Math, math not, math, math not...
Sayangnya ngga ada bunga, jadi aku ngga tau akhirnya math atau ngga. Asli lagi bingung, kalau pengen profesional beneran, aku kebayangnya keluar negri, kalau di dalem, aku malah pengen menekuni studi pembangunan sebagai katarsis keinginanku untuk jadi wartawan. Asli keduanya bertolak belakang banget, meski dalam test kepribadian, matematikawan dan wartawan dimasukkan dalam kategori yang sama. Keduanya dilandasi rasa ingin tahu yang besar. Nah, bedanya, kalau matematika itu bagiku menawarkan dunia imajinasi, sedangkan wartawan langsung menarikku untuk melihat dunia nyata.
Waktu ngerjain TA kemarin aja, aku asyik merekayasa diriku sendiri biar bisa bener-bener konsen. Jenis bacaan, ganti semua, koran aku filter, baca Life is Beautifull, surfing di Internet banyaknya ke Wikipedia, untuk bacaan beratnya aku pindah haluan dari kajian budaya ganti ke sains dan agama. Pergi ke perpus, meracuni diri dengan berbagai macam buku yang tidak begitu nyambung dengan TA tapi bisa memberiku gambaran besarnya.
Yeah, inilah asyiknya mengenal diri sendiri dengan cukup baik. Belum lagi rekayasa mood, meski kalo udah parah, main spider solitaire-nya bisa lebih lama dari baca atau nulis bahan TA, tapi dalam skala kecil cara itu berhasil. Nah, kalau sekarang aku banting setir, artinya aku harus kembali akrab dengan masalah-masalah sosial yang mebuatku tidak nyaman. Bukannya aku anti, tapi itu berarti aku harus mulai bikin penyesuaian-penyesuain diri lagi.
Hidup adalah pilihan, dan parahnya aku ngga yakin harus memilih apa.
2 comments:
ada baiknya,
sekali2 kita beli bunga,
bunga beneran,jangan yang plastik,
buat merenung lebih jauh keluar dari dunia yang kita bikin sendiri,
mundur lebih jauh dari object yang diamati, yang objectnya kita sendiri
dei
-=-
Iya, ya, dei, bagaimana caranya melihat diri sendiri dengan pandangan yang objektif? Kalo mengikuti film-film science-foction, aku bisa keluar dari tubuh dan mengamati diriku dari luar.
Mungkin aku memang perlu waktu untuk merenung lebih.
Post a Comment