Monday, April 03, 2006

35 Jam di Yogya

Aaargh! Tampaknya belakangan ini, tulisanku lebih diwarnai oleh konsep. Seperti minggu lalu, ketika hendak membuat reportase sebuah acara, aku membutuhkan waktu cukup lama. Keadaan ini mengindikasikan satu hal: aku harus lebih banyak bermain-main di lapangan, dan mengurangi waktu untuk tenggelam dalam dunia buku. Atau karena aku lebih senang membiarkan khayalku memainkan pengalaman-pengalaman yang masuk dalam folder bernama kenangan dalam benak?

Malam beranjak fajar, ketika aku bersiap-siap untuk berangkat ke Yogya. Sebuah perjalanan tak terencana yang mengemuka pada suatu sore satu minggu sebelumnya. Dengan keadaan masih setengah sadar karena tak dapat tidur nyenyak, aku melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Jam menunjukkan setengah empat, ketika aku dan ibu meninggalkan rumah. Perjalanan menuju bandara aku isi dengan menahan kantuk agar wudhu tetap terjaga. Alhasil, pemandangan kiri kanan aku jadikan latar pengembaraan pikiran-pikiranku yang mengembara melampaui kecepatan mobil yang berjalan pada kecepatan sedang.

Kehidupan belum beranjak sepenuhnya. Selain lampu-lampu jalan yang memberikan cahaya temaram, di jalan kami hanya berpapasan dengan truk-truk besar. Dalam waktu 45 menit, kami sudah sampai bandara. Keadaan masih lengang, hanya satu dua orang pengangkat barang bersiap siaga menanti mangsa di bagian kedatangan. Baju seragam mereka yang dihiasi nomor-nomor berwarna hitam di bagian belakang menjadi ciri mereka. Kesadaranku tampaknya sudah kembali sepenuhnya, meski ketika melewati metal detector aku lupa untuk mengeluarkan hp, sehingga alarmnya berbunyi. Hehehe, sekarang aku bisa yakin, kalau aku akan benar-benar bangun. Setelah membayar pajak, aku dan ibu mencari tempat menyambut waktu subuh.

Di mushola, sudah ada beberapa orang yang juga tengah menunggu. Aku biasa memberi penilaian mushola berdasarkan keadaan tempat wudhunya(apakah bagian perempuannya tertutup), kondisi mukena, luas, serta perlengkapan ibadahnya. Mushola yang aku singgahi kali ini cukup luas. Dengan sebuah pembatas kayu membagi wilayah perempuan dan laki-laki. Sebuah lemari besar berisi mukena dengan warna yang sudah menggelap pada bagian kepala, begitu pula keadaan sarung-sarungnya. Disampingnya terdapat sebuah lemari yang berisi kitab suci. Di dinding tampak peringatan mengenai larangan menyalakan hp. Aku rasa hal ini disebabkan banyaknya gangguan dering saat shalat berlangsung. Sayang, aku tidak sempat mengunjungi tempat wudhunya.

Usai shalat, kami langsung ke ruang tunggu dan dengan segera aku langsung terlelap. Ketika bangun, para penumpang diminta masuk ke dalam pesawat. Kata ibuku, salah satu keuntungan maskapai yang kunaiki sekarang adalah memiliki belalai. Jadi kami tidak perlu naik dan turun tangga di landasan pacu. Sesaat sebelum naik, aku bertemu dengan seseorang. Karena hanya melihatnya dari belakang, aku tidak yakin. Namun saat aku duduk, aku dapat melihatnya dengan jelas, ternyata memang benar orang itu adalah Catuy. Wah, dunia ini memang kecil.

Perjalanan berjalan singkat, nyaris sama dengan waktu yang kuperlukan untuk pergi ke bandara dari rumah. Keadaan bandara Adisucipto lumayan memberikan nuansa daerah, meski jika dibandingkan dengan stasiun kereta dimana ada ibu-ibu penjual gudeg di tengah malam mengenakan kain batik yang dililitkan dipinggul, dan kebaya, nuansanya jauh berbeda. Bandara meski diberi sentuhan etnik tetap memancarkan aura modern, berbeda dengan stasiun yang masih memberikan nuansa lampau. Orang-orang yang singgah pun bagaikan langit dan bumi, di bandara orang datang dengan koper-koper beroda dengan langkah-langkah lebar seolah waktu akan menelan siapa saja yang berani melambat, sedangkan keadaan di stasiun waktu mengalami perlambatan. Orang-orang dengan pakaian daerah yang mencoba mencari peruntungan, dengan berbekal nasi, senyum, dan kesabaran yang seolah bisa menerima banyak penolakan.

