Di pinggir jalan setapak, dekat batang-batang besi yang dicat hijau, tampak seorang perempuan tua dengan kucing. Kadang seekor, kadang juga lebih, tak pasti. Kucing-kucing itu biasa menemaninya menghabiskan pagi. Kalau ada rejeki lebih, perempuan tua itu biasa membagi nasi bungkusnya dengan kucing-kucing yang ada di sekitar. Tak jarang, ia sengaja menyisakan nasi dari bagiannya sendiri. Saya tak bisa berkata perempuan tua itu makan berlebihan. Ia hidup dengan mengandalkan kedermawanan orang yang lalu-lalang.
Pagi hari, perempuan yang wajahnya sudah dipenuhi kerut-kerut usia itu biasa menyapu sekitar tempat ia biasa menggelar karton-karton usang, dilapis kain batik yang telah memudar. Kalau udara pagi cukup dingin, ia biasa duduk dengan kain disampirkan hingga menutupi rambutnya yang sudah memutih, dan kucing di pangkuan. Kucing-kucing itu biasa menemaninya di pagi hari. Suatu kali, saat tak ada seekor kucing pun menemaninya, saya melihat perempuan tua itu memanggil-manggil si pus, entah mau diajak makan bersama atau saling mengisi dalam kebisuan.
Pemandangan pagi itu selalu menarik perhatian saya. Suatu kali saat saya mengelus kucing yang biasa menamaninya ia berkata, “Dibawa pulang aja neng.” Sambil memberikan alasan agar kucing-kucing itu bisa makan dengan layak. Saat itu saya menolak dengan kata-kata pertama yang melintas dalam benak. Saya terkejut mendengar ucapan perempuan tua itu.
Bisa kau bayangkan, kebisuan yang biasa tercipta kala saya melewatinya runtuh seketika hanya karena seekor kucing? Dua orang yang saling tidak mengenal, beda generasi, dan mungkin tidak memiliki kesamaan sama sekali, menjadi saling menyapa hanya karena kucing. Makhluk berbulu yang kemalasannya pantas masuk rekor. Ya, itulah makhluk yang sedang saya bicarakan, makhluk berkaki empat, berbulu lembut, dengan mata yang selalu tampak tanpa dosa, dan karenanya telah menjinakkan hati perempuan tua itu, dan juga hati saya.
Saya suka terkagum-kagum dengan kehidupan ini. Bagaimana Sang Maha menebarkan kasih-Nya lewat detil-detil kehidupan. Lewat kucing-kucing yang mengajarkan arti keberadaan bagi perempuan tua, dan bagaimana perempuan tua itu mengajarkan arti bersyukur untuk saya. Fragmen-fragmen kehidupan yang seolah terjadi secara acak, tidak terduga, namun memberi makna yang mendalam.
Kehadiran sosok-sosok seperti perempuan tua itulah yang menyadarkan saya kembali, bahwa manusia menjadi utuh dengan berbagi, bahwa kebahagian lahir dari kegunaan kita bagi makhluk lain, untuk kucing sekalipun, dan bahwa kasih Sang Maha mewujud dalam segenap ciptaan-Nya. Kau, perempuan tua, dan saya, yang senantiasa berada dalam samudera kasih dan sayang-Nya.
2 comments:
that's wonderfull...u like an angle.
btw...kucingnya jadi diambil ga?serius gw pengen banget punya kucing lagi..tapi ga boleh ma bu kost :(
ooh...
Post a Comment