Friday, July 28, 2006

Small World

Ternyata pengembaraanku ngga jauh-jauh. Kemarin, hobiku ngubek-ngubek artikel lucu kumat lagi. Pertama, jalan-jalan ke web-nya Bandung Fe, trus baca pengantar Departemen Computational-nya. Nah, dari sana aku ketemu nama yang tidak asing Chaitin. Beberapa minggu lalu, aku ngincer buku Meta Math soalnya, dan ternyata Chaitin di konsep Godel-Turing-Chaitin, orang yang sama dengan pengarang buku Meta Math.

Pengembaraan berlanjut dengan menyelidiki Chaitin ini. Ngga taunya nyambung ama Shannon yang menjadi dosen pak Samaun dan tokoh dalam Gunung Pi. Huehehe... orang-orang dalam buku menjadi hidup. Jadi, kalau bikin hubungannya:
Yuti-> Gunung Pi->Shannon
Yuti-> Pak Samaun->Shannon
Yuti-> Mama-> Pak Samaun ->Shannon
Yuti-> Meta Math-> Chaitin-> Shannon
Yuti-> Bandung Fe-> konsep Godel-Turing-Chaitin ->Shannon

Huehehe... dunia ini kecil...

Thursday, July 27, 2006

In Search for Love

Kemarin sore menjelang waktu pulang sebuah tawaran datang. "Mau tiket Oddisey?" Beberapa pilihan melintas di kepala, ambil-ngga, ambil-ngga. Akhirnya aku memutuskan untuk mengambil tawaran itu dengan alasan sebuah ketidaklaziman dalam ritme hidupku yang belakangan ini menjadi begitu monoton.

Setibanya di gedung, tempat sudah gelap. Di panggung tampak sebuah layar besar dengan potongan-potongan video berlatar lagu yang cukup hingar bingar. Sambil mencari posisi yang nyaman untuk menonton, pandanganku menyapu keadaan sekeliling. Kursi-kursi sudah terisi lebih dari separuhnya. Untung saja aku sendiri, jadi masih ada tempat dengan posisi bagus ke arah panggung. Ketika jam menunjukan pukul 7 tepat acara pun dimulai.

Pertunjukkan yang disajikan oleh mahasiswa SBM kali ini bertajuk: In Search for Love. Bagiku, cinta sendiri adalah pencarian tiada henti, alias limit menuju cinta, karena bentuknya yang abtrak. Dari segi keapikan, aku paling suka penampilan pertama dengan judul: Arjuna yang Terluka. Emosinya terasa banget, dan gaya yang dibawakannya pun semi-drama, tidak seperti dua lainnya yang menurutku lebih bergenre parodi.

Pertunjukkan dimulai dengan seorang narator yang berperan sebagai peri. Sang peri itu mengenakan kostum warna-warni, dengan sayap menyerupai kupu-kupu di bagian punggung, dan tongkat ajaib. Dalam kisah itu ia berperan sebagai penyampai surat antara Srikandi dan Arjuna. Konflik terjadi karena Wulandari, yang notabene sahabat Srikandi, juga menyimpan hati pada Arjuna. Meski adegan yang menayangkan gulannaya Wulandari akan hubungan Srikandi dan Arjuna hanya beberapa menit, namun dalam momen sekejap itu, aku merasakan pahitnya cinta yang tidak terbalas. Ah, cinta...

Selanjutnya alur berjalan dengan gaya kocak, dan sedikit klise, karena mirip kisah Romeo dan Juliet. Srikandi yang mengira Arjuna telah mati di keris Kurawa, memlih mengakhiri hidupnya. Di saat-saat terakhir itulah, Arjuna datang dan mendengarkan kata-kata terakhir dari Srikandi: Aku mencintaimu.

Sesudah itu masih ada beberapa pertunjukkan lagi, plus persembahan akustik, tapi aku tidak begitu tertarik. Tampaknya, belakangan ini aku menyukai kisah cinta yang ironis. Huhuhu... kenapa yang sedih justu lebih terasa di hati?

