Waduw... ternyata non-linier itu merepotkan banget. Pas mau ngambil TA aku mikir-mikir enaknya ngambil apa ya? Saat itu yang melintas di kepala adalah sistem dinamik, karena bacaanku kebanyakan lagi membahas hal itu. Tapi karena satu dan lain hal, akhirnya aku ngambil shock waves. Eh, tau-tau sekarang menghadapi masalah entropy, non-linier dkk. Bahkan di buku From Order to Chaos, aku baca interaksi beberapa wave(dalam pembahasan sistem hydrodinamic) menyebabkan perilaku chaos. Dari segi semangat seneng, tapi dari segi pengerjaan jadi rada belepotan, abis emang jadi rumit.
Entah kenapa aku seneng banget dengan chaos, kompleksitas dan fraktal. Mungkin karena sering dapet dongeng tentang itu. Dan karena judulnya didongengin, persamaan-persamaannya ngilang semua, yang tersisa hanya cerita bagaimana fenomena-fenomena di alam ternyata memiliki kaitan satu sama lain. Hmm... intinya sih, sains yang kita pelajari sekarang ini sebenarnya dipecah-pecah menjadi bagian-bagian dengan simplifikasi tertentu. Masalahnya, realitas di alam tidak pernah sederhana. Hal inilah yang menyebabkan ramalan cuaca selamanya menjadi sebuah ramalan, dan tidak pernah menjadi sebuah kepastian.
Hal lain yang menarik dari chaos dari kacamata akedemik adalah, batas-batas keteraturan yang ada didalamnya. Seperti yang pernah kutulis dalam Chaos, dengan menggunakan geometri fraktal, kita bisa melihat sebuah pola dalam fenomena yang pada skala mikro tampak tidak teratur. Kalau dipikir-pikir, aku koq jadi kaya orang sosial gini. Abis rasa skeptiknya kurang banget, seharusnya kan aku harus bisa menurunkan rumus-rumusnya, dan merasakan keindahan chaos dari segi keteraturan dari rumus-rumus yang ada? Gawat nih, status matematikku dipertanyakan berat.
Aku jadi teringat percobaan Alan D. Sokal ke jurnal Social Text. Dalam percobaan sosialnya itu ia berkesimpulan, orang-orang di jurnal itu ngga kritis. Karena teori-teori fisika yang beliau gunakan untuk melegitimasi beberapa fenomena sosial banyak salahnya. Dalam tulisan yang beliau buat untuk mengulas percobaan sosialnya tersebut, beliau menyebutkan jurnal tersebut memasukkan mentah-mentah apa yang ditulisnya karena mendukung ideologi/keyakinan mereka akan adanya benang merah antara fisika dan sosial.
Nah, kalau aku nulis kesamaan antara sains dan ilmu sosial tanpa mengerti persamaan-persamaannya artinya aku menempatkan diriku sebagai orang sosial. Bukannya mau memisah-misahkan apalagi membangun konflik, tapi setiap peneliti memang harus kritis. Bagiku pribadi, kasus Sokal bisa ditafsirkan dalam dua narasi. Yang pertama, orang dari jurnal ST melihat latarbelakang Sokal yang mumpuni di bidang fisika sehingga teori-teori yang digunakannya tidak dicek lagi. Kemungkinan kedua, seperti yang dituduhkan Sokal, yaitu kurang kritisnya editor jurnal tersebut untuk melihat permasalahan yang sesungguhnya.
Sebenarnya keadaan itu bisa dijembatani kalau ada niat baik dari keduanya. Karena dalam wacana sosio-sains ada dua kubu besar. Pihak pro integrasi, dan pihak kontra yang menganggap ilmu sosial sangat subjektif sehingga tak bisa diintegrasikan dengan sains. Ketika kuliah KIS yang banyak menggunakan tools dari ranah sosiologi, perbedaan mendasar ini dibenarkan. Saintis menyebut bahan penelitiannya sebagai objek, sedangkan orang sosial menyebutnya subjek, yang kemudian berpengaruh pada keluarannya.
Terlepas dari dua kubu tersebut, dalam buku From Order to Chaos, Kadanof(seorang fisikawan teoritis yang mendalami chaos dalam mekanika sederhana dan fluid-system) mengaplikasikan ilmunya dalam pembuatan kebijakan publik, pembuatan model untuk pemasaran buruh di perkotaan dan pengembangan kebijakan, serta dalam pembuatan model kurva pertumbuhan.
Mungkin model yang dibuat tidak sepenuhnya ideal(baca: representasi kondisi riil). Namun ketika berbicara tataran konsep dan implementasi, bagiku semua memang merupakan pendekatan terhadap kondisi ideal(inget lagi simulakra). Dalam manajemen sendiri, ada sebuah buku yang menggunakan sistem dinamik dalam problem solving: The Fifth Dicipline(aku lupa nama pengarangnya). Melihat beberapa penerapan ilmu sains dalam ranah sosial, aku bisa bilang, “Matematika sebenarnya adalah ilmu bernalar.”
Hehehehe... pembelaan diri karena udah beberapa jam gagal menurunkan rumus:(
1 comment:
Iya, soalnya kalau mau masukin persamaan-persamaan ke blog ribet banget plus ngga enak dibaca. Jalan satu semester, baru diberi dasar-dasar dari buku non-linier pde. Keluarannya untuk mengkaji masalah entropi atau ngga interaksi dua buah shock wave(kata dosennya). Persamaan linier yang dipakai adalah persamaan Burger.
Saya belum baca buku 'Scientology', cuma pernah dengar kata itu dari Tom Cruise:D
Post a Comment