Wednesday, July 12, 2006

Kepada Seorang Kawan

[Episode: Beruntung]

Kawan, sudah lama aku tak menyapamu. Belakangan ini, waktu bergerak demikian cepat, hingga saat ada sejenak rehat, aku baru sadar betapa lamanya kita tak bertukar sapa. Bagaimana keadaanmu kawan? Terakhir kali kudengar kabarmu, kau tengah berkutat dengan aktivismu yang tiada habis, mungkin keadaan itulah yang menyebabkan rentang waktu menjadi demikian akrab dalam keseharian kita.

Tak ada kejadian khusus yang mengakibatkan kau memperoleh kabar dariku kali ini, tapi siapa yang butuh alasan untuk rasa kangen yang tiba-tiba menyelusup dalam kalbu. Tidak perlu lagu, warna, daun, ataupun buku untuk mengingatkanku pada dirimu. Cukup perasaan hangat yang datang tanpa diundang, dan itu sudah dapat menyebabkan badai serotonin menyerang kepalaku, dan entah kenapa, hangat ini identik dengan dirimu.

Tahukah kau, baru-baru ini seorang teman mengatakan mengatakan bahwa aku adalah orang yang beruntung. Parameter keberuntungan yang dia ucapkan berkisar pada keadaan yang telah kucapai saat ini. Mungkin apa yang dia katakan benar, aku memang beruntung, meski aku tak pernah merasa telah mencapai banyak hal. Namun, yang membuatku benar-benar bersyukur bukanlah apa yang kucapai atau peroleh, melainkan memiliki orang-orang hebat dalam kehidupanku. Keluarga, sahabat, teman, guru-guru, rekan yang tak henti mengajariku untuk berbagi dan senantiasa memberikan yang terbaik.

Kawan, mengingat segala hal yang telah mereka lakukan untukku, rasanya tak pernah ada kata terimakasih yang cukup. Bantuan-bantuan tak terduga, atau semangat singkat yang dapat membuat hariku cerah ceria. Begitupula kehidupan dalam wajahnya yang lugu, senantiasa membuatku jatuh cinta. Seperti pada suatu pagi, saat aku menyapa seekor kucing yang tengah mengais-ngais kotak stereofom putih di dekat tong sampah. Saat kusapa, ia menghentikan kegiatannya membuka kotak itu, dan menoleh padaku untuk menjawab salam, sementara kaki depannya masih tersangkut dalam kotak tersebut. Kawan, pemandangan itu sungguh indah.

Ritual sapa menyapa itu juga kulakukan pada anjing di jurusan. Aku sudah tidak ingat sejak kapan ia menjadi penunggu jurusan. Dengan tubuhnya yang sudah tampak ringkih, dan mulut yang senantiasa bungkam, ia hanya menyapaku dengan bola matanya yang sendu. Ekornya kadang tergoyang, tapi lebih sering hanya terkulai kuyu.

Kawan, bisakah kau bayangkan, bahkan seekor anjing pun tampak memiliki permasalahan yang mendalam? Tentu saja, aku tak bisa menganalisa apa yang tengah menimpanya, aku tak tahu sejarah hidupnya, dan aku juga bukan seorang psikolog anjing. Namun melihat segala sesuatu memiliki sejuta cerita dibalik apa yang terlihat sekarang, senantiasa membuatku takjub.

Guratan di pohon, cekungan di danau, hingga alam semesta yang menyimpan sejuta rahasia, semuanya menjadi pengingat agar aku tak henti berpikir. Kau jangan lantas membayangkan aku seperti filsuf dengan tangan yang menopang dagu, karena itu tak pernah berlaku untukku. Aku lebih senang menceburkan diriku dalam segenap rasa kemudian baru memilahnya secara perlahan.

Keluguan, sedih, gembira, cemas, resah, bahagia, bingung, pasti, monoton, chaos, semua pengalaman itu senantiasa menjadikanku lebih kuat. Karena itu aku masih sering tak bisa menahan diriku, untuk membuat orang terkejut dengan kata-kata maupun polahku. Aku hanya ingin sedikit menularkan kekompleksan hidupku pada orang lain. Bukan karena aku tak percaya pada pola(huaa... kawan, ternyata virus matematika itu kini telah mengalir dalam seluruh pembuluh darahku), namun karena aku percaya keteraturan itu ada pada tingkatan yang lebih tinggi. Bagiku kompleksitas merupakan titik keseimbangan diantara chaos dan keteraturan(order), dan karena itu aku senantiasa menyukai distraksi-distraksi yang dapat mengembalikan sistem pada keseimbangan.

Kalau kau melihat ritme hidupku saat ini, mungkin kau akan menganggapku telah tercebur dalam kehidupan mekanistik. Mulanya aku pun menganggap demikian, namun aku kembali melakukan distraksi-distraksi dalam kehidupanku, dan kembali belajar untuk melihat detil-detil kehidupan yang luput. Pemandangan biasa yang ketika diperhatikan lebih dalam ternyata menyimpan cerita, dan kawan, perasaan bahwa semuanya menjadi tanda menuju Yang Satu, sangat menguatkan.

Kawan, aku tak mau bercerita lebih banyak lagi, aku tak mau menjadi tukang ceramah yang dalam hitungan beberapa detik akan membuatmu bosan. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku memang beruntung, tapi bukan karena diriku sendiri, melainkan karena Sang Sutradara menghadirkan dirimu dalam kehidupanku.

Salam sayang selalu,
Kawanmu

1 comment:

Anonymous said...

hai .... yut ... :) (dei)

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...