat mengunjungi tempat wudhunya.

Usai shalat, kami langsung ke ruang tunggu dan dengan segera aku langsung terlelap. Ketika bangun, para penumpang diminta masuk ke dalam pesawat. Kata ibuku, salah satu keuntungan maskapai yang kunaiki sekarang adalah memiliki belalai. Jadi kami tidak perlu naik dan turun tangga di landasan pacu. Sesaat sebelum naik, aku bertemu dengan seseorang. Karena hanya melihatnya dari belakang, aku tidak yakin. Namun saat aku duduk, aku dapat melihatnya dengan jelas, ternyata memang benar orang itu adalah Catuy. Wah, dunia ini memang kecil.

Perjalanan berjalan singkat, nyaris sama dengan waktu yang kuperlukan untuk pergi ke bandara dari rumah. Keadaan bandara Adisucipto lumayan memberikan nuansa daerah, meski jika dibandingkan dengan stasiun kereta dimana ada ibu-ibu penjual gudeg di tengah malam mengenakan kain batik yang dililitkan dipinggul, dan kebaya, nuansanya jauh berbeda. Bandara meski diberi sentuhan etnik tetap memancarkan aura modern, berbeda dengan stasiun yang masih memberikan nuansa lampau. Orang-orang yang singgah pun bagaikan langit dan bumi, di bandara orang datang dengan koper-koper beroda dengan langkah-langkah lebar seolah waktu akan menelan siapa saja yang berani melambat, sedangkan keadaan di stasiun waktu mengalami perlambatan. Orang-orang dengan pakaian daerah yang mencoba mencari peruntungan, dengan berbekal nasi, senyum, dan kesabaran yang seolah bisa menerima banyak penolakan.

Dalam lamunanku yang tak pernah usai, kami menuju hotel dengan mobil yang telah datang menjemput. Penyambutan ala hotel yang berarti menandatangan sejumlah kertas, memberikan identitas, menjadi agenda pertama. Dikawal oleh petugas hotel kami menuju lantai enam. Kamar yang kutempati bersama ibu berukuran standar, dengan isi yang biasa pula. Pemandangan yang kutemukan dari balik jendela adalah pertokoan Malioboro yang hanya dipisahkan oleh jalan raya dengan lokasi hotel. Tak lama setelah aku melihat-lihat seluruh kamar, sebuah sms masuk. “Kalau udah sampai bilang ya.” Ah, tak ada yang berubah, masih dengan kehangatan yang sama. Tak lama kemudian sms lain menyapa, “I otw.” Yup, Yogya, here I come…

Saat aku mulai berkelana dibonceng Rini, hari masih cukup pagi. Jalan lengang, dan masih banyak tempat yang tutup. Dari beberapa pilihan, akhirnya kami memutuskan menuju Tamansari, tempat pemandian selir-selir Sultan. Keadaan disana masih sepi, tampaknya kami menjadi wisatawan pertama. Baru beberapa langkah, seorang bapak yang sudah sedikit berumur mendekati kami. Tampaknya ia guide penjaga komplek tersebut. Tanpa intro, perjalanan kami mengelilingi Tamansari, didampingi bapak itu yang menceritakan banyak kisah.

Baru 5 jam pertama(alias masih sepertujuh bagian) sih..., tapi kapan-kapan aja kalo lagi mood ngelanjutinnya :D

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...