Saturday, October 29, 2005
Iqra!!
Pulang bukannya mengistirahatkan pikiran, malah makin menggila seperti ini. Aku jadi mikir, aku ini senang dengan struktur atau ngga ya? Dari beberapa buku yang aku baca, aku menemukan sebuah pola yang sama. Hal menarik yang aku peroleh dari buku pak Onno adalah adanya semangat untuk mengandalkan pengetahuan berbasis komunitas, dimana masing-masing orang memiliki satu suara. Apa yang disampaikan dalam buku tersebut, mirip dengan yang aku tangkap dari Capra dengan kehadiran NGO-NGO yang cukup besar. Keberadaan NGO maupun milis-milis(yang membentuk komunitas maya), diyakini sebagai sebuah usaha untuk ‘melawan’ kekuasaan sentral, seperti pemerintah maupun negara adidaya.
Ilustrasinya aku ambil dari bidang ekonomi saja. Selama ini sistem ekonomi yang digunakan selalu menggunakan mekanisme pasar yang berorientasi pada profit. Padahal dari sejarahnya mekanisme pasar ini mengalami perubahan dari pasar idealnya Smith ke Keynes yang melibatkan campur tangan pemerintah sampai tahap tertentu. Meskipun mekanisme ini pada awalnya hanya dimaksudkan untuk mengakomodasi kepentingan perdagangan, namun pengaruhnya secara tidak langsung mempengaruhi sosio-kultural masyarakat(sebagaimana dalam hierarki Maslow, dimana kebutuhan fisik menempati tingkat pertama).
Padahal selain cara pandang kapitalis di atas yang mendominasi para ekonom Amerika, ada pemikiran-pemikiran marjinal yang tidak sepakat dengan kapitalisme. Salah satunya keluar dari pemenang Nobel ekonomi dari Amerika(tapi aku lupa nama dan tahunnya :-( ). Keberadaan pemikir-pemikir marjinal inilah yang oleh Capra merupakan jawaban bagi dominasi yang dilakukan lembaga-lembaga bank dunia dibawah kontrol negara adidaya. Analog dengan kehadiran milis-milis berbasis komunitas yang mempermudah dan mempercepat terjadinya proses transfer ilmu dan menggantikan peranan penguasa dengan orang pintar.
Hmm… kayanya alur berpikirku agak lompat-lompat(as usual). Beberapa hal yang aku tangkap dari pemikiran pak Onno maupun Capra, yaitu: kebutuhan akan adanya diversifikasi informasi/kekuasaan, kemudahan akses informasi, perlunya kajian inter-disiplin dan pengetahuan berbasis komunitas. Hal ini aku tangkap mungkin terwujud dengan adanya management knowledge yang baik.
Salah satu contoh management knowledge yang baik aku peroleh dari jurnal APEC. Pada akhir tahun 1998, Canada telah menghubungkan 16.500 sekolah dan 3.400 perpustakaan, kemudian menyediakan satu komputer on-line di tiap kelas pada akhir tahun 2000. Usaha ini sejalan dengan prinsip management knowledge yang terbagi menjadi: tacit(implicit knowledge), explicit knowledge, dan potential knowledge. Tacit yang aku pahami lebih mengarah pada proses pengalaman, seperti ‘aha experience’ yang kita alami ketika melakukan diskusi ataupun sedang ditutor. Sedangkan explicit knowledge adalah segala hal yang berasal dari informasi yang diberikan(seperti: transfer guru ke murid, dosen ke mahasiswa, buku ke pembaca, web ke pengguna dll). Potential knowledge merupkan pengetahuan tingkat lanjut yang bagiku berarti dapat berguna bagi orang lain(pemahamanku tentang yang satu ini masih minim banget).
Kebutuhan akan adanya diversifikasi informasi memang bisa terjawab dengan kehadiran dunia maya, sebagaimana yang banyak disinggung dalam Filosofi Naif. Namun satu hal yang masih mengganjal dalam benakku adalah masih rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia yang dengan sendirinya melakukan seleksi alam terhadap para pengguna internet dan situs-situs yang dikunjungi. Contoh sederhana di warnet(yang didominasi oleh SMA-mahasiswa), bisa dipastikan salah satu window yang terbuka adalah Friendster, bukan situs-situs seperti MIT, Kurzweil, Scientist, dll.
Semangat one man one vote yang mungkin terwujud via dunia maya memang ideal. Apalagi hal ini mampu mengurangi galat akibat adanya orang-orang munafik(tidak amanah, khianat, dan ingkar) yang mengikrarkan diri sebagai perwakilan rakyat. Namun tetap saja ada tugas besar agar keadaan ideal itu bisa terwujud, yaitu: pencerdasan tiap manusia Indonesia(contoh penyangkalnya tinggal ambil sembarang elemen warga Indonesia, tunjukkan elemen tersebut belum bersekolah, dan dengan mudah hal tersebut terbukti. Hehehe, still try to make math down to earth).
Di Finlandia, pendidikan sepenuhnya gratis. Di Indonesia, pendidikan masih diletakkan dalam kacamata ekonomi dengan orientasi profit. Bisa dibayangkan mahalnya pendidikan, uang untuk membeli baju, sepatu seragam dan buku-buku teks yang acap berganti sesuai KBK. Belum ditambah keberatan dari orangtua yang mengandalkan anak-anaknya untuk turut mencari nafkah.
