“Pengelana sendirian: aku tak pernah menjadi milik negeriku, rumahku, teman-temanku, atau bahkan kerabat dan keluarga dekatku, dengan sepenuh hatiku… aku tidak pernah merasa lepas dari rasa keterasingan dan keinginan untuk menyendiri.” [Einstein, What I Believe, 1930]
Tampaknya kesendirian telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia. Dalam teori-teori sosial, kesendirian hadir dalam kata alienasi, keterasingan manusia akan dirinya sendiri. Kajian alienasi ini banyak menggunakan perspektif Marxisme, alat-alat produksi yang dalam bentuk modernnya mewujud dalam teknologi telah menyebabkan manusia terasing dari kemanusiaanya. Perputaran peradaban menyebabkan kehidupan berjalan dengan cepat. Efektif dan efisiensi menjadi kata kunci, dan sang waktu yang berjalan searah, hanya dapat menyaksikan dalam diam. Sejak popularitas relativitas mengemuka, waktu kehilangan kuasa. Kedudukannya terenggut oleh kecepatan cahaya yang menjadi patokan mutlak. Waktu hanya menjadi berarti jika dikaitkan dengan ruang. Semua menjadi gamang.
Dalam waktu tiga minggu ini, kepalaku relatif tak memiliki beban pikiran. Akibatnya ia lari kesana kemari, mencari sebuah tema yang dapat membuatnya bekerja. Buku-buku fiksi yang biasa menjadi penyeimbang dibalik timbunan buku teks untuk menyelesaikan skripsi menjadi tak menarik. Tak ada tantangan, dan mungkin terlalu sederhana sehingga mudah ditebak. Akhirnya aku kembali pada kajian-kajian yang acapkali dikategorikan berat. Namun lagi-lagi, aku tak begitu peduli, bukankah penilaian akan sesuatu senantiasa bersifat subjektif dan karenanya aku bisa memilih komunitas yang menilainya biasa atau sebaliknya? Dan tibalah aku pada sebuah buku, lembaran-lembaran yang kuhabiskan dengan helaan nafas dan banyak jeda.
Aku bisa dengan segera menutupnya, menggantinya dengan lembaran-lembaran lain yang tingkatannya mungkin hanya sebatas informasi, hingga tak perlu ada pergulatan yang mengaitkan batin, tapi bukankah segala memiliki dua sisi, dibalik berat ada sebuah tantangan yang menjadikannya layak untuk disimak? Seperti kata-kata Goenawan Mohamad dalam buku Kebudayaan Sosialis, “Sosialis itu seksi.” Aku tak melihat kata-kata itu secara ideologis, melainkan larangan yang menyertai pembacaan teks-teks tersebut terkait dengan UU No. XX tahun 1966. Senantiasa ada godaan yang menyertai larangan.
Untuk kali ini, aku membacanya bukan dengan alasan itu. Memang adakalanya aku menggunakan kata agar ada kesan canggih. Sebuah bentuk pemitosan tingkat tinggi dimana pembentukkan citra(image) tak lagi dilakukan turun temurun dari para tetua desa namun telah digantikan posisi oleh iklan-iklan, tokoh idola, dan juga para penguasa teknologi yang telah menggantikan posisi para pemuka agama di masa lampau. Zaman telah berganti, iklan dengan gayanya yang lugu dan terkesan tidak menggurui telah menancapkan pengaruhya di ruang-ruang keluarga, menyisakan sebuah citra mengenai gambaran ideal ala Plato yang bisa didekati oleh krim pemutih, conditioner, hingga handphone dengan standar tertentu. Tak ketinggalan tokoh-tokoh idola dengan kehidupan bak Cinderella, dan para penguasa teknologi yang memiliki juru bicara yang berkata layaknya penyelamat dunia.
Para penonton hanya terkesima menyaksikan segala kehidupan tak nyata tersebut. “Mungkin memang tak akan pernah sama, namun setidaknya mendekati,” begitu pikir mereka. Lagipula bukankah sekarang zaman komputerisasi dimana segala bentuk kekontinuan didiskritkan sedemikian rupa dengan selisih yang kian lama diharapkan mendekati nol? Semuanya hanya pendekatan, dengan perlombaan selisih: mana yang terkecil.
