Apa mimpi kamu? Pertanyaan itu menari-nari terus dalam kepala layaknya sebuah layangan putus. Tak tentu, kadang ke kiri, ke kanan, lembut, tapi kadang melesat cepat, mengikuti permainan angin. Kalau sudah bosan kutinggalkan saja pemandangan itu, membiarkan ia lepas bebas. Namun adakalanya aku ingin menggulungnya, lalu mendekapnya erat hingga aku tahu mimpiku dapat kusentuh serta kukendalikan.
Kenapa sangat sulit mematri sebuah mimpi? Melukisnya dalam benak kemudian mulai meniti jalan setapak demi setapak. Mengorek kenangan mungkin mampu membantu merumuskan mimpiku. Dan salah satu bagian terbaik yang masih kuingat adalah masa kanak-kanak. Ketika dunia tampak cerah dengan satu warna. Tanpa beban maupun pikiran, dunia yang hanya mengenal tawa. Aku ingat ketika masih kelas 1 SD kami boleh bercerita di depan kelas mengenai apa saja. Saat itu aku memiliki kepingan batu dari tembok yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur. Potongan batu bersejarah penuh grafiti yang kubawa ke sekolah untuk kuperlihatkan pada teman-teman.
Kalau aku menggali ingatanku kembali pada masa itu, aku mengingatnya seperti kelas dalam cerita Totto-Chan. Sebuah kelas bebas, dan sangat tidak formal. Dengan dinding penuh gambar, langit-langit yang dihiasi prakarya, dan pojok ruangan terdapat pohon-pohonan dengan biji-biji pinus. Pelajaran di dalam kelas pun berlangsung bebas, tanpa sekat-sekat pelajaran. Penghargaan yang aku ingat jelas adalah ketika aku selesai mengerjakan tugas, lalu menyerahkannya kepada ibu guru. Setelah melihat pekerjaanku, aku biasa diberi stiker. Begitulah cara guru kami memberi penghargaan pada murid-muridnya. Kalau ada waktu luang, kami juga boleh bercerita dihadapan semua kelas mengenai apa saja.
Belajar terasa begitu menyenangkan, meski tentu saja waktu istirahat adalah saat-saat yang paling ditunggu. Di arena yang seingatku tidak begitu luas, kami bisa berlari-lari atau bermain otopet, engrang, yang disediakan oleh sekolah. Kami juga memiliki sepetak tanah yang ditanami oleh bunga-bungaan. Pada saat pelajaran bercocok tanam, kami memegang cangkul kami masing-masing dan mulai menggemburkan tanah bagian kami sendiri. Selain mengenal langsung alam, kami juga diajari untuk menyayangi binatang. Salah satu binatang yang paling sering ditangkap dan diamati adalah kepik merah. Aku suka menghitung bintik-bintik yang ada di punggung kecilnya.
Untuk pelajaran olahraga, kami harus berjalan agak jauh. Gedung olahraga tersebut terletak terpisah dari sekolah. Bangunannya besar, dengan alat-alat olahraga yang lengkap. Tali-tali yang menggantung untuk dipanjat, kuda-kuda pelana untuk dilompati serta berbagai peralatan olahraga yang biasa dipakai senam. Tapi karena kami masih kelas 1, kami biasanya banyak melakukan permainan sambil berlari-lari dan bernyanyi.
Di akhir pekan, biasanya aku menghabiskan waktu bersama ayah, ibu serta kakak. Entah jalan-jalan naik sepeda ke salah satu taman yang terletak di pinggir kota, atau pergi mengunjungi salah satu objek wisata. Bunga-bunga di musim semi, museum, taman hiburan atau juga miniatur-miniatur pesawat terbang. Ingatan-ingatan itu kini sudah cukup kabur. Namun tanteku pernah bercerita mengenai pengalamanku naik sepeda. Hingga kini cerita itu masih membuatku senyum-senyum.
Ketika baru belajar naik sepeda beroda dua, aku suka mengayuhnya dengan kekuatan penuh. Tapi aku tidak tahu bagaimana mengentikannya. Alhasil, ditengah rasa senang karena angin menerpa, dan rasa panik, aku biasa bersiul, dan tanteku yang mendampingi harus berlari-lari mengejarku. Aku jadi membayangkan kedua sepupuku yang mungkin kini tengah belajar bersepeda. Aku yakin mereka memiliki kisah yang tak kalah seru.
