Sunday, August 28, 2005

Kosmos dan Kesadaran

Kemarin ada studium generale(SG) menarik mengenai: Kosmos, Kesadaran dan Kompleksitas. Satu hal yang mungkin secara sederhana bisa aku tarik dari SG tersebut adalah, aku menyadari bahwa yang diungkapkan oleh pak The, kompleks dan membuat aku terbengong-bengong. Hehehe... ngga ilmiah banget, tapi diskusi kosmos dan kesadaran itu menurutku memang mengarah pada sebuah pencarian akan kesadaran yang lebih tinggi, sebuah tahap atau tingkatan yang sampai sekarang terus ditelusuri melalui jalan-jalan auto, mulai dari self-organize, evolusi, chaos, kondisi disipatif, entropi dan hal-hal lain.


Bagaimana kesadaran itu muncul? Karena berbicara dalam tataran ilmiah, biasanya kondisi yang ada di alam diterjemahkan dalam sebuah model. Mungkin karena kebanyakan baca buku-buku ‘filosofis’ atau malah gara-gara posmo ya(?), mendengar model kepalaku langsung dihinggapi kata-kata ideal-nyata, simulakra, eror, pendekatan dlsb. Terlepas dari akurasi sebuah model, alam ini sering dilekatkan dengan berbagai teori, mulai dari string, M, yang mengarah pada Theory of Everything, hingga yang mengambil jalur alam semesta ini merupakan sebuah komplesitas dimana partikel-partikel didalamnya hanya bisa diamati dari hubungan satu dengan lainnya(inter-relasi). Pandangan yang kedua aku lihat menganut semangat fisika modern, dimana segala sesuatunya adalah masalah probabilitas(seperti posisi partikel dan massa-nya tidak bisa ditentukan secara bersamaan, kalau ngga salah).


Belum lagi masalah dark matter, dan dark energy yang muncul dari kenyataan bahwa materi/pyshic yang teramati di kosmos selama ini hanya 5% dari keseluruhan. Hanya saja karena aku memang mendengar sepintas-sepintas, jadi aku tidak begitu paham bagaimana diperoleh angka 5% untuk menjelaskan bagian yang teramati, lalu zat seperti apakah yang 95%nya lagi? Apa seperti teori eter yang kemudian sudah patah? Atau seperti thayon(huaks, istilahnya bikin lidah keseleo plus ngga tau cara nulisnya)?


Bagian yang aku pahami mungkin pertanyaan atau malah gugatan terhadap film Terminator yang mengisahkan kesadaran robot hanya akan menyebabkan manusia pada kehancuran. Cuma karena aku pecinta damai, aku mikirnya kenapa harus konflik, kalau ada makhluk berkesadaran lain selain manusia kenapa tidak hidup berdampingan saja? Pikiranku lompatnya jadi agak jauh, yaitu ke trilogi The Lord of the Rings yang mengusung sebuah pesan bahwa untuk mencapai kesatuan diantara ras-ras diperlukan musuh bersama. Ironisnya, dari sejarah perang yang aku tahu, musuh selalu dilihat dari warna kulit, agama, dan hal-hal yang sangat fisik, kenapa musuh itu tidak dilihat sebagai sebuah sifat seperti kejahatan itu sendiri, kelaparan, kebodohan? Ah, entahlah.


Balik lagi, apakah kesadaran itu? Lebih jauh lagi, mungkinkah robot/mesin mencapai kesadaran? Larinya jadi agak ke artificial intelligent. Salah satu contoh yang pernah aku coba adalah ramona buatannya Kurzweil. Di web itu ada tokoh bernama ramona yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan. Sistemnya menggunakan jaringan, jadi kalau aku memasukkan pertanyaan, di layar muncul sejumlah keluaran, atau kalau misalnya aku memuji dia, dia akan bilang terimakasih(tentu saja semuanya dalam bahasa inggris:D).


Bagiku, artificial intelligent(AI) bukan berbicara mengenai kesadaran melainkan pengalaman atau proses belajar. Seperti sebuah robot yang dengan sistem AI dapat menangkap bola setelah sebelumnya berulangkali gagal. Robot itu hanya menyimpan data berupa sudut/derajat yang gagal untuk menangkap bola. Aku melihat kesadaran lebih ke arah perasaan. Jadi ketika pak Freddy membatasi fisik adalah segala hal yang berhubungan dengan matter--sehingga ruh orang yang meninggal tidak bisa ditentukan koordinatnya--begitu pula dengan kesadaran. Kesadaran tidak akan pernah dapat dimodelkan karena wilayahnya bukan lagi sekadar matter atau rangkaian logika yang bisa dibakukan melalui algoritma, melainkan sudah merambat ke hal psyche.


