Wednesday, June 21, 2006

Ternyata...

Paradoks Yuti: The greatest challange is to conquer the most unchallange work. Huahehe... itulah kesanku di minggu pertama kerja. Gara-gara masuk dalam sistem, kehidupan bohemianku terpaksa harus aku tinggalkan. Keluar rumah siang, baca buku seharian, jalan-jalan ke taman bacaan atau toko belakang, main di Salman, nulis, ngelamun, gangguin orang, dan sejuta kerjaan tidak terencana lainnya. Sekarang, kehidupanku masuk dalam sebuah ritme, pergi pagi, pulang petang, dan kerjaanku lumayan monoton.

Aku sempat shock, selama ini aku lebih terbiasa kerja dalam alur dunia pers. Rapat redaksi, trus riset plus kluntang-kluntung nyari mangsa:) Dunia kerja seperti itu, memungkinkan aku tahu banyak hal, meski dengan jumlah yang minim. Untukku sendiir, gaya ini sangat cocok, soalnya cara berpikirku relatif divergen plus cepet bosen. Tapi duniaku yang baru, cenderung spesifik. Alhasil seminggu ini, banyak banget yang nyemangatin aku via ym atau G talk(makasih ya, buat yang ngerasa).

Alhamdulillah, sekarang aku udah mulai bisa menikmati kerjaanku. Masih setengah males sih, soalnya input data ngabisin waktu dari pagi ampe sore, sampai-sampai aku ngga sempet ngapa-ngapain lagi, tapi sebagai pengalaman, ok juga. Itung-itung menaklukan diri sendiri, dari chaos menjadi order, meski aku berharap bisa berada di jurang kompleksitas. Kaya si Pi, yang merupakan konstanta indah yang tidak terpahami.

Tentang tulisan math-ku jadinya rada kacau. Seharusnya aku membuatnya terstruktur. Tapi karena aku pecinta berat postmo, akhirnya aku ngga tahan untuk memasukkan konsep simulakrum dan itu malah bertentangan dengan konsep fraktal yang aku pakai sebelumnya. Huaa... mau tulisan ilmiah juga, tetap aja ada unsur subjektivitasnya, dan sekarang aku berperan sebagai pembuat narasi, huehehe... padahal postmo menentang adanya sebuah narasi, huehehe, si Yuti kayanya lagi error.

1 comment:

arifin said...

sama nih..sedang terjebak ritme orang kantoran.
pertama memang mengasyikan, lama-lama
.....ya geetoo deh.

huhuy!! Jakarta oh Jakarta! kejam nian dikau...

-menghitung hari...tinggal berapa hari lagi yang bisa merdeka lagi??-

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...