Tuesday, July 25, 2006

Dongeng

Pernahkah kau mendengar sebuah dongeng? Sebuah jalinan cerita yang mampu membuat imajimu melayang, menaklukan ketakutan-ketakutan yang dirasakan penjual kristal dalam kisah Alkemis? Ksatria berkuda putih mungkin sudah terlalu usang, ia kehilangan pamor setelah putri Fiona lebih memilih Shrek dibandingkan Prince Charming. Cerita akan kehilangan keajaibannya ketika tak ada ruang bagi imaji, karena itu semua kisah bisa menjadi dongeng dalam benak tiap orang, termasuk aku.

Salah satu kisah yang menghiasi masa kecilku adalah Marie Curie. Sosok perempuan cerdas yang mampu melewati berbagai rintangan. Dalam memoriku, sosoknya tak lagi utuh. Keberhasilannya menyabet Nobel hingga dua kali, hanya terekam samar. Namun dalam bentuknya yang samar itu, ia telah menjadi simbol keajaiban dalam benakku. Dalam keadaan yang serba terbatas, ia mampu membuat sebuah terobosan.

Kisah yang diceritakan padaku dimasa kecil mampu membuatku imajiku melesat. Menguak misteri pengetahuan yang tak pernah habis untuk direguk. Pola-pola indah yang bisa runyam dalam sekali sapuan, tapi tak lama kemudian muncul kembali sebuah keteraturan. Permainan-permainan dengan logika tertentu yang mengaburkan batasan antara baku dan semu.

Tak heran, banyak orang yang menjadikan Superman sebagai pahlawan mengalahkan kemahsyuran Jenderal Sudirman. Aku teringat kisah Yoko dan Bibi Leung dalam Return of The Condor Heroes, beberapa tahun silam. Pada penayangan episode akhir, aku membaca artikel mengenai sebuah daerah yang memasang spanduk besar-besar, bertuliskan selamat berbahagia bagi keduanya. Kau lihat bagaimana dongeng dan nyata berbaur menjadi satu? Hehe, kau bisa melihat pengaruh postmo menyerang kepalaku. Ditambah membaca review dari Bruno Latour di jurnal Mind, Culture, and Activity yang diawali dengan kutipan Captain Haddock. Hedge dan Haddock menjadi sama nyatanya(atau bahkan tak nyatanya)...

Jawabannya mungkin karena dunia ini semu, sesemu tikus yang fana? ;p Hehe... anyway, senang mendapat dongeng baru tentang matematika. Dalam Dunia Yuti, dongeng itu menjadi hadiah kelulusan yang indah.

Wednesday, July 19, 2006

Pagi, Resah!

Secangkir coklat panas yang masih mengepulkan asap, ditambah alunan lagu merdu tak mampu membuat bayangmu enyah. Apa yang telah kau lakukan padaku, Resah? Tak inginkah kau hariku berjalan indah? Aku tahu kau tak pernah ingin membuatku tenggelam dalam gelisah, tapi kau telah melakukannya dengan cara entah. Haruskah kumatikan radio yang baru saja menyiarkan berita korban yang terus bertambah, atau kau memang senang membuatku gundah?

Radio padam sudah, namun kenapa kau tak beranjak barang selangkah? Adakah aku berbuat salah, hingga kau urung membuatku lebih cerah? Ah, Resah, seharusnya kau tahu apa yang kulakukan beberapa hari ini, aku kembali berkutat dengan buku-buku kemiskinan yang memang tak pernah mudah. Ingatkah kau dengan Soedjatmoko yang mengatakan menulis adalah proses yang agonizing? Itulah yang kini tengah menderaku, perasaan tak nyaman karena terlalu berkawan gundah.

Ah Resah, aku tak mau hubungan kita menyudah, tapi kehadiranmu dalam kepala tak membuat keadaan berubah. Agar keadaan membaik, aku harus bergerak, dan aku tak tahu apakah aku mampu melakukannya jika kau tetap menggelayuti kesadaranku yang terendah. Meski kau membuat cacing-cacing dalam kepalaku menggeliat, aku tak mau bereaksi hanya karena perasaan marah. Jika ada yang berubah, aku ingin itu karena cinta kepada Sang Pemurah.

Tuesday, July 18, 2006

Waktu... waktu...

