Thursday, January 11, 2007

Simulakra

Overdosis banget nih. Tiap hari dapat tugas baca baru yang jumlah halamannya meningkat mengikuti kurva eksponensial, belum lagi target tesis yang dalam waktu 4 bulan harus menghasilkan 3 bab. Tapi inilah hidup. Siapa bilang mudah dan bisa selalu nyantai, hiburan pun jadi di modifikasi mngikuti tuntutan. Untung aja dosenku membebaskan aku bermain-main dengan berbagai teori. Langkah awal aku mulai dengan mencari benang merah dari chaos ke graf. Ide yang ada di kepalaku sekarang baru dari bifurkasi-bifurkasi yang ada di tiap percabangan. Dalam modelku, percabangan-percabangan itu diakibatkan kurangnya data. Aku pernah sih, baca bagaimana relasi hilang/kurangnya data untuk menjelaskan sebuah fenomena terhadap hasil akhir, tapi pendekatannya statistik, dan aku mencoba jalan lain.

Langkah kedua mencari pola penggerombolan di masyarakat. Untuk pendekatan ini aku mengikuti aliran positivism dulu. Jadi, aku menggunakan asumsi struktur disipatif yang ditemukan Ilya Prigogine berlaku di masyarakat. Sampai sekarang fenomena-fenomena yang ada mendukung asumsiku, tapi jika aku menggunakan metode induksi, sampai akhir usia juga ngga mungkin selesai, jadi aku harus cari cara pembuktian yang lain.

Review kuliah sedikit. Ketemu ama saudara kembarnyanya semiotika di pelajaran phenomenology. Jadi kalau di semiotik ada konsep penanda-petandanya Saussure, di phenomenology ada noema dan noesis. Penggunaannya sama, bahkan sampai sekarang aku ngga tau bedanya apa. Trus ketemu lagi ama simulakra di bagian etnografi. Gara-garanya, pelajaran etno membolehkan banyak pemetaan yang abu-abu. Alhasil, ketika seseorang melakukan pemetaan berulang kali, realitas sesungguhnya menjadi bias. Salah satu contoh klasik tentang kesulitan menjelaskan realitas ada di bukunya Wittgenstein(Blue Book kalau ngga salah). Di buku itu dicontohkan dua kata yang saling merujuk satu sama lain.

Sibuk, dan senang...

4 comments:

Anonymous said...

Akhirnya kau sebut juga kata "tapi inilah hidup" , hidup dimana ada tantangan dan kerja keras, namun juga perlu ada kepedulian kepada lingkungan dan diri sendiri.

Dalam hidup sering kita harus sampai pada "to the limit", atau mendekati ambang batas kemampuan kita. Dari situlah kita belajar artinya kesungguhan, kerja keras dan menghargai waktu. Namun demikian hidup terkadang lebih kompleks lagi dari itu, karena kita juga harus peduli pada lingkungan dan diri sendiri.

Ada orang2 yang kemudian lupa dengan kebersihan meja kerjanya atau kamarnya. Hidup tidak seru tanpa tantangan yang seru.

Sahabatmu selalu

Cheshire cat said...

Dan tentu saja, membersihkan meja belajar tidak seru. Lebih baik menurunkan persamaan yang lucu, atau juga membaca buku.

Nb: Hihi, just kidding, meja belajar belakangan ini lumayan rapih karena harus kembali menulis.

arifin said...

okeeeeyyyy..
kali ini saya gak ngerti apa yang yuti tulis..

Cheshire cat said...

Huehehe, kuliah studi pembangunan:) dan dapat dosen yang se-bahasa, jadi bacaan-bacaan di luar bisa dihubungkan dengan kuliah.

Asyik banget Ka, dapat dosen yang se-bahasa, dan bisa diajak bertukar pikiran.

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...