Hal mencerahkan aku dapatkan dari pengetahuan berbasis komunitas, yang implementasinya aku temukan di sekolah-sekolah alternatif. Keberadaan rumah singgah dengan pendidikan alternatif cukup mencerahkan. Beberapa kisah yang aku baca mampu menghantarkan anak-anak itu memperoleh kehidupan yang lebih baik. Tak jarang mereka menjadi pengajar disana dengan semangat memberikan kesempatan yang sama bagi anak-anak yang mengalami nasib serupa.
Pengetahuan eksplisit yang kita peroleh dari bangku formal memang berharga, apalagi dalam tataran struktur legal formal. Namun pendidikan bagiku tidak hanya berbicara mengenai ijazah yang berguna untuk melamar pekerjaan, lebih dari itu, untuk pembentukan karakter. Bagaimana seseorang memandang dirinya, orang lain, dan kehidupan ini. Bagiku itulah yang disebut pengetahuan: kekuatan untuk menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain.
Mengutip kata-kata favorit dalam buku pak Onno: “Knowledge is power. Share it and it will multiply.”
Wednesday, October 26, 2005
LaTex, Linux, Brontok
Aku sampai punya ciri tambahan mengenai ciri-ciri orang sabar: bisa menulis persamaan matematik yang membutuhkan banyak index menggunakan equation object. Asli, kacau banget. Udah lama, jelek lagi. Alhasil mood-ku melayang entah kemana. Jadi tadi malem bukannya ngerjain bahan presentasi, aku malah main-main dengan LaTex. Hehehe... ternyata menyenangkan, apalagi aku punya beberapa contoh yang udah jadi. Dengan sedikit perubahan, aku udah bisa bikin persamaan yang rumit. Dan yang bikin aku seneng, tampilannya di Adobe jadi bagus banget. Aku jadi kaya punya mainan baru. Nulis-compile, nulis-compile, gitu terus beberapa kali. Trus udah bisa juga meng-include-include. Hipi... seneng...
Linux belum sempat aku coba, karena masih harus ngejar yang lain. Tapi tadi pagi, aku sudah bisa membuka kedok si brontok jelek, dan mengenyahkannya dari kompie-ku, by my own... Huaha.. rekor besar buatku sebagai manusia yang baru belajar mengenal teknologi. Soalnya selama ini aku hanya pengguna aja, ternyata belajar dan bermain hanya memiliki batasan yang tipis.
Kalau ada yang bilang, kemajuan suatu bangsa dilihat dari para pendidik, keadaanku juga sama. Thanks banget buat Ales dan Zaki(hmm.. tapi aku belum bisa bikin link;p)
Wednesday, October 19, 2005
TA
Ternyata TA bisa bikin panik juga. Antara bingung target yang harus aku capai sampai TA itu ngapain. Gila kan, udah jalan nyaris satu semester, tapi aku belum dapat kejelasan TA-ku itu mencakup apa saja. Tujuan, latar belakang udah dapet(setidaknya aku menganggapnya seperti itu), tapi lebih dari itu masih lumayan ruwet. Hobiku untuk membaca bahan-bahan berkaitan dengan shock wave ngga membantu banyak. Jadi berkaitan dengan TA ini aku punya kebiasan baru, mengetikkan berbagai gabungan kombinasi kata di Mbah Goo. Lax-Friedrichs-Lewy+shock wave, finite difference, compressible flow, numeric+shock wave dll. Belum ditambah referensi dari buku, yang membuat tumpukan informasi di kepalaku makin rumit.
Sebenarnya masalahnya sederhana koq, tinggal nanya ke dosen. Kalo dulu masih rada jaim, sekarang pertanyaannya udah lucu-lucuan aja. Kaya kemarin, pas nunjukkin gambaran besarnya, “Pak, saya udah berada di jalur yang benar belum?” Pertanyaan to the point itu jauh lebih baik daripada merasa sudah paham ternyata salah besar. Meski tetap aja ada perasaan sedikit ngeri ketika melihat alur berpikirku diperiksa kata demi kata. Di depan mata kepalaku sendiri lagi. Tapi bagusnya kaya gitu, aku jadi bisa mempertahankan apa yang kutulis(meski ada satu bagian yang aku sendiri bingung bacanya karena hasil terjemahan, akhirnya aku cuma bilang, “Wah, kayanya saya nerjemahinnya kacau, Pak,” sambil nyengir).
Hmm… aku merasa alur ceritanya udah dapat. Dimulai dari persamaan diferensial non-linier yang memiliki solusi diskontinu(shock wave). Solusi tersebut bisa diperoleh dengan menggunakan operator atau melalui beda hingga. Nah, aku mencari solusinya melalui beda hingga. Trus, tujuan dari TA-ku adalah memperoleh ketunggalan solusi melalui beda hingga, khususnya menggunakan skema Lax-Friedrichs.