Yakinkan aku Tuhan
Dia bukan milikku
Biarkan waktu waktu
Hapus aku…

Sadarkan aku Tuhan
Dia bukan milikku
Biarkan waktu waktu
Hapus aku…

Dua kali lagu Nidji menyapaku pagi ini...

Wednesday, July 12, 2006

Kepada Seorang Kawan

[Episode: Beruntung]

Kawan, sudah lama aku tak menyapamu. Belakangan ini, waktu bergerak demikian cepat, hingga saat ada sejenak rehat, aku baru sadar betapa lamanya kita tak bertukar sapa. Bagaimana keadaanmu kawan? Terakhir kali kudengar kabarmu, kau tengah berkutat dengan aktivismu yang tiada habis, mungkin keadaan itulah yang menyebabkan rentang waktu menjadi demikian akrab dalam keseharian kita.

Tak ada kejadian khusus yang mengakibatkan kau memperoleh kabar dariku kali ini, tapi siapa yang butuh alasan untuk rasa kangen yang tiba-tiba menyelusup dalam kalbu. Tidak perlu lagu, warna, daun, ataupun buku untuk mengingatkanku pada dirimu. Cukup perasaan hangat yang datang tanpa diundang, dan itu sudah dapat menyebabkan badai serotonin menyerang kepalaku, dan entah kenapa, hangat ini identik dengan dirimu.

Tahukah kau, baru-baru ini seorang teman mengatakan mengatakan bahwa aku adalah orang yang beruntung. Parameter keberuntungan yang dia ucapkan berkisar pada keadaan yang telah kucapai saat ini. Mungkin apa yang dia katakan benar, aku memang beruntung, meski aku tak pernah merasa telah mencapai banyak hal. Namun, yang membuatku benar-benar bersyukur bukanlah apa yang kucapai atau peroleh, melainkan memiliki orang-orang hebat dalam kehidupanku. Keluarga, sahabat, teman, guru-guru, rekan yang tak henti mengajariku untuk berbagi dan senantiasa memberikan yang terbaik.

Kawan, mengingat segala hal yang telah mereka lakukan untukku, rasanya tak pernah ada kata terimakasih yang cukup. Bantuan-bantuan tak terduga, atau semangat singkat yang dapat membuat hariku cerah ceria. Begitupula kehidupan dalam wajahnya yang lugu, senantiasa membuatku jatuh cinta. Seperti pada suatu pagi, saat aku menyapa seekor kucing yang tengah mengais-ngais kotak stereofom putih di dekat tong sampah. Saat kusapa, ia menghentikan kegiatannya membuka kotak itu, dan menoleh padaku untuk menjawab salam, sementara kaki depannya masih tersangkut dalam kotak tersebut. Kawan, pemandangan itu sungguh indah.

Ritual sapa menyapa itu juga kulakukan pada anjing di jurusan. Aku sudah tidak ingat sejak kapan ia menjadi penunggu jurusan. Dengan tubuhnya yang sudah tampak ringkih, dan mulut yang senantiasa bungkam, ia hanya menyapaku dengan bola matanya yang sendu. Ekornya kadang tergoyang, tapi lebih sering hanya terkulai kuyu.

Kawan, bisakah kau bayangkan, bahkan seekor anjing pun tampak memiliki permasalahan yang mendalam? Tentu saja, aku tak bisa menganalisa apa yang tengah menimpanya, aku tak tahu sejarah hidupnya, dan aku juga bukan seorang psikolog anjing. Namun melihat segala sesuatu memiliki sejuta cerita dibalik apa yang terlihat sekarang, senantiasa membuatku takjub.

Guratan di pohon, cekungan di danau, hingga alam semesta yang menyimpan sejuta rahasia, semuanya menjadi pengingat agar aku tak henti berpikir. Kau jangan lantas membayangkan aku seperti filsuf dengan tangan yang menopang dagu, karena itu tak pernah berlaku untukku. Aku lebih senang menceburkan diriku dalam segenap rasa kemudian baru memilahnya secara perlahan.

