Wednesday, July 19, 2006

Pagi, Resah!

Secangkir coklat panas yang masih mengepulkan asap, ditambah alunan lagu merdu tak mampu membuat bayangmu enyah. Apa yang telah kau lakukan padaku, Resah? Tak inginkah kau hariku berjalan indah? Aku tahu kau tak pernah ingin membuatku tenggelam dalam gelisah, tapi kau telah melakukannya dengan cara entah. Haruskah kumatikan radio yang baru saja menyiarkan berita korban yang terus bertambah, atau kau memang senang membuatku gundah?

Radio padam sudah, namun kenapa kau tak beranjak barang selangkah? Adakah aku berbuat salah, hingga kau urung membuatku lebih cerah? Ah, Resah, seharusnya kau tahu apa yang kulakukan beberapa hari ini, aku kembali berkutat dengan buku-buku kemiskinan yang memang tak pernah mudah. Ingatkah kau dengan Soedjatmoko yang mengatakan menulis adalah proses yang agonizing? Itulah yang kini tengah menderaku, perasaan tak nyaman karena terlalu berkawan gundah.

Ah Resah, aku tak mau hubungan kita menyudah, tapi kehadiranmu dalam kepala tak membuat keadaan berubah. Agar keadaan membaik, aku harus bergerak, dan aku tak tahu apakah aku mampu melakukannya jika kau tetap menggelayuti kesadaranku yang terendah. Meski kau membuat cacing-cacing dalam kepalaku menggeliat, aku tak mau bereaksi hanya karena perasaan marah. Jika ada yang berubah, aku ingin itu karena cinta kepada Sang Pemurah.

No comments:

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...