Tuesday, February 26, 2008

Ia: Vere (2)

"Kau telah membangunkan macan tidur."
"Aku tahu..."
"Kau tahu dan tetap melakukannya?" tanya Ra dengan tatapan tidak percaya.
Aku mengangguk, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain mengangguk. Meski aku telah memperhitungkan kemungkinan ini, aku sendiri tak menyangka dampaknya akan separah ini. Tatapan mata Ra seolah hendak menegaskan kesalahan besar yang telah ia lakukan. Ah… entahlah. Saat aku mengambil keputusan itu, aku hanya melihat tantangan yang akan kuhadapi. Ternyata pilihanku telah melukai perasaannya terlalu dalam. Harusnya… harusnya… kalau dia memang sayang padaku, dia bisa menerima keputusanku.

Sebagian dari diriku mensyukuri keadaan ini. Toh, pada suatu saat keadaan ini akan mengemuka juga, tak masalah nanti atau sekarang. Aku lega karena bisa mengungkapkan apa yang kurasa, tak sekadar merelakan apa yang menjadi mimpiku demi melihat senyumnya. Disisi lain aku terluka. Pertengkaran hebat tadi malam menguras energiku terlalu banyak. Aku benci pertengkaran, lebih benci lagi karena itu aku lakukan pada orang yang kusayang.

Mungkin aku memang salah dari mula, seharusnya tak kubiarkan semuanya terjadi. Ia ingin menjadikan aku bagian dari lukisannya, tanpa pernah meminjamkan kuas. Bagaimana mungkin ia mengharap bahwa itu akan menjadi lukisanku? Tapi ia tak pernah mau tahu, ia terpesona akan warna-warna dan komposisi yang telah disapukannya. Tapi dimana aku?

“Ra, apa aku salah?”
“Kita sudah melewati sesi ini puluhan kali. Dan saat itu kau bekata bahwa kau mau menyerahkan mimpimu padanya. Andaikan kau memang bisa, maka kau telah berhasil menjadikan lukisan itu menjadi milikmu. Namun dengan heningmu, ia merasa kau telah bahagia.”
“Aku tidak pernah berkata begitu. Tiap kali aku protes, ia hanya tersenyum seolah aku becanda. Aku serius,” ujarku dengan mata berkilat-kilat marah.
“Banyak yang tidak bisa membedakan marah dan becandamu.”
“Apa yang kau harapkan, aku membanting pintu, mengatakan semuanya telah berakhir? Aku mau semuanya berhasil, tapi aku juga lelah.”

[bersambung]

Monday, February 25, 2008

Menunggu

Hiyaaa... inilah salah satu kelemahan yang suka bikin aku gregetan: menunggu. Dan sekarang, aku ngga bisa melakukan apapun untuk mempercepat proses itu. Aaaarggh! Bener-bener bikin perut mules.

Whooaaaaa... kayanya tulisanku parah banget deh. Huaaaa... otak kananku bekerja lebih cepat daripada otak kiri jadi aku udah mikir macem-macem... Hoaaaa krisis PD. Plus my terrible english. Tapi disisi lain, aku dalam posisi nothing to loose, kalau tembus aku dapat kredit, tapi kalau ngga tinggal nyari orang lain.

Tetep aja bikin sakit perut.

Friday, February 22, 2008

Partner

Meski secara personal mungkin tak masalah, tapi dalam hal rekan kerja urusannya akan berbeda. Bagi orang yang terbiasa dengan pola, ketidakpastian menjadi kendala. Apalagi kalau tak ada kesepakatan yang bisa dipegang, jadi daripada makan hati, akhirnya aku memilih orang lain. Akan jauh lebih rumit, karena diskusi hanya bisa lewat mail ditambah my pathetic english, tapi ini jadi tantangan juga untuk tidak sembarangan. Kadang aku berpikir apa yang salah dari Indonesia? Apakah karena budaya atau apa? Ketika orang Indonesia keluar negeri ia bisa hidup dengan pola kerja yang padat, mengerjakan semua urusan rumah tangga sendiri, tapi ketika kembali, semua kebiasaan tersebut lenyap. Sama halnya ketika orang luar ke Batam, bisa jadi tidak tertib. Hmm... ada istilah khususnya dalam budaya, tapi aku lupa.

Back ke partner kerja... tadi aku sudah dapat balasan. Masih harus dipelajari dulu, jadi sekarang aku lagi harap-harap cemas nih... huahahaha

Thursday, February 21, 2008

Sembunyi

Sengaja sembunyi di blogspot soalnya kalau nulis di MP, sering dikunjungi oleh empunya:D

Seneng.. seneng... seneng... Bagi orang yang memiliki self-motivation problem, mendapat motivasi dari orang lain bagaikan bunga layu betemu air, huahaha. Tentu saja, ini bertentangan dengan segala hal tentang kemandirian, dan dunia yang lebih keras, tapi boleh kan senang karena dapat support, ya..ya.. boleh ya?

NB: Thank you banget, ckakaka (although I'm not expecting you to read this post, it would totally embarrasssed me)

Wednesday, February 20, 2008

Ia

Matanya tak lepas dari memperhatikan waktu berjalan. Dalam hitungan jam, seseorang akan datang untuk meminang, padahal hatinya masih ragu dengan keputusan yang telah ia buat beberapa bulan silam. "Mungkinkah aku melepas segala kebiasaanku dan memenuhi apa yang dia mau?" pikirany kalut. Gambaran-gambaran yang dulu terbayang seolah ingin menariknya dari ruang rias, dan waktu menjelang statusnya yang baru. Ia ingin melarikan diri.

"Ve?" ibunya menahannya ketika ia keluar dari ruang rias.
"Iya, Bu?"
"Mau kemana kamu, nanti terlihat orang lho, kan belum saatnya kamu keluar. Lagipula dandanan kamu bisa rusak semua."
"Ve mau ke kamar mandi."
"Aduh, anak ini, kan tadi ibu udah bilang kalau abis dandan kamu ngga boleh kemana-mana. Ya udah sana, cepet. Nanti ibu minta tante Nunung untuk merapihkan dandanan kamu."
Dengan melangkah kecil karena tersangkut kain yang super ketat, Ve mulai melihat kondisi rumahnya. Semuanya nyaris berubah total. Bunga-bunga putih, makanan, orang lalu lalang. anggupkah ia menerima kemarahan dari mereka semua, hanya karena kebimbangannya?

[bersambung]

Friday, February 08, 2008

Pahit/Manis

Tatapan khawatir yang sama. Mungkin akan lebih baik jika ia berlalu begitu saja, atau sekadar menyapa. Tapi perhatian itu tak juga enyah, meski ia tahu itu ditujukan buat siapa saja. Tak ada yang khusus. Realitas yang kini dihadapinya menyadarkan ia ke alam nyata. Lebih baik, meski juga lebih keras. Setidaknya ia belajar membuka mata, dan belajar bahwa ada kalanya pahit itu adalah keadaan alpa dari manis, bukan dua hal yang berbeda. Karena pahitlah ia belajar untuk bersyukur, rasa yang dulu jarang singgah, atau telah ia kubur dalam-dalam.

Salahkah ia jika masih membanding-bandingkan? Bukankah hidup memang penuh dengan perbandingan hingga ada yang disebut pilihan. Memilih sesuatu dengan sederet pertimbangan yang semoga lebih baik. Karena manusia tak sempurna, dan kesalahan adalah hal wajar, untuk belajar, untuk bangkit, dan kemudian untuk menyebarkan kebaikan di muka bumi. Agar hidup ini bisa menjadi lebih berarti.

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...