Keluguan, sedih, gembira, cemas, resah, bahagia, bingung, pasti, monoton, chaos, semua pengalaman itu senantiasa menjadikanku lebih kuat. Karena itu aku masih sering tak bisa menahan diriku, untuk membuat orang terkejut dengan kata-kata maupun polahku. Aku hanya ingin sedikit menularkan kekompleksan hidupku pada orang lain. Bukan karena aku tak percaya pada pola(huaa... kawan, ternyata virus matematika itu kini telah mengalir dalam seluruh pembuluh darahku), namun karena aku percaya keteraturan itu ada pada tingkatan yang lebih tinggi. Bagiku kompleksitas merupakan titik keseimbangan diantara chaos dan keteraturan(order), dan karena itu aku senantiasa menyukai distraksi-distraksi yang dapat mengembalikan sistem pada keseimbangan.

Kalau kau melihat ritme hidupku saat ini, mungkin kau akan menganggapku telah tercebur dalam kehidupan mekanistik. Mulanya aku pun menganggap demikian, namun aku kembali melakukan distraksi-distraksi dalam kehidupanku, dan kembali belajar untuk melihat detil-detil kehidupan yang luput. Pemandangan biasa yang ketika diperhatikan lebih dalam ternyata menyimpan cerita, dan kawan, perasaan bahwa semuanya menjadi tanda menuju Yang Satu, sangat menguatkan.

Kawan, aku tak mau bercerita lebih banyak lagi, aku tak mau menjadi tukang ceramah yang dalam hitungan beberapa detik akan membuatmu bosan. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku memang beruntung, tapi bukan karena diriku sendiri, melainkan karena Sang Sutradara menghadirkan dirimu dalam kehidupanku.

Salam sayang selalu,
Kawanmu

Friday, July 07, 2006

Studi Pembangunan

Lagu Fur Elise terdengar dari kantong celanaku..
Me: "Halo"
HP: "Ini Yuti yang mendaftar di Studi Pembangunan?"
Me: "Iya, betul."
HP: "Hari Sabtu nanti ada test masuk di SP, udah tau kan gedungnya?"
Me: "Lho, bukannya ada TPA?"
HP: "Iya, TPA kan waktunya pagi. Test studi pembangunan jam 1 siang, materinya umum."
Me: "Materi umumnya berkaitan dengan apa saja?"
HP: "Umum koq, tidak ada matematika."
Me: "Wah, malah bagus kalau ada matematikanya. Saya kan dari jurusan matematika."
HP: "Kalau itu nunggu kalau udah masuk SP aja, nanti ada ekonomi makro dan mikro."

Hmm... percakapan pagi yang lucu. Pagi itu rencananya aku mau mampir ke SP dulu, tapi ternyata telepon dari SP menyurutkan langkahku.

Tuesday, July 04, 2006

Officially Graduate

Pagi itu aku ke kampus dengan langkah bergegas. Jam sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima, sedangkan menurut informasi dari teman-temanku, sidang akan dimulai jam 8. Sesampainya di jurusan, keadaan tampak lengang. Tak tampak kerumunan anak-anak yang menunggu hasil sidang kelulusan. Jawaban akan keadaan itu aku temukan di secarik kertas yang mengumumkan sidang baru akan dilaksanakan pukul satu siang. Semangat yang meluap-luap karena sebentar lagi aku akan dinyatakan sebagai sarjana, pun harus kuredam selama 5 jam ke depan.

Karena hari masih pagi, aku sempat bercakap-cakap dulu dengan temanku yang juga menyangka sidangnya akan berlangsung pukul delapan. Setelah ngobrol kesana kemari akhirnya kami berpisah jalan. Ia pergi ke arah gerbang depan, sedangkan aku ke tempat kerja di daerah belakang. Keadaan tak berbeda jauh, tak ada seorang pun ketika aku memasuki ruangan. Komputer yang biasa kugunakan pun seolah belum mau meninggalkan suasana liburan. Ia menolak untuk kenyalakan. Pun setelah kususuri kabel-kabel yang menghubungkannya ke sumber energi, dan melihat semua sudah terhubung seperti biasanya. Tak menemukan jawaban, ditambah lagi tak membawa buku bacaan, aku kembali ke jurusan. “Mungkin saja bertemu teman seangkatan,” pikirku sambil beranjak meninggalkan ruangan.

