Jingga perlahan menelan langkahnya. Sore itu ia sudahi dengan enggan. Menatap jalan untuk terakhir kalinya dan setelah yakin tak ada bayangan datang, ia beranjak pulang. Begitu terus tiap petang. Mempertahankan harapan yang kini perlahan menjadi kebiasaan. Orang lalu lalang abai dari pandangan. Bukan mereka yang ia cari, meski belakangan pandangannya lebih banyak menerawang.
Ia dan dia. Dulu tak ada waktu yang dilewatkan tanpa bercengkrama bersama. Bukan lewat pegangan tangan layaknya muda mudi zaman sekarang, tapi hanya lewat tatapan. Perbincangan hening yang membuat saat-saat bersama berlalu tanpa terasa. Namun perkelahian senja itu menyudahi semuanya. Menghabiskan segala tawa yang pernah dibangun bersama. Adakalanya ia berharap dapat mengubah beberapa detik dari momen itu, namun dikala lain, ia memang merasa begitulah takdir menggariskan kisah hidupnya. Tanpa pernah ia tahu mengapa apa yang sebenarnya terjadi pada detik-detik yang kini menjadi selamanya.
Tanpa terasa ia berjalan melewati tempat-tempat mereka menghabiskan senja. Sejuta kenangan menyergap membawa sensasi akrab yang begitu dikenalnya. Mungkinkah dia merasakan hal yang sama? Dengan segera pikiran itu ditepisnya. Mungkin bukan dia yang benar-benar dicarinya, melainkan perasaan akrab yang dirindukannya: saat segala terasa mudah.
Sebuah tangan kecil perlahan membuyarkan lamunannya. "Pa, ayo pulang," ujar sebuah suara sambil mengaitkan jari-jarinya pada tangan ayahnya. "Ayo, nak." Ia masih berharap melihat sosok bayang istrinya yang meninggal di hari perkelahian mereka. Ingin rasanya ia meneriakan pada dunia, ia menyesal. Menebus semua kemarahan pada hari itu dengan melakukan segala hal yang membuat dia senang. Tapi kini semuanya terlambat.
Perlahan dilihat wajah gadis mungilnya yang mau memasuki sekolah dasar. Bayangan yang dicari-carinya terpatri diwajah putri mungilnya... Semoga aku belum terlambat.
No comments:
Post a Comment