Maukah kau berubah jika aku yang memintanya? Gamang menyerang. Bisakah aku bertahan dengan perubahan ini hanya demi dia, pikirnya. Ia mempertanyakan segala kemandirian yang selama ini melindunginya. Tak terlalu pusing dengan segala pandang, atau ujar sinis atas keputusan yang ditempuhnya. Ia memiliki dirinya, dan itu cukup. Kehadiran dia adalah hal lain. Sebuah imaji yang selalu ada, tapi tak pernah begitu nyata. Hingga sekarang. Saat ia mulai terbuai oleh imaji-imaji yang tak pernah hinggap sebelumnya. Haruskah?
Kenapa blog ini jadi melow ya? Curhat pindah ke sini
Tuesday, January 29, 2008
Saturday, January 26, 2008
Ketika Chaos Merindukan Order (3)
Masih juga tak mengerti, dan berhenti untuk mencoba memahami. Jalani saja apa adanya, tanpa berharap. Tak baik terlalu mendekat, dengan segala ketidakpastian menghinggap, ucap yang hanya menjadi asa sesaat kemudian lenyap. Seperti asap. Dan memang imaji itu lekat. Aku takkan lagi membaca, mencari algoritma yang dapat membenarkan sikapnya. Bukan tentang baik, buruk, ataupun etika ,hanya karena tak menemukan tempat berpijak. Hanya itu. Cukup untuk menciptakan jarak.
Monday, January 21, 2008
Negosiasi
Haruskah seseorang tetap melangkah meski ia tak ingin berubah?
Seorang renta dengan tangan tengadah karena merasa tak salah
meski telah ditawari kerja
meski kadang terik menerpa
Anak jalanan dengan musik dan gitar
Kadang harus berlari atas nama kerapihan kota
Ketika pejabat lewat
dengan mobil boros bensin mereka
Anak-anak yang bermain dalam terpa hujan
merayakan butiran-butiran air yang menyapa bumi
tanpa peduli badan basah
kuyup baju berkawan air
dan ketika sampai di persimpangan jalan...
haruskah ia berkata sudah pada lampau
berbelok meninggalkan jalan setapak
atau tetap tegar menantang dunia
dengan caranya sendiri?
Seorang renta dengan tangan tengadah karena merasa tak salah
meski telah ditawari kerja
meski kadang terik menerpa
Anak jalanan dengan musik dan gitar
Kadang harus berlari atas nama kerapihan kota
Ketika pejabat lewat
dengan mobil boros bensin mereka
Anak-anak yang bermain dalam terpa hujan
merayakan butiran-butiran air yang menyapa bumi
tanpa peduli badan basah
kuyup baju berkawan air
dan ketika sampai di persimpangan jalan...
haruskah ia berkata sudah pada lampau
berbelok meninggalkan jalan setapak
atau tetap tegar menantang dunia
dengan caranya sendiri?
Wednesday, January 16, 2008
On/Off
"Kenapa?"
"Kau tahu apa yang kumaksud. Jangan coba mengelak."
"Kalau kau merasa tahu, kau jawab sendiri saja pertanyaan itu."
"Kenapa kau selalu mencoba untuk bertengkar?"
"Dan kenapa kau selalu memulai?"
"Aku hanya tak mau kau menyakiti dirimu sendiri."
"Terima kasih. Aku baik-baik saja."
"Dasar keras kepala."
"Dasar sok tahu."
"Kau tahu apa yang kumaksud. Jangan coba mengelak."
"Kalau kau merasa tahu, kau jawab sendiri saja pertanyaan itu."
"Kenapa kau selalu mencoba untuk bertengkar?"
"Dan kenapa kau selalu memulai?"
"Aku hanya tak mau kau menyakiti dirimu sendiri."
"Terima kasih. Aku baik-baik saja."
"Dasar keras kepala."
"Dasar sok tahu."
Thursday, January 10, 2008
Legenda Pribadi
Karena aku seorang pemimpi, aku lebih senang melihat manusia sebagai makhluk unik. Kenapa juga semua orang harus memenuhi kriteria cerdas tertentu, kalau masih ada jalan lain yang lebih menarik. Pembimbingku selalu menekankan yang penting sesuatu dijalankan dengan senang, seperti yang beliau lakukan di dunia math-nya. Kalau ngga salah ingat, di buku Dewey atau Freire, salah satu tolak ukur untuk melihat apakah seorang guru mengajar dengan gaya bank atau ngga, adalah dengan melihat pancaran matanya, hihi... kayanya redaksionalnya rada meleset.
Kenapa seseorang harus bangga dengan kecerdasannya? Dunia penuh dengan ilmuwan? Owh please, ngga kebayang bakal kaya apa, kecuali ilmuwan itu diartikan terbebas dari parameter formal, hingga tukang sate pun bisa menciptakan ramuan yang membuat pelanggannya setia dan disebut ilmuwan. Kenapa harus seragam, bukankah Sang Maha pun menciptakan manusia beragam untuk saling mengenal, mengetahui keunikan satu sama yang lain hingga tak saling menafikan atau berbangga hati. Prinsip yang menempatkan penyapu jalan setara dengan Presiden yang bisa menghiasi Kompas halaman depan.
Ah, kadang aku lelah. Benar-benar tak mengerti segala label yang diproduksinya tiap hari. Label postmo yang kian menjauhkan aku dari makna...
NB: Karena di kampus, blogger, dan gmail sering bermasalah, aku jadi hijrah ke Multiply, dan lama-lama malah jadi keterusan. Hmmm... kasihan blogspot jadi sedikit terbengkalai... maaf ya kalau sudah mampir ternyata tak menemukan hal yang baru *huahahaha... si Yuti lagi narsis, ketika sedang menghadapi deadline akut*
Kenapa seseorang harus bangga dengan kecerdasannya? Dunia penuh dengan ilmuwan? Owh please, ngga kebayang bakal kaya apa, kecuali ilmuwan itu diartikan terbebas dari parameter formal, hingga tukang sate pun bisa menciptakan ramuan yang membuat pelanggannya setia dan disebut ilmuwan. Kenapa harus seragam, bukankah Sang Maha pun menciptakan manusia beragam untuk saling mengenal, mengetahui keunikan satu sama yang lain hingga tak saling menafikan atau berbangga hati. Prinsip yang menempatkan penyapu jalan setara dengan Presiden yang bisa menghiasi Kompas halaman depan.
Ah, kadang aku lelah. Benar-benar tak mengerti segala label yang diproduksinya tiap hari. Label postmo yang kian menjauhkan aku dari makna...
NB: Karena di kampus, blogger, dan gmail sering bermasalah, aku jadi hijrah ke Multiply, dan lama-lama malah jadi keterusan. Hmmm... kasihan blogspot jadi sedikit terbengkalai... maaf ya kalau sudah mampir ternyata tak menemukan hal yang baru *huahahaha... si Yuti lagi narsis, ketika sedang menghadapi deadline akut*
Subscribe to:
Posts (Atom)
Untuk Papa
Papa … Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat Tapi jasa papa tetap melekat Hangat itu tetap mendekap ...