Skema L-F ini stencilnya berbentuk segitiga. Bentuk ini sesuai dengan konsep daerah ketergantungan dari persamaan diferensial awal. Dari sana, feel untuk membuktikan ketunggalan solusi shock wave melalui beda hingga berasal. Yang membuat aku bingung adalah apa aku tinggal mengikuti alur di buku Smoller mengenai pembuktian ketunggalan solusi? Kalau iya, TA-ku ngga rame banget. Memang untuk itu aku perlu banyak tools yang berasal dari analisis, aljabar, kompleks, tapi tetap aja aku merasa ngga melakukan hal yang sophisticated.
Apalagi dari banyaknya referensi yang udah aku baca, kayanya ngga mungkin kalau cuma mengikuti langkah-langkah yang ada di satu buku(oke-lah ditambah beberapa buku tambahan untuk definisi). Hmm… jangan-jangan masalahku selama ini adalah karena merasa seharusnya bisa lebih canggih dari ini? Hanya masalah PERASAAN. Krik..krik… gawat!!! Mayday..mayday… Yuti memanggil bumi.. roger. Analisa: mode on.
Kemarin aku abis ikut seminar/diskusi mengenai citra media muslim(sekitar itulah judulnya). Jadi aku akan mencoba menganalisis diriku dengan tool: semiotika. Selama ini citra yang terbentuk di kepalaku, TA adalah semacam mahakarya sebelum meninggalkan bangku kuliah. Meski pas awal banget(sekitar setahun yang lalu), dosenku bilang kalau TA bisa juga seperti mengerjakan soal biasa. Tapi karena di kepalaku sudah ada citra lain mengenai TA, kayanya aku(atau lebih tepatnya isi kepalaku) melakukan penolakan terhadap informasi baru itu.
Penanda(materi): TA
Petanda(konsep mental): suatu peninggalan yang keren
Nah, karena kepalaku masih dipenuhi oleh citra bahwa TA adalah suatu hal yang keren, ditambah fakta aku termasuk bookaholic, aku masih tidak percaya kalau TA bisa sesederhana mengikuti alur yang sudah ada di sebuah buku. Apalagi kalau referensi bukunya tidak mencapai 10. Bagiku gambaran seperti itu agak tidak masuk akal. Waktu SMA aja, ketika bikin karya tulis, referensi tulisanku sampai satu setengah lembar. Apalagi ini, yang penggarapannya memakan waktu resmi 2 semester. Tapi sekali lagi ini hanya masalah citra. Sekarang aku coba menggantikan petanda yang sudah mengendap di kepalaku selama ini dengan jawaban yang diberikan dosenku(dengan asumsi: kepalaku berhasil di brainwash dan akhirnya menerima informasi asing itu).
Penanda: TA
Petanda : syarat kelulusan mahasiswa S1 dan ngga perlu mengetengahkan hal baru
Cring..cring.. proses olah data(loading agak lambat karena masih sulit menerima kenyataan itu). Ok, TA gw beres man… tinggal agak rajin ngobrak-ngabrik equation object karena banyak banget simbol-simbol math-nya.
Analisa: mode off.
Dari hasil baca-baca skripsi yang ada, jumlah referensi beragam, ada yang cuma enam(E-N-A-M!, masih susah untuk percaya), sampai yang duapuluhan. Bab-babnya juga macam-macam, yang teoritis lebih mirip buku teks, sedangkan yang terapan sesuai citraku selama ini, ada masalah, dan pemecahan. Tampaknya aku tinggal rajin-rajin bimbingan biar berada di jalur yang benar dan (semoga) bisa cepat beres.
Sunday, October 16, 2005
Mom..
Minggu ini pulang lagi ke Serpong. Baliknya lumayan mendadak, Jum’at jam 11-an masih asyik di kampus(lebih tepatnya masih sibuk dengan bunyi tring..tring ym, dan beberapa windows yang terbuka), tiba-tiba kepikiran untuk pulang aja. Soalnya pas kuliah alin(aljabar linier) tadi dapat selebaran dari tentang membahagiakan orangtua, ditambah salah satu tulisan di Diary Project berjudul: “Ma, Maafkan Aku..”, jadi mumpung bisa pulang kenapa ngga. Sambil itung-itungan jam, kayanya masih sempat untuk ngejar buka di rumah.
Sambil mempercepat langkah kaki, ke sekre sebentar untuk mengundur waktu traktiran, trus lari ke tempat parkir sambil berdoa belum dikunci. Sampai di bawah, gerbangnya udah dalam posisi tertutup. Waktu udah menunjukkan waktu setengah dua belas, tapi untung aja masih ada petugasnya yang membukakan pintu. “Fiu…h, nyaris aja.”
Sampai di rumah, buru-buru masukin barang-barang yang perlu dibawa pulang. Buku-buku bahan TA, Alin, dan segala peralatan standar: charger hp, dompet, dan pinsil. Akhirnya, yup, siap pulang. O iya sebelum itu, pamit dulu ama Oma. “Ma, pulang dulu.” Cium pipi kiri-kanan, trus cabut. Bener-bener ngejar waktu, biar ngga kesorean di jalan.