Waduw, sekarang nyambung ke masalah psikologi. Perdebatan yang aku ikuti belum mengarah pada sebuah kesepakatan, psikologi itu ilmu pasti atau bukan? Terlepas dari perdebatan itu, orang-orang senang membuat klasifikasi. Seperti yang dilakukan oleh Aristoteles--yang sepengetahuanku orang pertama yang membuat klasifikasi--tujuannya adalah untuk memudahkan. Begitu pula dengan psikologi yang kini banyak dipopulerkan oleh buku-buku kepribadian seperti personality plus maupun psikotes. Karakter maupun penilaian akan seseorang dilakukan dengan metode tertentu sehingga memungkinkan bagian HRD di perusahaan dapat membaca seseorang dalam sesi wawancara singkat.


Tidak hanya alam, manusia pun masuk dalam pemodelan. Dengan kata lain, kita hidup dari sebuah model ke model yang lain. Dari model, kita kemudian berbicara mengenai sistem, apakah sistemnya terbuka atau tertutup. Salah satu hal yang lucu dari pandangan yang mengatakan alam semesta ini didekati dengan kompleksitas adalah orang-orang masih ngotot menetapkan sebuah model. Sudah semrawut, dan ditemukan berbagai chaos, tetap saja para ilmuwan itu bahagia dengan ditemukannya kondisi disipatif(kemunculan struktur pasca kekacauan), atau penjelasan mengenai kondisi entropi.


Matematika sendiri saja yang disebut sebagai ‘anak’ dari aritmatik, gagal untuk diformalkan. Dengan kata lain, matematika adalah ilmu tidak formal. Dalam penafsiranku, informal ini adalah ruang untuk melakukan ‘chaos’ pikiran. Karena menurut pak The, saat kreatif seseorang adalah lim t menuju chaos(huahaha... kayanya aku sedikit keracunan deh), tapi tetap saja untuk dapat menulis makalah/produktivitas diperlukan peredaan chaos. Dalam psikologi, aku menemukan hal yang mirip, yaitu keadaan theta. Keadaan theta merupakan keadaan dimana kita bisa bermimpi(adanya mimpi atau tidak diukur dengan Rapid Eye Movement). Nah, karena kreativitas ini muncul dalam keadaan yang tidak memungkinkan, maka ide-ide itu harus diredakan dan dibawa dalam kondisi alpha, yaitu keadaan rileks. Nah, peradaan chaos ini aku analogikan dalam keadaan alpha.


Hubungannya dengan matematika adalah, selain bentuk pembiasaan seperti yang bisa dilakukan oleh AI, matematika juga mengandalkan pada inspirasi. Hal inilah yang kuterjemahkan oleh bentuk informal yang disebutkan pak The(ngga tau benar apa ngga). Karena itu pula pendiri math seperi Descartes bisa memperoleh inspirasi di depan tungku perapian, atau kisah Newton dan Archimedes dengan apel dan bak mandinya dapat terjadi. Informal banget....


Yang sedikit mengerikan mungkin kekalahan manusia melawan komputer catur. Tapi tetap saja bagiku peristiwa tersebut tidak menjelaskan kesadaran. Sama saja seperti kalau aku dibandingkan dengan Mbah Goo, pasti mbah Goo punya lebih banyak informasi. Namun bagaimana merasakan kayanya aku masih jauh lebih canggih. Mungkin saja sih, mbah Goo bisa gombal dengan menampilkan puisi tapi itu hanya peniruan dari informasi mengenai kebiasaan manusia.


Dari usaha pemodelan yang dilakukan oleh para ahli, baik fisikawan maupun psikolog, aku tetap menolak untuk dimodelkan. Karena manusia begitu istimewa...

2 comments:

Anonymous said...

..Kesadaran tidak akan pernah dapat dimodelkan karena wilayahnya bukan lagi sekadar matter atau rangkaian logika yang bisa dibakukan melalui algoritma, melainkan sudah merambat ke hal psyche.

.. ini teorema Godel ya Yut? Kapan ya ada SG lg .. :-) Arie

Anonymous said...

Yup, dari Godel dengan teori ketidaklengkapannya. Iterasi menuju tak hingga...

Seperti pernyataan:
Semua orang adalah pembohong

Mesinnya rusak deh..

-yuti

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...