"Kau telah membangunkan macan tidur."
"Aku tahu..."
"Kau tahu dan tetap melakukannya?" tanya Ra dengan tatapan tidak percaya.
Aku mengangguk, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain mengangguk. Meski aku telah memperhitungkan kemungkinan ini, aku sendiri tak menyangka dampaknya akan separah ini. Tatapan mata Ra seolah hendak menegaskan kesalahan besar yang telah ia lakukan. Ah… entahlah. Saat aku mengambil keputusan itu, aku hanya melihat tantangan yang akan kuhadapi. Ternyata pilihanku telah melukai perasaannya terlalu dalam. Harusnya… harusnya… kalau dia memang sayang padaku, dia bisa menerima keputusanku.
Sebagian dari diriku mensyukuri keadaan ini. Toh, pada suatu saat keadaan ini akan mengemuka juga, tak masalah nanti atau sekarang. Aku lega karena bisa mengungkapkan apa yang kurasa, tak sekadar merelakan apa yang menjadi mimpiku demi melihat senyumnya. Disisi lain aku terluka. Pertengkaran hebat tadi malam menguras energiku terlalu banyak. Aku benci pertengkaran, lebih benci lagi karena itu aku lakukan pada orang yang kusayang.
Mungkin aku memang salah dari mula, seharusnya tak kubiarkan semuanya terjadi. Ia ingin menjadikan aku bagian dari lukisannya, tanpa pernah meminjamkan kuas. Bagaimana mungkin ia mengharap bahwa itu akan menjadi lukisanku? Tapi ia tak pernah mau tahu, ia terpesona akan warna-warna dan komposisi yang telah disapukannya. Tapi dimana aku?
“Ra, apa aku salah?”
“Kita sudah melewati sesi ini puluhan kali. Dan saat itu kau bekata bahwa kau mau menyerahkan mimpimu padanya. Andaikan kau memang bisa, maka kau telah berhasil menjadikan lukisan itu menjadi milikmu. Namun dengan heningmu, ia merasa kau telah bahagia.”
“Aku tidak pernah berkata begitu. Tiap kali aku protes, ia hanya tersenyum seolah aku becanda. Aku serius,” ujarku dengan mata berkilat-kilat marah.
“Banyak yang tidak bisa membedakan marah dan becandamu.”
“Apa yang kau harapkan, aku membanting pintu, mengatakan semuanya telah berakhir? Aku mau semuanya berhasil, tapi aku juga lelah.”
[bersambung]
No comments:
Post a Comment