Lumayan juga, sekitar jam 6 lewat aku udah sampai. Kebetulan ibuku lagi ada acara buka bareng di kantor, jadi kepulanganku belum diketahui. Pas ibuku pulang, “Momyy…”. Yes!! Bisa bikin mama terkejut. Ibuku Sabtu kemarin ulangtahun. Tadinya mikir mau kirim MMS aja, atau nelpon, tapi setelah dipikir-pikir mending aku-nya aja yang sekalian balik.
Meski minggu lalu udah balik, tetap aja suasana rumah merupakan kondisi tidak biasa. Kondisi ruang-waktunya aneh. Abis di rumah rasanya waktu berjalan sangat cepat, tau-tau weekend sudah habis dan aku harus balik ke Bandung, padahal rasanya belum ngapa-ngapain. Atau hanya mengisi waktu dengan melakukan kegiatan-kegiatan sederhana seperti nonton televisi, rasanya sudah senang banget. Selain kondisi tidak biasa itu, keadaan di Serpong juga sangat subur bagi kemunculan ide-ide.
Kali ini aku berpikir tentang anak-anak, kompensasi, dan karakter. Pemicunya acara Oprah Show(16/10) tentang Super Nanny. Acara yang mampu menggulirkan diskusi diantara aku, ibu dan kakak. Sambil diskusi, otakku juga ngga mau diam. Ternyata membesarkan anak sulit banget. Apalagi aku juga sedang membaca I don’t know how she does it dan Anak-anak pun Berfilsafat. Buku pertama covernya mirip chicklit, isinya mengisahkan seorang ibu sekaligus perempuan karier. Kerumitan membagi waktu, konsentrasi serta perhatian menjadi fokus dari buku itu. Sedangkan buku kedua bercerita tentang bagaimana anak-anak(usia 4-10 tahunan, kalo ngga salah) ternyata seorang filosof sejati(ngga heran Gardner sering menggunakan anak-anak di buku-bukunya).
Hal yang mengindikasikan hal tersebut adalah pertanyaan-pertanyaan sederhana yang diajukan oleh anak-anak ternyata memiliki kesamaan dengan masalah-masalah filosof besar dunia. Asli, anak-anak ternyata kompleks banget. Merupakan sebuah keajaiban menyadari aku sudah melewati tahap itu dan menjadi seperti sekarang ini. Padahal melihat permasalahan yang ditimbulkan anak-anak pada orangtuanya, perjuangan orangtua antara mengikuti semua keinginan anaknya dan menetapkan batasan-batasan bagi kebaikan anaknya merupakan suatu hal yang berat. Dari salah satu contoh keluarga yang masuk acara Oprah, diperlihatkan sang ibu tak mampu menahan air mata ketika ia dilarang oleh Nanny untuk mendekati anaknya yang sedang menangis.
Benar-benar ngga kebayang. Ajaibnya, kalau banyak sekolah yang mengajarkan ilmu-ilmu sosial, eksak, ngga ada satu sekolah pun yang mengajarkan bagaimana cara menjadi seorang ibu yang baik. Harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mengapa awan berwarna biru, sampai masalah Tuhan. Menjadi tegas namun sekaligus lembut.
Friday, October 14, 2005
Book Review
Apakah aku mulai melakukan identifikasi? Tampaknya hal itu tidak terhindarkan. Tiap kali seseorang membaca buku, ia pasti melakukan perbandingan-perbandingan atas tokoh-tokoh yang ada didalamnya, pantulan jalinan cerita dengan kehidupannya sendiri. Itulah mengapa dalam sastra, ada ungkapan ‘pengarang telah mati.’ Pengarang tak memiliki otoritas atas penafsiran yang tunggal, pembaca memiliki interpretasi personalnya sendiri. Bagiku hal itulah yang kadang membuat sastra jauh lebih menusuk dibandingkan buku-buku teori.
Apakah segala hal yang berasal dari sayang harus berakhir dengan kebencian? Sebuah batasan tipis yang bisa berubah dalam seketika? Hubungan yang begitu rapuh hingga dalam luapan kebersamaan tersimpan benih-benih keterasingan akibat pertengkaran? Hari-hari resah yang terkadang berselimutkan air mata namun disaat yang sama membuat perasaan membuncah? Test-test untuk membuktikan curiga namun sekaligus meluluhlantakkan segala rasa?
Sampai kapan semua itu akan berlangsung? Tawa-tangis, kangen-bosan, percaya-bimbang, berubah terus menerus hingga akhirnya tak ada lagi yakin tersisa. Pijakan yang telah terukir lama sebelum kau memulai ini semua, kini nyaris tak bersisa. Kau hanya mengikuti sedikit antusias yang tertinggal, meski kini kau tak tahu lagi kemana ini semua akan bermuara. Serumit itukah?
Aku lelah, sekaligus marah, tapi lebih lagi, itu hanya sebuah cerita. Kenapa cerita itu mampu menghadirkan gundah? Sepotong ego yang tertohok, permainan yang kini sudah keluar jalur, dan tiba-tiba menjadi tidak lucu lagi? Sebuah kebiasaan akrab yang kini tiba-tiba diluar kontrol?
It's only a book...
Wednesday, October 12, 2005
HP
Coba tebak, kalimat apakah ini:
iclo csc lcccr
Hmm... yang jadi masalah lebih besar lagi, bagaimana caranya ya orang tau kunci pemecahannya(selain dari membaca blog)?