Aku? Hanya seorang flaneur(pengembara dalam bahasanya Baudelaire), yang mencoba menjawab pertanyaan dengan mengembara. Lewat teks ataupun kejadian-kejadian yang terjadi. Dari buku Agama Einstein, aku menangkap semangat panteistik Spinoza. Sebuah pandangan yang menyatakan spiritualitas adalah alam itu sendiri. Pada sebuah bagian, dikatakan bahwa panteistik dikatakan mirip pandangan atheis. Dalam buku Harun Yahya, evolusi seringkali diserang dari pandangan probabilitas. Sangat kecil peluang alam mewujud dalam bentuknya yang seperti sekarang jika tak ada campur tangan dari Sang Maha. Analogi yang cukup populer adalah keharusan kehadiran Sang Pembuat Jam bagi sebuah jam semesta. Yang aku tangkap dari pandangan Spinoza adalah alam(termasuk didalamnya manusia) memiliki suatu keadaan dasar(yang disebut spiritualitas) yang mengarah pada sebuah aturan/etika.
Etika inilah yang mengantarkan perasaan tenang atau sebuah ‘spiritualitas’ ketika seseorang melihat alam atau mendengarkan sebuah simfoni. Dalam pengamatan lebih lanjut, alam hadir dalam keteraturan yang menakjubkan. Spiral pada bunga daisy misalnya, mengikuti deret Fibonaci. Contoh lain adalah kuil Parthenon atau cangkang Nautilus yang mengikuti kaedah perbandingan emas(golden ratio). Dalam bidang musik, simfoni Mozart dapat dijelaskan dengan kacamata matematika. Rasa keindahan dan ketenangan ketika melihat alam ataupun mendengarkan musik dalam kacamata deterministik, menjadi sangat rasional.
Pertanyaannya kemudian, dimanakah letak agama formal? Dalam sebuah diskusi filsafat, aku pernah bertanya apakah mungkin seorang pencari dapat menemukan Tuhan, dan lebih jauh lagi melakukan apa yang ada dalam sebuah agama formal? Jawaban atas pertanyaanku adalah bisa. Narasumber mengisahkan ada seorang filosof yang tinggal di sebuah pulai terpencil yang melakukan shalat dlsb dari hasil pencariannya. Namun, karena yang teringat dalam kepalaku hanya jawaban singkat tersebut, aku tidak dapat menggunakan informasi tersebut lebih jauh lagi.
Bagiku pribadi, agama merupakan sebuah wilayah privat. Aku tidak yakin pemahamanku akan agama sama dengan orang lain, meski kami memiliki agama yang sama, begitupula hubunganku dengan Sang Khalik. Seorang teman mengatakan agama formal berfungsi untuk mengantarkan manusia pada sebuah jalan singkat. Ada berbagai alasan yang sebenarnya bisa aku gunakan untuk meyakinkan orang, dan mungkin kugunakan jika sedang berdiskusi, namun alasan yang aku gunakan untuk diriku pribadi sangat personal: aku mencintai cara-Nya, mencintaiku.
Dengan menggunakan kacamata Marx, bisa saja seseorang mengatakakan kehangatan yang aku rasakan dalam menunaikan perintahnya merupakan hasil dari konstruksi sosial. Perasaan itu muncul sebagai reaksi dari ‘moral ketakutan’(sebagai akibat dari adanya pahala-dosa dalam pandangan agama). Aku bisa saja berkeras, pandangankulah yang benar dengan segala dalil-dalil yang aku ketahui, bahwa rasa tenang yang aku rasakan muncul akibat kedekatanku dengan-Nya, sebagaimana orang bisa berkata hal yang sebaliknya dengan dasar yang ia miliki, dan akhirnya tak akan ada kata sepakat.
Hmm… it’s complicated. Kalau aku ingat-ingat, pengembaraanku mirip pita mobius. Dari filsafat, aku berkelana ke ranah praksis, kemudian kembali ke teori-teori postmo-nya orang-orang sosial, kemudian beralih ke filsafat orang-orang sains, dan kembali pada pertanyaan-pertanyaan esensial. Miss my text book very much…
No comments:
Post a Comment