Ia tahu keputusan ini akan mengubah segalanya. Tidak ada jalan kembali, tidak untuk kali ini. Setidaknya tak ada yang bisa lebih buruk dari apa yang kulakukan dulu, ujarnya memantapkan hati. Sekali ini bukan lagi tentang dia, tapi tentang dirinya sendiri. Perasaan bersalah itu menggerogotinya seperti penyakit, dan meski kini ia telah tiada, ia berjanji untuk tidak akan mengecewakannya lagi.
Dengan langkah tersendat ia berjalan ke mobil menuju tempat yang dulu tak ia kira akan disinggahinya lagi. Rumah yang menjadi mimpi buruknya bertahun-tahun ini. Ia harus menyelesaikan apa yang dulu pernah tertunda dan ternyata telah merenggut orang yang palng dikasihinya.
"Tok..tok," ketuknya sambil menyadari tak ada yang jauh berubah dari rumah itu dari kunjungannya terkahir kali.
"Kau...," sebuah wajah dengan ekspresi terkejut menyapa di pintu. Kesunyian itu tak berlangsung lama. Raut terkejut dengan segera berubah menjadi amarah.
"Mau apa kau datang ke sini. Setelah membuatnya memberontak dan merenggut nyawanya, berani-beraninya kau datang ke sini...." lanjutnya dengan nada tinggi.
Ingatan malam itu datang tanpa bisa ia cegah. Pertengkaran karena dia hendak bertemu dengan orangtuanya yang tak pernah menyetujui hubungan mereka. Sikapnya yang kala itu tegas menyatakan larangan, kemudian kecelakaan yang dia alami. Kepingan-kepingan ingatan itu lebih menyakitkan dari kata-kata tajam yang kulihat dari wajah ibunya. Betapa keduanya bisa begitu mirip ketika marah. Membiarkan kesadaran itu menerpa saja telah membuatnya merasa hancur berantakan, kenapa semuanya harus seperti ini? Kenapa ia tak bisa mengalah?
Alasannya sederhana. Istrinya selalu sedih ketika mencoba bertemu dengan ibunya, dan ia tak tahan melihatnya. Episode-episode saat ia sabar menghadapi semuanya telah lama berlalu, kini tinggal istrinya yang masih mau gigih berusaha tanpa ada ia disampingnya, hingga akhirnya ia juga lelah melihat satu-satunya perempuan yang dicintainya terus terluka. Ia mulai merutuki pertemuan-pertemuan itu. Mulai melarangnya... tanpa menyadari luka yang ditorehkan kian dalam.
"Plak..." sebuah pukulan kembali menyadarkannya pada saat ini. "Pergi...pergi," aku tak mau melihatmu lagi.
Thursday, October 30, 2008
Wednesday, October 22, 2008
Senja
Jingga perlahan menelan langkahnya. Sore itu ia sudahi dengan enggan. Menatap jalan untuk terakhir kalinya dan setelah yakin tak ada bayangan datang, ia beranjak pulang. Begitu terus tiap petang. Mempertahankan harapan yang kini perlahan menjadi kebiasaan. Orang lalu lalang abai dari pandangan. Bukan mereka yang ia cari, meski belakangan pandangannya lebih banyak menerawang.
Ia dan dia. Dulu tak ada waktu yang dilewatkan tanpa bercengkrama bersama. Bukan lewat pegangan tangan layaknya muda mudi zaman sekarang, tapi hanya lewat tatapan. Perbincangan hening yang membuat saat-saat bersama berlalu tanpa terasa. Namun perkelahian senja itu menyudahi semuanya. Menghabiskan segala tawa yang pernah dibangun bersama. Adakalanya ia berharap dapat mengubah beberapa detik dari momen itu, namun dikala lain, ia memang merasa begitulah takdir menggariskan kisah hidupnya. Tanpa pernah ia tahu mengapa apa yang sebenarnya terjadi pada detik-detik yang kini menjadi selamanya.
Tanpa terasa ia berjalan melewati tempat-tempat mereka menghabiskan senja. Sejuta kenangan menyergap membawa sensasi akrab yang begitu dikenalnya. Mungkinkah dia merasakan hal yang sama? Dengan segera pikiran itu ditepisnya. Mungkin bukan dia yang benar-benar dicarinya, melainkan perasaan akrab yang dirindukannya: saat segala terasa mudah.
Sebuah tangan kecil perlahan membuyarkan lamunannya. "Pa, ayo pulang," ujar sebuah suara sambil mengaitkan jari-jarinya pada tangan ayahnya. "Ayo, nak." Ia masih berharap melihat sosok bayang istrinya yang meninggal di hari perkelahian mereka. Ingin rasanya ia meneriakan pada dunia, ia menyesal. Menebus semua kemarahan pada hari itu dengan melakukan segala hal yang membuat dia senang. Tapi kini semuanya terlambat.
Perlahan dilihat wajah gadis mungilnya yang mau memasuki sekolah dasar. Bayangan yang dicari-carinya terpatri diwajah putri mungilnya... Semoga aku belum terlambat.