Monday, October 10, 2005
Nama : Yuti Ariani
Usia : 22 tahun
Jum’at lalu aku pulang ke rumah. Perjalanan di kereta aku gunakan untuk tidur dan baca Relativitas-nya Einstein. Buku itu lumayan cocok untuk dibaca di kereta karena untuk menerangkan konsep relativitas, Einstein banyak menggunakan contoh kereta sebagai ilustrasi. Namun meski sudah disebutkan bahwa buku itu diperuntukkan untuk orang awam tetap saja membutuhkan konsentrasi tinggi untuk membacanya. Alhasil aku hanya mampu mencerna beberapa bagian, dan sisa waktu aku gunakan untuk melihat pemandangan.
Aku senang dengan perjalanan. Sendiri, hening dan memberikan banyak kesempatan untuk berpikir, merenung dan mencoba merangkai segala kejadian yang telah kualami. Ada saatnya pengalaman itu enak untuk disimpan, tanpa dokumentasi. Setiap kali aku membutuhkannya, aku hanya perlu diam sejenak dan mengingat segalanya sebagaimana yang kuinginkan. Namun ada saatnya aku senang mengabadikan momen lewat tulisan maupun gambar. Bahkan saat aku masih sering menulis catatan harian di buku, dengan melihat gaya menulis, kedalaman guratan bolpen, kerapihan, aku bisa mengenang emosi yang aku rasakan saat menuliskan rangkaian kata tersebut.
Ah, teknologi telah banyak menggantikan hal klasik. Kini kalau tidak menghadap layar kompie, ide rasanya tidak mau mengalir. Mirip dengan para penulis tua yang setia dengan mesin ketik mereka, hanya untukku itu berarti aku telah dipengaruhi oleh teknologi. Memikirkan hal itu(bahwa aku bisa dipengaruhi, atau lebih kasarnya diperbudak, teknologi), cukup menakutkan. Aku tidak mau suatu waktu, aku menjadi semacam komponen dalam sebuah mesin raksasa mekanistik yang hilang kesadaran. Aku masih ingin memegang kontrol, bukan karena gila kekuasaan atau apa, tapi aku berpikir itulah kelebihan manusia, makhluk berkesadaran.
Cara untuk tetap sadar adalah dengan mulai memikirkan masa depanku. Aku tahu, topik seperti ini sudah cukup lama kutunda. Tapi setelah melihat kakakku yang sudah bekerja dan mengunjungi kost-annya di wilayah Cakung, aku jadi berpikir lebih serius. Apalagi dengan doa-doa dari teman-temanku waktu ulangtahun kemarin. Mulai dari doa untuk menjadi perempuan shalihah, dikelilingi orang-orang yang menyayangi, sampai "cepet dpt jodoh yg ngganteng pisaaan!"(hehehe masih ngakak kalo baca sms yang satu ini, dikutip apa adanya).
Apa targetku dalam satu tahun ini? Asli, aku tidak terbiasa dengan target-targetan. Satu-satunya hal yang kupatuhi dan mirip dengan konsep target adalah deadline. Itupun biasanya kugarap mendekati waktunya, karena bekerja dalam kondisi tertekan biasanya mampu meningkatkan kreativitas. Aku tahu ini cara yang sangat jelek apalagi kalau digunakan untuk belajar matematika yang membutuhkan pemahaman mendalam. Tapi sampai tingkat 4(ronde 2), aku masih belum bisa menghilangkan kebiasaan jelek ini. Although I try to change this bad habit.
Sobatku pernah bilang, “Yut, aku ingin lihat kamu seperti Amartya Sen.” Saat itu aku hanya tertawa. Tapi kini aku mulai memikirkan kata-katanya lebih dalam. Mungkin memang tidak akan sekelas Amartya Sen dengan pandangannya yang pro-kerakyatan, namun setidaknya aku ingin ilmuku tidak berdiri seperti menara gading yang hanya terpahami segelintir orang, atau kalaupun iya, pengaruhnya bisa sampai ke masyarakat luas. Itu mimpiku. Mimpi yang dari dulu selalu terbayang meski aku belum tahu bagaimana mewujudkannya.
Kecendrunganku saat ini adalah studi kebijakan publik, makanya belakangan ini aku senang dengan kajian budaya(cultural studies). Rada ngga nyambung sih, cuma dengan melihat kajian budaya maupun kebijakan yang ada, aku jadi belajar melihat hubungan antar tiap bagian sebagai sebuah gambaran utuh. Bagaimana suatu hal mempengaruhi hal lain, massa, kapital, konspirasi, pola, menarik. Dalam jurnalistik sekalipun, redaktur ekonomi menyerap orang paling banyak karena kompleksnya masalah. Naiknya harga cabe misalnya, bisa dipengaruhi dengan banyaknya tukang palak sepanjang jalan dari kebun menuju pasar.
Gambaran yang masih cukup blur sebenarnya. Namun sampai Januari ini aku ingin memberikan waktuku sepenuhnya untuk bertapa di jurusan. Pasca-Januari, aku akan kembali turun gunung, mencari pengalaman-pengalaman baru. Les bahasa, ikut pelatihan, kursus, jalan-jalan atau ikutan lsm, sambil mulai serius nulis. Bikin target dan mulai melebarkan sayap.
