Saturday, October 01, 2005

Math & Me

Kurt O. Friedrichs dan Richard Courant (1965)

Ba’da subuh iseng aku buka-buka buku PDE(partial differential equation)-nya Strauss. Ketika bimbingan kemarin, dosenku mengingatkan aku tentang daerah ketergantungan yang sempat beliau singgung di awal semester. Ternyata informasi tersebut ada kaitannya dengan ketunggalan solusi yang aku cari dengan metode numerik. Setelah bolak-balik beberapa halaman sambil sesekali diseling dengan buku LeVeque yang menyinggung masalah numeriknya, aku malah penasaran dengan latarbelakang munculnya metode numerik tersebut. Untung kemarin aku udah nyimpen file di flash disk. Akhirnya karena bosen juga bacain buku teks, aku beralih aja ke layar monitor.

File yang membahas mengenai latarbelakang numerik belum berhasil kubaca. Gara-garanya pas nge-download jurnal IBM tahun 1967 tentang Mathematical Physic, khususnya bagian CFL(Courant Friedrichs Lewy) condition, ternyata file-nya ngga bisa dibuka. Daripada ngga ada sama sekali, akhirnya aku cari aja cerita tentang Friedrichs dan bagaimana kehidupannya. Ya begini inlah yang menyebabkan konsentrasiku suka ngga jelas juntrungannya, setiap kali menemukan hal baru yang menarik, aku pasti ingin tahu lebih dan lebih. Padahal kalau menurut Teori Ketidaklengkapan Godel, dibalik sesuatu ada sesuatu lagi dan lagi, sampai tak hingga. Begitu juga dengan informasi, setiap kali sudah menemukan informasi baru pasti ada kaitannya dengan informasi lain yang akan semakin meluas. Seperti cuaca: yang tidak akan pernah terjelaskan dengan alat yang kekompleksannya kurang dari alam itu sendiri(nah kan, ceritanya meluber kemana-mana).

Aku baru nyadar kalau ternyata aku moody banget. Kalau ngga suka sesuatu, bawaannya ngga konek. Seperti ada tembok-tembok besar yang menghalangi otakku untuk sampai pada informasi. Dalam Piece of Mind hal ini memang dibenarkan jika ditilik dari cara kerja otak bekerja. Artinya, rasa suka/ngga mempengaruhi penerimaan seseorang akan informasi. Dan karena alasan itu pula aku selalu mencoba mencari bagian terbaik dari sesuatu/seseorang. Khusus untuk matematika, kayanya keasyikkan itu baru aku temukan sekarang(kalo orang pesimis bilang: yah... tingkat akhir, udah terlambat banget, tapi karena aku optimis jadi tanggapannya: alhamdulillah, TA-nya jadi semangat deh. Kalo dapetnya pas awal-awal mungkin sekarang udah ngga semangat lagi:p).

Meski dari awal aku memang cukup sering baca cerita-cerita ‘lucu’ math dari sudut sejarah, ensklopedi maupun filosofinya, tapi ketika dibandingkan di kelas tetap aja ngga nyambung. Ya iyalah, makhluk-makhluk yang dikenalkan oleh dosen aja bagi banyak orang dianggap abstrak berat, gimana mau nyambung ama pemikiran filosofis math yang bagiku malah lebih bisa dicerna. Adanya gap antara bahan bacaan dengan materi di kelas memang cukup bikin aku ngga semangat. Abis hidup tanpa cerita bagiku aburd abis. Baru belakangan aja, aku bisa nangkep cerita tentang matematika. Tentu aja cerita ini bukan kisah kelinci yang tiba-tiba melintas di hadapan Alice(meski di mbah Goo aku pernah baca, kalimat-kalimat di buku Alice in Wonderland bisa disajikan dengan simbol matematika dan logikanya mengikuti logika matematika), melainkan kisah mengenai elemen-elemen di sebuah ruang vektor, basis, kebebaslinieran dll.

Awalnya emang aneh membicarakan anggota himpunan di ruang vektor V seperti membicarakan i.e Anjasmara dalam tayangan gosip. Tapi merasakan suasana kelas yang begitu antusias, aku baru nyadar kalau ternyata makhluk-makhluk abstrak itu bisa sama menariknya(dengan acara gosip dan kehidupan artis yang bahkan mungkin lebih abstrak dari matematika:D). Berawal dari aljabar yang bagiku merupakan awal pembentukan pola pikir seseorang(kata dosenku matematika adalah ilmu tentang implikasi), aku mulai melakukan pendekatan yang lebih manusiawi pada kuliah-kuliah lain di math. Salah satunya adalah dengan menilik sejarah hidup matematikawan yang sedang aku pelajari.

Kebayang ngga, kalau nama orang-orang yang sering digunakan ternyata punya kehidupan yang sama dengan manusia biasa. Batasan antara orang-orang dalam buku dengan orang diluar buku yang tiba-tiba pecah, dan semuanya kemudian tampak lebih manusiawi. Seperti kisah Friedrichs yang harus pindah negara karena suasana German yang tidak kondusif semasa Hitler. Sosoknya sebagai seorang ayah dari 5 putra, dan bagaimana ia bertemu dengan pendamping hidupnya yang dalam sejarahnya dikatakan mendukung penelitian dan membuatnya kian produktif. Kecintaannya pada berbagai bidang ilmu, seperti: filsafat, sejarah, fisika, psikologi. Perhatiannya pada pengajaraan, hingga Fritz John berujar ia pasti setuju dengan kata-kata, “no mathematical theory is completely realized until you can explain it to the first man you meet on the street.”

Fiu..h... keren banget. Tampaknya menjadi seorang cendekiawan/matematikawan tidak pernah hanya terbatas pada suatu bidang melainkan menyeluruh. Seperti ketika mengaitkan identitas seseorang berkenaan dengan agama, suku, ras atau bangsa, semuanya merupakan keseluruhan cara pandang yang akan membawa kita menjadi manusia utuh(baca: satu). Menjadi orang kritis bagi Friedrichs tidak membatasi dirinya terbatas pada math, tapi jauh melampaui itu.

Aku jadi ingin segera menemukan legenda pribadiku...

No comments:

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...