Nama : Yuti Ariani
Usia : 22 tahun
Jum’at lalu aku pulang ke rumah. Perjalanan di kereta aku gunakan untuk tidur dan baca Relativitas-nya Einstein. Buku itu lumayan cocok untuk dibaca di kereta karena untuk menerangkan konsep relativitas, Einstein banyak menggunakan contoh kereta sebagai ilustrasi. Namun meski sudah disebutkan bahwa buku itu diperuntukkan untuk orang awam tetap saja membutuhkan konsentrasi tinggi untuk membacanya. Alhasil aku hanya mampu mencerna beberapa bagian, dan sisa waktu aku gunakan untuk melihat pemandangan.
Aku senang dengan perjalanan. Sendiri, hening dan memberikan banyak kesempatan untuk berpikir, merenung dan mencoba merangkai segala kejadian yang telah kualami. Ada saatnya pengalaman itu enak untuk disimpan, tanpa dokumentasi. Setiap kali aku membutuhkannya, aku hanya perlu diam sejenak dan mengingat segalanya sebagaimana yang kuinginkan. Namun ada saatnya aku senang mengabadikan momen lewat tulisan maupun gambar. Bahkan saat aku masih sering menulis catatan harian di buku, dengan melihat gaya menulis, kedalaman guratan bolpen, kerapihan, aku bisa mengenang emosi yang aku rasakan saat menuliskan rangkaian kata tersebut.
Ah, teknologi telah banyak menggantikan hal klasik. Kini kalau tidak menghadap layar kompie, ide rasanya tidak mau mengalir. Mirip dengan para penulis tua yang setia dengan mesin ketik mereka, hanya untukku itu berarti aku telah dipengaruhi oleh teknologi. Memikirkan hal itu(bahwa aku bisa dipengaruhi, atau lebih kasarnya diperbudak, teknologi), cukup menakutkan. Aku tidak mau suatu waktu, aku menjadi semacam komponen dalam sebuah mesin raksasa mekanistik yang hilang kesadaran. Aku masih ingin memegang kontrol, bukan karena gila kekuasaan atau apa, tapi aku berpikir itulah kelebihan manusia, makhluk berkesadaran.
Cara untuk tetap sadar adalah dengan mulai memikirkan masa depanku. Aku tahu, topik seperti ini sudah cukup lama kutunda. Tapi setelah melihat kakakku yang sudah bekerja dan mengunjungi kost-annya di wilayah Cakung, aku jadi berpikir lebih serius. Apalagi dengan doa-doa dari teman-temanku waktu ulangtahun kemarin. Mulai dari doa untuk menjadi perempuan shalihah, dikelilingi orang-orang yang menyayangi, sampai "cepet dpt jodoh yg ngganteng pisaaan!"(hehehe masih ngakak kalo baca sms yang satu ini, dikutip apa adanya).
Apa targetku dalam satu tahun ini? Asli, aku tidak terbiasa dengan target-targetan. Satu-satunya hal yang kupatuhi dan mirip dengan konsep target adalah deadline. Itupun biasanya kugarap mendekati waktunya, karena bekerja dalam kondisi tertekan biasanya mampu meningkatkan kreativitas. Aku tahu ini cara yang sangat jelek apalagi kalau digunakan untuk belajar matematika yang membutuhkan pemahaman mendalam. Tapi sampai tingkat 4(ronde 2), aku masih belum bisa menghilangkan kebiasaan jelek ini. Although I try to change this bad habit.
Sobatku pernah bilang, “Yut, aku ingin lihat kamu seperti Amartya Sen.” Saat itu aku hanya tertawa. Tapi kini aku mulai memikirkan kata-katanya lebih dalam. Mungkin memang tidak akan sekelas Amartya Sen dengan pandangannya yang pro-kerakyatan, namun setidaknya aku ingin ilmuku tidak berdiri seperti menara gading yang hanya terpahami segelintir orang, atau kalaupun iya, pengaruhnya bisa sampai ke masyarakat luas. Itu mimpiku. Mimpi yang dari dulu selalu terbayang meski aku belum tahu bagaimana mewujudkannya.
Kecendrunganku saat ini adalah studi kebijakan publik, makanya belakangan ini aku senang dengan kajian budaya(cultural studies). Rada ngga nyambung sih, cuma dengan melihat kajian budaya maupun kebijakan yang ada, aku jadi belajar melihat hubungan antar tiap bagian sebagai sebuah gambaran utuh. Bagaimana suatu hal mempengaruhi hal lain, massa, kapital, konspirasi, pola, menarik. Dalam jurnalistik sekalipun, redaktur ekonomi menyerap orang paling banyak karena kompleksnya masalah. Naiknya harga cabe misalnya, bisa dipengaruhi dengan banyaknya tukang palak sepanjang jalan dari kebun menuju pasar.
Gambaran yang masih cukup blur sebenarnya. Namun sampai Januari ini aku ingin memberikan waktuku sepenuhnya untuk bertapa di jurusan. Pasca-Januari, aku akan kembali turun gunung, mencari pengalaman-pengalaman baru. Les bahasa, ikut pelatihan, kursus, jalan-jalan atau ikutan lsm, sambil mulai serius nulis. Bikin target dan mulai melebarkan sayap.
Ada banyak hal yang ingin kulakukan, sambil mulai mencari bayangan tentang gambaran ideal beberapa tahun kedepan. Dulu gambaranku adalah mengikuti jejak orangtua, sekolah terus menerus. Tapi belakangan gambaran itu berubah. Kalaupun sekolah lagi, yang terbayang adalah ke luar negeri. Untuk penyegaran suasana sekaligus biar bisa konsen. Sedangkan kalau ngga bisa sekolah ke luar tampaknya aku akan memilih untuk langsung kerja, biar bisa langsung merasakan dunia nyata. Belum ada profesi pasti sih, tapi ya sekitar dunia sosial gitu deh.
Banyak yang ngira aku ngga suka math. Sebenarnya ngga segitunya koq. Sampai level tertentu aku suka, karena itu aku masih memikirkan sebuah profesi yang bisa mengakomodasi kesukaanku pada kebijakan/fenomena/ gejala sosial dengan matematika. Lagian aku selalu memandang math sebagai ilmu tentang logika, jadi ngga begitu masalah. Bapenas kali ya… soalnya ada teman yang kerja di sana dan kerjaannya membawa ia ke Aceh. Aku ngga kebayang kerja yang sehari-harinya hanya menghadap layar monitor dan hanya disela waktu istirahat.
Kayanya jawaban pastinya akan aku cari dalam waktu dua bulan kurun Jan-Maret, itu juga kalau wisudaannya ngga dimajuin. Sekarang yang penting lulus dulu.
2 comments:
selamat ulang tahun...
[standar]
hehehe... makasih
[standar juga]
Post a Comment