Ada banyak hal yang ingin kulakukan, sambil mulai mencari bayangan tentang gambaran ideal beberapa tahun kedepan. Dulu gambaranku adalah mengikuti jejak orangtua, sekolah terus menerus. Tapi belakangan gambaran itu berubah. Kalaupun sekolah lagi, yang terbayang adalah ke luar negeri. Untuk penyegaran suasana sekaligus biar bisa konsen. Sedangkan kalau ngga bisa sekolah ke luar tampaknya aku akan memilih untuk langsung kerja, biar bisa langsung merasakan dunia nyata. Belum ada profesi pasti sih, tapi ya sekitar dunia sosial gitu deh.
Banyak yang ngira aku ngga suka math. Sebenarnya ngga segitunya koq. Sampai level tertentu aku suka, karena itu aku masih memikirkan sebuah profesi yang bisa mengakomodasi kesukaanku pada kebijakan/fenomena/ gejala sosial dengan matematika. Lagian aku selalu memandang math sebagai ilmu tentang logika, jadi ngga begitu masalah. Bapenas kali ya… soalnya ada teman yang kerja di sana dan kerjaannya membawa ia ke Aceh. Aku ngga kebayang kerja yang sehari-harinya hanya menghadap layar monitor dan hanya disela waktu istirahat.
Kayanya jawaban pastinya akan aku cari dalam waktu dua bulan kurun Jan-Maret, itu juga kalau wisudaannya ngga dimajuin. Sekarang yang penting lulus dulu.
Sunday, October 09, 2005
Kepada Seorang Kawan
[Episode: Terimakasih]
Sudah lama aku tidak menyuratimu. Bukan karena aku sudah melupakanmu, kau boleh yakin aku tidak mungkin melakukan hal itu, tapi aku berusaha untuk menjadi dewasa. Kau mungkin bingung, apa hubungannya kedewasaan dengan surat-suratku untukmu? Aku yakin kau akan geleng-geleng kepala dengan cara berpikirku yang aneh, namun bukankah kau selalu menyukainya dan karena itu kita bisa cocok?
Saat ini aku sedang bertapa. Setidaknya, aku mencoba untuk melakukan itu. Merenungkan segala hal yang telah aku alami, rasakan, dan lebih jauh dari, apa yang ingin aku lakukan kedepan. Seperti yang selalu kau doakan untukku, “Semoga kau dapat meraih legenda pribadimu.” Aku memang sedang melakukan hal itu, dan untuk mencapainya aku mencoba untuk bisa berdiri sendiri. Namun tiap kali aku mencoba merenungkannya sendiri yang kutemukan hanyalah jalan buntu.
Kau tahu, ketika aku berusaha mencari jawabannya ke dalam aku malah kian bingung. Dorongan dari dirimulah yang membuatku menemukan secercah jalan terang. Aku tahu, kalau begini terus aku tidak bisa menjadi dewasa, aku akan selalu bergantung padamu. Ingin rasanya aku bilang, “Kamu jangan terlalu baik padaku, nanti aku tidak bisa mandiri,” tapi selain aku tidak mampu mengatakan hal itu, aku merasa keberadaanmu dalam hidupku sudah demikian adanya, begitu benar. Seperti mentari yang menyinari bumi dengan sinarnya, tanpa perlu ada alasan mengapa.
Kuharap kau tidak merusak gambaran ini dengan mengutarakan teori-teori kosmologi ya… Aku tahu galaksi kita tidak memiliki kedudukan unik dalam jagat semesta ini, karena itu keberadaannya setara dengan galaksi-galaksi lainnya. Tapi pernahkah kau berpikir sebuah susunan tata surya yang sama sekali lain? Sebuah gambaran aneh khas film science-fiction? Jujur saja, aku tidak bisa membayangkannya, sama seperti membayangkan kehidupanku tanpa dirimu.
Mungkin kau akan bilang aku gombal(hei, bukankah kau sudah terbiasa dengan gayaku ini?), tapi bagaimana kalau aku bilang bahwa apa yang kukatakan ini benar-benar datang dari hatiku? Apakah kau akan melarangku untuk berkata jujur?
Baiklah, aku akan mencoba untuk membuatnya sederhana.
Terimakasih karena telah menjadi kawanku
Terimakasih karena menunggu pergantian hari untuk menyambut hari lahirku
Terimakasih karena doa-doamu yang menyejukkan
Terimakasih karena keberadaanmu
Terimakasih karena mau memahamiku
Terimakasih karena mau menerima baik burukku
Terimakasih karena menjadi bagian dari hidupku
Nah, sekarang kau lihat kan, aku benar-benar tidak pandai berkata-kata. Ada begitu banyak kebaikanmu yang belum kusebutkan, dan tiap kali aku menuliskan salah satunya, ingatanku bergerak jauh lebih cepat. Aku menyerah… kau begitu baik.
Kawan, saat ini Ramadhan. Aku tahu kata-kata dan sikapku takkan pernah bisa membalas segala kebaikanmu, karena itu di bulan mulia dan penuh keajaiban ini, hanya kepada Sang Khalik-lah kupinta yang terbaik untukmu.