Dalam lamunanku yang tak pernah usai, kami menuju hotel dengan mobil yang telah datang menjemput. Penyambutan ala hotel yang berarti menandatangan sejumlah kertas, memberikan identitas, menjadi agenda pertama. Dikawal oleh petugas hotel kami menuju lantai enam. Kamar yang kutempati bersama ibu berukuran standar, dengan isi yang biasa pula. Pemandangan yang kutemukan dari balik jendela adalah pertokoan Malioboro yang hanya dipisahkan oleh jalan raya dengan lokasi hotel. Tak lama setelah aku melihat-lihat seluruh kamar, sebuah sms masuk. “Kalau udah sampai bilang ya.” Ah, tak ada yang berubah, masih dengan kehangatan yang sama. Tak lama kemudian sms lain menyapa, “I otw.” Yup, Yogya, here I come…

Saat aku mulai berkelana dibonceng Rini, hari masih cukup pagi. Jalan lengang, dan masih banyak tempat yang tutup. Dari beberapa pilihan, akhirnya kami memutuskan menuju Tamansari, tempat pemandian selir-selir Sultan. Keadaan disana masih sepi, tampaknya kami menjadi wisatawan pertama. Baru beberapa langkah, seorang bapak yang sudah sedikit berumur mendekati kami. Tampaknya ia guide penjaga komplek tersebut. Tanpa intro, perjalanan kami mengelilingi Tamansari, didampingi bapak itu yang menceritakan banyak kisah.

Baru 5 jam pertama(alias masih sepertujuh bagian) sih..., tapi kapan-kapan aja kalo lagi mood ngelanjutinnya :D

4 comments:

Anonymous said...

Aku nunggu sisa yang 30 jam-nya ljo! :-)

Anonymous said...

:)
iya juga,
aku juga nunggu lho...
swear!!

dei
---

(
pernah sekali wkatu naik delman di jogja,
berdua dengan teman, ku bilang ama dia
namanya nizar,
"zar, coba lu membayangkan, kita ini raja di sini",
maka dengan hikmatnya dia pun mulai mengatur posisi!! pandangan dibuat jadi nampak berwibawa, badan ditegapkan dst...

:)

Anonymous said...

Di mushola, sudah ada beberapa orang yang juga tengah menunggu.

hmm... aku kayaknya kenal musholla ini, ada lagi yang di ruang tunggu yut, saat mau boarding, tapi kecil, biasanya sepi, tapi ya hanya kalo udah pegang bording,
dan gak pembatas.


Di dinding tampak peringatan mengenai larangan menyalakan hp. Aku rasa hal ini disebabkan banyaknya gangguan dering saat shalat berlangsung.


lho!? bukan, itu kawatir menggangu system navigasi pesawat, yang banyak menggunakan radio!! :)) kalo ketauan pramugari yang lagi sholat, biasanya dibilangin :)


jika dibandingkan dengan stasiun kereta dimana ada ibu-ibu penjual gudeg di tengah malam mengenakan kain batik yang dililitkan dipinggul, dan kebaya, nuansanya jauh berbeda. Bandara meski diberi sentuhan etnik tetap memancarkan aura modern, berbeda dengan stasiun yang masih memberikan nuansa lampau.

karenanya, aku juga selalu suka suasana stasiun ka, baunya, interior exteriornya, juga orang2nya, seperti kamu bilang itu,

tapi kalo gak salah ingat, itu masih ada hubungannya degnan cinta,

naek kereta saat akan mengunjungi dia yang dicinta :) makanya stasiun pun jadi indah betul nampaknya


jik

Cheshire cat said...

Hmm... bukan karena masalah navigasi tampaknya, karena waktu di ruang tunggu masih banyak yang menggunakan handphone dan ngga ditegur.

Lagi-lagi cinta ya... Wah, kayanya udah pengalaman banget nih tentang yang satu ini. Tapi ada seseorang yang menunggu dan mengharapkan kedatangan kita, di suatu tempat, dan saat bertemu segalanya tepat, memang suatu hal yang tak tergantikan, bahkan oleh kata-kata yang keluar dari mulut penyair sekalipun.

Aku baca dari yang udah pengalaman aja deh:) :)

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...