Tampaknya aku memiliki mimpi yang sederhana: melihat tawa anak-anak setiap saat. Mimpi yang membuatku merasakan konflik setiap kali melihat penjualan anak, sistem sekolah yang membuat seorang anak kecil harus membawa tas besar berisi buku-buku teks hingga lks, eksploitasi anak, serta anak-anak dengan riasan tebal di panggung diamati oleh puluhan pasang mata yang tampak siap menerkam sang anak. Meski kadang aku masih bisa menangkap cahaya di mata mereka, namun tetap saja ada sesuatu yang terasa asing. Sebuah jarak yang menimbulkan keraguan untuk memeluk, mencium dan mengatakan kau dicintai sebagaimana adanya.
Dalam sebuah artikel, aku pernah membaca anak-anak yang biasa menjadi korban, harus kembali belajar menjadi anak-anak. Belajar melepas curiga yang biasa menghinggapi pikiran mereka, belajar untuk merasa dicintai, dan belajar untuk diharapkan. Hingga penanganannya tak bisa sebatas memberikan sepenuh hati, melainkan juga dipenuhi dengan baku hantam. Bahasa yang kadang tak kupahami, karena aku selalu berpikir bahwa cinta bisa meruntuhkan segalanya, tapi ternyata tak sesederhana itu.
Kasih sayang ternyata juga bisa melahirkan konflik. Mulai dari yang paling sederhana, ketika orangtua menyuruh anaknya untuk mengikuti les ini-itu. Dengan alasan masa depan adalah globalisasi, persaingan tanpa pandang ras maupun agama. Sedangkan sang anak, baru belajar merangkak, berkata ma..ma.., rewel karena giginya mulai tumbuh, tapi sederet rencana sudah menunggunya.
Seiring dengan berjalan waktu, sang anak tak lagi dapat menangis sekendak hati. Ia harus mulai mengucapkan terimakasih, menggunakan segala sesuatu dengan ‘tangan baik’, dan geraknya tak lagi memancing decak kagum. Ia kini mulai belajar dunianya tak lagi miliknya sendiri. Ketika ia menangis di malam hari, ibunya tak lagi datang dan memeriksa keningnya, ia harus mulai bangkit dengan kakinya sendiri. Sekolah, sebuah tempat yang sering diceritakan ibunya menjelang saat ia harus meninggalkan tempat bernama rumah, juga tak selalu menyenangkan. Di sana ia selalu disuruh melakukan hal-hal baru, padahal ia tak mengerti untuk apa semua itu.
Suatu ketika ia menolak untuk kembali ke ruangan dengan bangku kecil berjumah 50 itu. Sang ibu malah memarahinya. Pandangan ibu yang biasa ramah, berubah menyeramkan. Ia tak mau melihat ibunya seperti itu lagi, ia takut, ia begitu kecil, ia hanya dapat menangis. Ah, cinta ternyata melelahkan. Sang ibu hanya takut anaknya nanti menjadi orang yang tidak berguna, yang terjerat pergaulan tidak benar, pengangguran dan menjadi sampah masyarakat, tapi cinta itu malah membuat buah hatinya menangis.
Aku jadi teringat puisi Sapardi yang berjudul aku ingin:
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Bagiku cinta tak pernah sederhana. Karena mencintai tak selalu berarti mengikuti, cinta bisa membuat seorang bahagia sebagaimana bisa mengakibatkan seorang menderita. Karena cinta, seseorang yang garang bisa menjadi lembut, maupun merubah seorang menjadi beringas. Cinta pula yang menyebabkan seorang ibu meneteskan airmata ketika melepas putrinya pada pemuda yang baru ditemuinya.
Aku masih harus belajar banyak, pada kejujuran anak-anak, pada ketulusan seorang ibu, perlindungan seorang ayah, serta kasihsayang-Nya yang betebaran pada setiap detil kehidupanku. Hanya kepada Sang Maha kupinta balasan yang terbaik.
1 comment:
Jadi guru TK aja Yut, enak.
Muridnya lucu2, masih pada polos.
Lagipula... Belum pernah ada Lokakarya Siswa TK loh seumur-umur. Jadi kita bisa tenang.
Post a Comment