Salam sayang selalu,
Kawanmu
Yuti Ariani
NB: Kepada orang-orang yang telah menyisihkan sebagian waktunya untuk memberi kebahagiaan dan doanya untukku, terimakasih yang tak terhingga…
Friday, October 07, 2005
Berarti
Temanku pernah bertanya, apakah egois ketika meminta kehadiran seseorang hanya dikala gundah? Bagiku jawabannya adalah tidak, karena saat berbagi kegundahan, orang yang mendengarkan juga akan memperoleh sesuatu. Berbagi kasih masih merupakan suatu hal yang ajaib, tak habis dan ketika dibagi ia tak berkurang melainkan menjadi lebih.
Thursday, October 06, 2005
Ramadhan...
Ke kampus siang menjelang petang
Dengan mata setengah terpejam
Beberapa rintik air hujan
Sunday, October 02, 2005
Dan Damai...
Perasaan campur aduk, Ramadhan yang kian dekat tapi aku merasa belum siap ditambah hawa kebencian yang meletup lewat bom Bali II. Seandainya aku bisa memfokuskan diri pada satu hal dan maju dengan itu, tapi hal itu sampai sekarang masih muskil. Padahal dengan menjadi gelisah, keadaanku tak bertambah baik: tidak produktif, bad mood. Ugh... akhirnya aku melakukan apa yang biasa kulakukan kalau lagi kacau: beli buku. Niatnya mau beli buku yang ringan-ringan aja, seperti teenlit atau chicklit. Tapi rasanya sayang juga ngeluarin uang untuk buku-buku kaya gitu. Akhirnya untuk mengalihkan pikiranku dari realitas, aku beli buku Relativitas-nya Einstein. Asyiknya baca buku teori kan biar pikiran bisa beralih dulu dari kondisi riil.
Kenapa sih orang senang banget dengan keributan? Karena benci, kecemburuan, ketimpangan, kemarahan? Aku bingung, heran, marah, sedih, tidak berdaya, entahlah. Aku sendiri ngga ngerti apa yang kurasakan sekarang. Di saat yang sama aku juga memperoleh ucapan yang mampu meredam emosiku, ucapan Ramadhan dari teman-teman. Rasanya seperti oase ditengah segala hiruk pikuk hawa kedengkian. Kalau semua orang saling memaafkan, apa dunia bisa damai ya?
Kadang aku ingin bisa sembunyi dibalik selimut dan melupakan segala hal yang sudah kulihat. Namun aku ngga yakin kalau aku menutup mataku, segala hal yang terjadi diluar akan menghilang. Seperti bulan sedang berada di belahan dunia yang lain, meski keberadaannya tidak bisa kulihat, tapi aku tahu ia masih ada diluar sana, menerangi orang-orang di benua yang berbeda denganku.
Beberapa cahaya bagi pekat jiwaku:
AssWrWb.4 my precious friend: Mohon dibukakn pintu maaf jika ada ucap dan sikap yg tak berkenan.Smoga qta sampai pd Ramadhan dan berkh Ramadhan sampai pd qta.(ales)
Dalam hujan kusaksikan rindu
Dalam malam kudebarkan harap
Dlm hening kutebarkan pinta
agar teretas jalan menuju jannahNya d Ramadhan ini..
maaf lahir batin(adi fi99)
Alunan nada menggema
Getarkan lubuk jiwa
Seiring simponi hati yg merasakan Cinta-Nya...
Marhaban Ya Ramadhan
Semoga jadi yang terbaik dalam hidup kita ;]
Keep Ur Spirit! (yanti)
Ya Allah, aku merasa tak layak menerima segala kasih ini
Khilafku membentang dari terbitnya fajar hingga tenggelam kembali
Tundukku pun masih dipenuhi segala urusan duniawi
Namun cahaya-Mu tak pernah henti kunikmati
NB: terimakasih untuk keluarga, teman-teman yang mengajarkanku melihat kasih-Nya. Hanya kepada Sang Pemilik Kasih kupinta balasan yang terbaik.
Saturday, October 01, 2005
Math & Me
Ba’da subuh iseng aku buka-buka buku PDE(partial differential equation)-nya Strauss. Ketika bimbingan kemarin, dosenku mengingatkan aku tentang daerah ketergantungan yang sempat beliau singgung di awal semester. Ternyata informasi tersebut ada kaitannya dengan ketunggalan solusi yang aku cari dengan metode numerik. Setelah bolak-balik beberapa halaman sambil sesekali diseling dengan buku LeVeque yang menyinggung masalah numeriknya, aku malah penasaran dengan latarbelakang munculnya metode numerik tersebut. Untung kemarin aku udah nyimpen file di flash disk. Akhirnya karena bosen juga bacain buku teks, aku beralih aja ke layar monitor.