Ia dan dia. Dulu tak ada waktu yang dilewatkan tanpa bercengkrama bersama. Bukan lewat pegangan tangan layaknya muda mudi zaman sekarang, tapi hanya lewat tatapan. Perbincangan hening yang membuat saat-saat bersama berlalu tanpa terasa. Namun perkelahian senja itu menyudahi semuanya. Menghabiskan segala tawa yang pernah dibangun bersama. Adakalanya ia berharap dapat mengubah beberapa detik dari momen itu, namun dikala lain, ia memang merasa begitulah takdir menggariskan kisah hidupnya. Tanpa pernah ia tahu mengapa apa yang sebenarnya terjadi pada detik-detik yang kini menjadi selamanya.
Tanpa terasa ia berjalan melewati tempat-tempat mereka menghabiskan senja. Sejuta kenangan menyergap membawa sensasi akrab yang begitu dikenalnya. Mungkinkah dia merasakan hal yang sama? Dengan segera pikiran itu ditepisnya. Mungkin bukan dia yang benar-benar dicarinya, melainkan perasaan akrab yang dirindukannya: saat segala terasa mudah.
Sebuah tangan kecil perlahan membuyarkan lamunannya. "Pa, ayo pulang," ujar sebuah suara sambil mengaitkan jari-jarinya pada tangan ayahnya. "Ayo, nak." Ia masih berharap melihat sosok bayang istrinya yang meninggal di hari perkelahian mereka. Ingin rasanya ia meneriakan pada dunia, ia menyesal. Menebus semua kemarahan pada hari itu dengan melakukan segala hal yang membuat dia senang. Tapi kini semuanya terlambat.
Perlahan dilihat wajah gadis mungilnya yang mau memasuki sekolah dasar. Bayangan yang dicari-carinya terpatri diwajah putri mungilnya... Semoga aku belum terlambat.
Monday, October 20, 2008
Order
Pijak... kata... biner
Anima/animus
atau
antara
Ketika semua berada dalam ketidakpastian
Pertentangan yang tak pernah sampai ketimbangan
Meninggalkan pendulum atau menantinya
terus dan terus
Menunggu
Berharap
Meski ketidakpastian datang hinggap
dan tahu ketidakpastian dan ketidakpastian tidak melahirkan kepastian
Anima/animus
atau
antara
Ketika semua berada dalam ketidakpastian
Pertentangan yang tak pernah sampai ketimbangan
Meninggalkan pendulum atau menantinya
terus dan terus
Menunggu
Berharap
Meski ketidakpastian datang hinggap
dan tahu ketidakpastian dan ketidakpastian tidak melahirkan kepastian
Thursday, October 09, 2008
Ketika Terpesona...
Adakalanya semua yang dilakukannya terasa sempurna. Seolah kau adalah segalanya. Namun di kala lain, perhatian itu menguap begitu saja. Tanpa bersalah atau pikiran akan ada yang terluka. Sementara ada yang menawarkan biasa. Kesediaan mendukung tanpa syarat dan juga tanpa kejutan yang akan membuatmu bagai seorang raja. Kadang kau akan merasa semua berlalu tanpa makna, namun saat dunia seolah berbalik kejam padamu, kau akan yakin bahwa ia akan senantiasa ada disampingmu untuk mendukung dan menyatakan bahwa kau tak pernah sendirian.
Bagaimana mungkin kau bisa begitu buta? Terpesona pada kilau sekejap yang hanya menawarkan kebahagiaan fana. Berharap akan keajaiban bahwa sekejap itu akan berubah menjadi selamanya. Tapi memang, pikiran tak selamanya mudah diajak kerjasama. Diperlukan usaha keras yang kadang menyakitkan untuk dapat menerima kenyataan dan kemudian belajar untuk tak lagi bergantung pada ketidakpastian.
Maaf kalau aku harus berhenti mempercayaimu... Ini hanya sebuah algoritma rasional atas dirimu, sebuah negasi atas semua kata-katamu padaku. Bukankah itu yang kau ajarkan padaku, agar aku belajar membaca, dan sekarang aku sedang membaca dirimu...
Bagaimana mungkin kau bisa begitu buta? Terpesona pada kilau sekejap yang hanya menawarkan kebahagiaan fana. Berharap akan keajaiban bahwa sekejap itu akan berubah menjadi selamanya. Tapi memang, pikiran tak selamanya mudah diajak kerjasama. Diperlukan usaha keras yang kadang menyakitkan untuk dapat menerima kenyataan dan kemudian belajar untuk tak lagi bergantung pada ketidakpastian.
Maaf kalau aku harus berhenti mempercayaimu... Ini hanya sebuah algoritma rasional atas dirimu, sebuah negasi atas semua kata-katamu padaku. Bukankah itu yang kau ajarkan padaku, agar aku belajar membaca, dan sekarang aku sedang membaca dirimu...
Subscribe to:
Posts (Atom)
Untuk Papa
Papa … Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat Tapi jasa papa tetap melekat Hangat itu tetap mendekap ...