Fu... dalam form program pasca, salah satu persyaratannya adalah membuat lembar pernyataan tujuan. Aku bisa saja membuat karangan mengenai tujuanku itu, soalnya kalau udah menyangkut beberapa hal yang detil, sebenarnya aku ngga yakin juga tujuanku apa, tapi opsi itu tampaknya akan kucoret, karena aku sendiri penasaran sebenarnya mau kemana. Apalagi kalau membandingkan jawaban salah seorang profesor yang baru aku wawancarai, tujuan hidupnya sudah beliau gariskan semenjak duduk di bangku SMP, sedangkan aku sampai sudah lulus S1 masih belum ada gambaran kedepannya mau gimana.
Waktu ngobrol ama calon dosenku, aku ditanya kenapa milih Matematika. Sebenarnya banyak banget yang mengajukan pertanyaan itu padaku, dan jawaban yang aku berikan pun bergantung pada mood, ya MBA(Math By Accident)lah, karena menarik, karena ngga tau lagi mau ngitemin apa padahal pilihan di form UMPTN ada 3(aku milih IPC), dsb. Tapi waktu aku ditanya ama calon dosenku itu, jawabanku bukan jawaban yang biasa aku kasih, “Karena dari SD-SMA, matematika satu-satunya pelajaran yang saya ngga perlu belajar, Pak.”
Pertanyaan mendadak yang aku timpali dengan jawaban mendadak pula, tapi malah membuatku berpikir lebih dalam. Aku memang jarang belajar kalau mau ujian matematika, karena kalau di kelas sudah mengerti, aku tinggal menggunakan pola-pola yang sudah ada di dalam kepala ketika berhadapan dengan soal. Kalau alasannya malas belajar, rasanya tidak juga, karena bagiku matematika seperti teka-teki yang memancing rasa ingin tahu. Karena itu, biasanya aku kemana-mana membawa soal-soal yang kerap diberikan guruku dalam bentuk lembaran-lembaran. Mirip kalau orang mengerjakan buku TTS yang dijual seharga seribuan untuk mengisi waktu luang, maka aku biasa membawa lembaran-lembaran soal math.
Keadaan berubah ketika aku menginjak bangku kuliah. Matematika mulai menjadi tidak menarik(aku juga ngga tau kenapa), dan dengan sendirinya aku kehilangan mood ‘memecahkan teka-tekiku.’ Baru ketika mengerjakan tugas akhir aja, aku kembali menemukan kesenangan itu. Dan kini, ketika aku hendak melanjutkan studiku, benarkah aku benar-benar akan meninggalkan ilmu yang telah aku tekuni selama 4 setengah tahun lebih?
Aku masih akrab dengan buku-buku matematika. Mulai dari yang filosofis, sampai yang sudah berhubungan dengan simbol-simbol dan teorema-teorema tertentu. Untuk yang sudah agak teknis, daya tariknya bukan terletak pada manfaatnya, tapi benar-benar pada keindahan logikanya. Buku-buku filososfis analog dengan buku-buku fiksi, sedangkan buku teknis analog dengan buku non-fiksi. Pertanyaan yang menghiasi benakku adalah, benarkah aku benar-benar akan memulai lembaran hidup baru dengan pindah jurusan?
Hmmph... pertanyaan yang sulit. Tapi aku akan mencoba mencari gambaran yang lebih besar dari matematika. Himpunan Cantor(ambil bilangan real di selang [0,1], kemudian bagi menjadi tiga bagian yang sama besar, kemudian buang yang bagian tengahnya, lakukan hal yang sama secara terus menerus pada bagian-bagian yang tersisa) misalnya, merupakan contoh fraktal. Di alam, banyak bentuk yang merupakan fraktal(misal: snowflake, daun ijo gepeng temennya anggrek). Secara sederhana, fraktal berarti rekursif self-similar. Nah, karena rekursif self-similar ini seringkali sampai infinite, maka yang tertangkap langsung seringkali bentuk yang tidak beraturan, padahal kalau dilihat dalam skala mikroskopik, terlihat ada pola tertentu.
Nah, bidang pasca-ku kayanya juga ngga jauh-jauh dari pola. Hanya saja, makhluk-makhluknya sekarang ngga sebaik bilangan yang mengikuti aturan tertentu, melainkan manusia yang variasinya bakalan jauh lebih banyak. Hmm, kayanya ngga cocok kalau menggunakan konsep fraktal, aku pakai konsep butterfly effect aja deh. Contoh ini aku baca dari tulisannya mas Roby yang mengamati lonjakan listrik di Inggris setiap kali ada pertandingan sepakbola. Jawaban dari adanya lonjakan ini adalah karena ketika waktu istirahat(pergantian dari ronde satu ke ronde dua), para penonton berbondong-bondong membuat teh.
Trus kenapa aku nyebrang ke masalah sosial? Aku ngga tau juga, meski kalau aku baca profil founding father-nya matematika, khususnya yang analisis, kebanyakan larinya ke masalah-masalah filosofis. Dosen-dosenku yang banyak nulis tentang matematika sekolah dan konsep berpikir juga kebanyakan dari latar Kelompok Keahlian Analisis. Jadi meski aku kecebur ke analisis(karena awalnya, aku nyangka dosenku terapan) setelah dijalani ternyata malah ketemu benang merahnya.
Mau pake konsep alam bawah sadarnya Freud? Boleh juga sih, tapi aku ngga mau membahasnya disini. Well, udah dulu ah menganalisis diri sendiri.
NB: Aku jadi kepikir, apa kalau aku berhasil menganalisis diri sendiri, dan membuat logika yang cukup rigid, aku akan cukup puas? Koq, aku malah jadi keinget salah satu episode Mr. Bean yang ngga bisa tidur trus menghitung domba. Ajaibnya. perhitungan domba yang sebenarnya bertujuan untuk mendatangkan rasa bosan dan kantuk, diselesaikan dengan kalkulator. Adegan ini bisa menjadi benar, seandainya Bean tidak bisa tidur karena penasaran dengan jumlah domba, tapi masa gitu sih??
5 comments:
jadi mau naik 'bis' jurusan mana mbak?? =P
-"oo..oo... ku salah naik jurusan" /rif band-
Sekarang sih mau naik 'bis' jurusan ilmu hibrid. Kalau salah naik, tinggal cari bis yang arahnya kebalikan :)
seperti waktu...kehidupan tak pernah berputar ke belakang, bukan?
Betul, tapi senantiasa ada cara untuk memperbaiki keadaan kalau memang sungguh-sungguh, dan meski mengambil jalan yang lebih berliku nan lama, kesempatan itu tetap ada
Sabar itu, sepertinya, kunci segala keberhasilan. Salam dari Pulau Tidung.
Post a Comment