Kali ini aku bertemu adik angkatanku yang hendak mengurus kartu perpustakaan. Kubarengi langkahnya menuju gedung ungu yang menjulang. Aku sendiri belum mengurus masalah administrasi meski telah sering diingatkan. Bukan karena tak ingin, tapi sampai saat itu aku belum menemukan KSM-ku yang menjadi syarat memperoleh tanda bebas pinjam. Karena itu, beberapa hari ini aku hanya jadi pemandu bagi teman-temanku yang mengurus kartu ke perpustakaan pusat. Senang juga jalan-jalan tanpa tujuan, di tengah kegiatan yang selalu dikejar-kejar waktu.

Sekembalinya di tempat kerja, beberapa orang sudah tampak di depan laptopnya masing-masing. Ternyata komputer yang biasa kugunakan tak mau hidup karena ada aku luput memperhatikan tombol on di kabel karena tersembunyi. Dalam sekejap, aku sudah tenggelam dalam kegiatan memasukkan data. Tak terasa hari sudah beranjak siang, ketika aku mulai merasa bosan. Langsung pergi, atau melanjutkan entri data? Dari pengalaman temanku menunggu sidang kelulusan, mahasiswa biasa menunggu lama. Namun di sisi lain, aku jadi bisa bertemu dengan teman-teman.

Aku memilih jalan tengah, berangkat jam 1 lebih, agar tak terlalu lama meninggalkan pekerjaan. Benar saja, di depan TU tampak banyak anak-anak yang sedang menunggu. Petugas TU pun tampak tak kalah ramai mengurus berbagai kertas-kertas yang harus ditandatangan sambil sesekali memanggil nama mahasiswa yang harus memasukkan biodata. Tak hanya itu, suasana ramai ditambah deretan kardus-kardus berisi kiriman komputer baru yang memenuhi lorong menuju ruang ketua jurusan. Ramai, sedikit berantakan, tapi menyenangkan.

Semua keramaian itu belum mencapai puncak. Dosen-dosen yang berbincang mengenai kelulusan, tak jua memanggil kami untuk turut bergabung. Wajah-wajah penantian yang ditimpali dengan gurau tawa, akhirnya berubah menjadi kelegaan pukul dua lewat. Kami semua dipanggil ke atas. Di depan ruangan, kami masih saling dorong mendorong agar ada yang mau masuk duluan ke ruang rapat, ruang penentuan kelulusan. Akhirnya karena tak ada yang mengalah, aku maju saja(apalagi dosenku sudah melongokkan kepala keluar ruangan menyuruh kami agar segera masuk).

Hal pertama yang kutangkap ketika masuk adalah tumpukan buku-buku tugas akhir kami di bagian tengah ruangan, yang kedua adalah dus-dus kue:) Setelah mengambil posisi yang nyaman di pojok ruangan, aku pun duduk untuk mendengarkan pernyataan kelulusan. Informasi-informasi formal disampaikan oleh ketua jurusan, dilanjutkan oleh wejangan dari seorang dosen senior. Sesaat aku sempat berkaca-kaca, tapi karena dosen-dosenku punya hobi tertawa, suasana sendu itu dengan cepat berlalu. Sesudah itu nama-nama kami pun disebutkan satu per satu.

Ketika tiba pada namaku, salah seorang dosenku nyletuk, “Wah, Yuti lulus?” Huehehe, kena deh, soalnya sebelum sidang ini pun aku sudah menyatakan sendiri kelulusanku. Bagian paling berkesan adalah saat dosen-dosen berbaris di lorong dan menyalami kami semua. Seorang dosenku sambil menyalamiku berujar, “Wah, Yut udah kerja ya di PR?” Komentar khusus lainnya aku peroleh dari dosen Geometriku, dan ketika sampai pada dosen pembimbingku, ia menyalamiku dengan ekspresi yang tak bisa kutuangkan dalam kata-kata. It’s feels great-lah pokoknya.

Now it’s official... Yuti Ariani S. ___ (still can’t believe that I’ve already graduated)

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...