Ada satu tempat di mana waktu berhenti. Tetesan air hujan menggelantung kaku di udara. Bandul jam beku separuh ayunan... Ketika seorang kelana mendekati tempat ini dari arah mana pun gerakannya semakin lambat. [Mimpi-Mimpi Einstein, Alan Lightman]
Apakah waktu itu? Manusia mengidentifikasikannya dengan jarum jam yang berjalan detik demi detik, atau angka-angka yang bergerak mengikuti perbandingan atom cesium. Namun sebelum definisi dipaksakan dalam sebuah satuan, waktu telah mulai berjalan. Bunga dengan daur kuncup, kembang, serta layu, pohon-pohon dengan ritme semi-gugur, serta mentari dan bulan yang datang silih berganti. Lalu apakah waktu itu? Sekat yang mengantarkan pergantian tanggal di kalender, tanda yang mengantarkan seorang ayah kembali ke rumah setelah melewati angka tertentu di jam dinding kantor, anak-anak berangkat sekolah, atau keadaannya tak pernah bergantung pada aktivitas yang mewarnai apa yang disebut dengan hari?
Dalam buku yang berisi 30 dongeng mengenai waktu, Lightman menyulap kemungkinan teori mengenai waktu menjadi kisah-kisah filosofis. Waktu yang melingkar mungkin tak pernah kita bayangkan. Namun melihat bahwa dalam kehidupan ada yang tak berubah, kita tetap bisa menemukan fragmen-fragmen kehidupan yang terulang. Rasa sedih, iri, marah, serta cinta menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Karena itu, sejarah tak pernah menghadirkan dirinya sebagai sebuah kisah usang, melainkan ia ada untuk digali dan dimodelkan hingga masa depan dapat diprediksi.
Akhirnya waktu tak pernah hadir sendiri. Ia ditemani oleh ruang yang menjadikannya berarti. Apalagi waktu dituduh subjektif karena dipengaruhi oleh pengamat, kedudukannya sebagai sebuah ukuran mutlak digantikan oleh kecepatan cahaya. Lalu ketika kita mengatakan telah menghabiskan sekian jam untuk membaca buku, menulis maupun berdiskusi, apa yang tengah kita bicarakan? Sebuah proses fisik yang akan membuat seseorang dari tak paham menjadi paham, atau segalanya menjadi relatif?
Saya pribadi akan menjawab relatif. Pemahaman seseorang tidak bisa dibakukan dalam ukuran jam. Seperti ketika seseorang tengah jatuh cinta, waktu bisa melambat begitu rupa. Fragmen kehidupan yang biasanya terlewatkan begitu saja mendadak menjadi istimewa. Rintik hujan yang jatuh perlahan, cahaya mentari yang mengintip di sela-sela dedaunan, pohon-pohon yang entah kenapa tampak begitu teduh menenangkan. Kehidupan yang biasa dilewati hanya demi menamatkan hari, tiba-tiba merupa dalam beragam warna.
Lalu apakah waktu itu? Mengapa dimensi manusia-manusia yang tengah jatuh cinta bisa tampak begitu berbeda? Jawabannya relatif, karena waktu bisa menjadikan seorang bijak maupun sebaliknya. Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.(QS Al-‘Ashr 103:1-3)
[made for ruku Aksara: Mimpi-mimpi Einstein]
4 comments:
ada waktu,
ada cintanya,
hmm...
rupanya kita dapat mempercepat atau memperlambat waktu,
yaitu dengan cinta ...
padahal sejak dulu ku berpikir, gimana caranya mempercepat atau memperlambat waktu, dan rupanya caranya sederhana.
waktu yang terus diperlambat, dapat saja menjadi berhenti...
dei
Salah satunya dengan membuat foto dei, saat itu kita membekukan waktu dalam sebuah momen.
Cinta memang ajaib, karena dimensi kehidupan jadi seolah berbeda. Seolah terhisap dalam dunia yang sama sekali baru.
yup... waktu yang mana dulu neh...
Beda donk kalo lagi nunggu sahabat tercinta dengan nunggu waktu ujian...
yah.. akal memang cenderung spasial, dan memandang general atau sama. Satu jam ya satu jam.
Tapi hati... beda lah! Ga harus cinta, benci juga bisa. Yang penting di hati ada.... :)
To anonim: nunggu orang yang dibenci? Hmm... daripada ditungguin mending ditinggalin aja ;p Tapi kadang batas antara benci dan cinta sangat tipis, sama-sama mengambil ruang di dalam kepala, dan bukan ngga mungkin bisa berubah.
Post a Comment