File yang membahas mengenai latarbelakang numerik belum berhasil kubaca. Gara-garanya pas nge-download jurnal IBM tahun 1967 tentang Mathematical Physic, khususnya bagian CFL(Courant Friedrichs Lewy) condition, ternyata file-nya ngga bisa dibuka. Daripada ngga ada sama sekali, akhirnya aku cari aja cerita tentang Friedrichs dan bagaimana kehidupannya. Ya begini inlah yang menyebabkan konsentrasiku suka ngga jelas juntrungannya, setiap kali menemukan hal baru yang menarik, aku pasti ingin tahu lebih dan lebih. Padahal kalau menurut Teori Ketidaklengkapan Godel, dibalik sesuatu ada sesuatu lagi dan lagi, sampai tak hingga. Begitu juga dengan informasi, setiap kali sudah menemukan informasi baru pasti ada kaitannya dengan informasi lain yang akan semakin meluas. Seperti cuaca: yang tidak akan pernah terjelaskan dengan alat yang kekompleksannya kurang dari alam itu sendiri(nah kan, ceritanya meluber kemana-mana).
Aku baru nyadar kalau ternyata aku moody banget. Kalau ngga suka sesuatu, bawaannya ngga konek. Seperti ada tembok-tembok besar yang menghalangi otakku untuk sampai pada informasi. Dalam Piece of Mind hal ini memang dibenarkan jika ditilik dari cara kerja otak bekerja. Artinya, rasa suka/ngga mempengaruhi penerimaan seseorang akan informasi. Dan karena alasan itu pula aku selalu mencoba mencari bagian terbaik dari sesuatu/seseorang. Khusus untuk matematika, kayanya keasyikkan itu baru aku temukan sekarang(kalo orang pesimis bilang: yah... tingkat akhir, udah terlambat banget, tapi karena aku optimis jadi tanggapannya: alhamdulillah, TA-nya jadi semangat deh. Kalo dapetnya pas awal-awal mungkin sekarang udah ngga semangat lagi:p).
Meski dari awal aku memang cukup sering baca cerita-cerita ‘lucu’ math dari sudut sejarah, ensklopedi maupun filosofinya, tapi ketika dibandingkan di kelas tetap aja ngga nyambung. Ya iyalah, makhluk-makhluk yang dikenalkan oleh dosen aja bagi banyak orang dianggap abstrak berat, gimana mau nyambung ama pemikiran filosofis math yang bagiku malah lebih bisa dicerna. Adanya gap antara bahan bacaan dengan materi di kelas memang cukup bikin aku ngga semangat. Abis hidup tanpa cerita bagiku aburd abis. Baru belakangan aja, aku bisa nangkep cerita tentang matematika. Tentu aja cerita ini bukan kisah kelinci yang tiba-tiba melintas di hadapan Alice(meski di mbah Goo aku pernah baca, kalimat-kalimat di buku Alice in Wonderland bisa disajikan dengan simbol matematika dan logikanya mengikuti logika matematika), melainkan kisah mengenai elemen-elemen di sebuah ruang vektor, basis, kebebaslinieran dll.
Awalnya emang aneh membicarakan anggota himpunan di ruang vektor V seperti membicarakan i.e Anjasmara dalam tayangan gosip. Tapi merasakan suasana kelas yang begitu antusias, aku baru nyadar kalau ternyata makhluk-makhluk abstrak itu bisa sama menariknya(dengan acara gosip dan kehidupan artis yang bahkan mungkin lebih abstrak dari matematika:D). Berawal dari aljabar yang bagiku merupakan awal pembentukan pola pikir seseorang(kata dosenku matematika adalah ilmu tentang implikasi), aku mulai melakukan pendekatan yang lebih manusiawi pada kuliah-kuliah lain di math. Salah satunya adalah dengan menilik sejarah hidup matematikawan yang sedang aku pelajari.
Kebayang ngga, kalau nama orang-orang yang sering digunakan ternyata punya kehidupan yang sama dengan manusia biasa. Batasan antara orang-orang dalam buku dengan orang diluar buku yang tiba-tiba pecah, dan semuanya kemudian tampak lebih manusiawi. Seperti kisah Friedrichs yang harus pindah negara karena suasana German yang tidak kondusif semasa Hitler. Sosoknya sebagai seorang ayah dari 5 putra, dan bagaimana ia bertemu dengan pendamping hidupnya yang dalam sejarahnya dikatakan mendukung penelitian dan membuatnya kian produktif. Kecintaannya pada berbagai bidang ilmu, seperti: filsafat, sejarah, fisika, psikologi. Perhatiannya pada pengajaraan, hingga Fritz John berujar ia pasti setuju dengan kata-kata, “no mathematical theory is completely realized until you can explain it to the first man you meet on the street.”
Fiu..h... keren banget. Tampaknya menjadi seorang cendekiawan/matematikawan tidak pernah hanya terbatas pada suatu bidang melainkan menyeluruh. Seperti ketika mengaitkan identitas seseorang berkenaan dengan agama, suku, ras atau bangsa, semuanya merupakan keseluruhan cara pandang yang akan membawa kita menjadi manusia utuh(baca: satu). Menjadi orang kritis bagi Friedrichs tidak membatasi dirinya terbatas pada math, tapi jauh melampaui itu.
Aku jadi ingin segera menemukan legenda pribadiku...
Untuk Papa
Papa … Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat Tapi jasa papa tetap melekat Hangat itu tetap mendekap ...