Thursday, August 31, 2006

Lingkaran

Ada yang bilang, kehidupan itu seperti sebuah roda. Kadang di atas, kadang di bawah, tanpa kecepatan yang pasti. Kalau melihat hamster yang berlari dalam jeruji, roda tak juga bergerak karena terhambat, hingga ia akhirnya harus melompat-lompat, atau bahkan mengumpat. Eh, mungkinkah seekor binatang megumpat? Dalam teori yang kuketahui, bahasa lengkap dengan hiasan kosakata, hanya milik manusia. Internal Device ... menurut Choamsky, aku sendiri hanya manggut-manggutmembacanya, karena terperangkap oleh sakralitas muka baru.

Setelah pra-modern ditinggalkan, lengkap dengan "The 'God' of blank spot", deterministik menjadi raja. Namun karena ketidaklengkapannya, banyak yang kembali menyakralkan artefak-artefak buatan. Bukan patung roti yang dijadikan puja-puji, tapi teknologi. Satelit Palapa yang mengangkasa berperan menjadi Armstrong yang mengajak manusia bermimpi. Huru hara dalam negeri, boleh terlupa sejenak, Indonesia sudah canggih.

Hihi, kembali lagi, fetish wajah baru...

Monday, August 28, 2006

Ruang, Waktu, dan Rasio

Hehe.. judulnya serem banget, tapi ketiga hal itulah yang menyebabkan aku dua minggu belakangan ini jarang menuangkan pikiran dalam kata. Percobaan yang kucanangkan pada diriku berdasarkan studi historis plus teori-teori ternyata berdampak pada kekacauan. Ok, belum benar-benar runtuh dalam chaos sebenarnya, meski sudah limit menuju jatuh. Seharusnya dengan menggunakan sistem umpan balik, aku bisa mengembalikan kondisiku dalam keadaan stabil, namun aku masih ingin memberi sedikit waktu bagi eksperimenku.

Duh, aku jadi masuk golongan orang deterministik gini. Dosenku meminjamkan aku buku Introducing Networks System, dan isinya penuh dengan pemodelan sistem sosial. Jadilah aku pengamat yang bermain-main dalam mempolakan hidupku sendiri. Kan asyiknya seorang pengamat adalah ia memiliki kekuasaan untuk berada di semua sektor, atau dalam bahasaku aku menyebutnya sebagai seorang joker. Out of system, tapi bisa mensinergikan banyak hal.

Dalam sistem negara, joker ini adalah pers. Karena dalam beberapa kajian, pers inilah yang menjadi pilar keempat, sesudah legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Yaaa... kalau dalam matematika, aku merepresentasikan joker dengan Pi. Dari segi penggunaan Pi sangat teratur dan indah(golden ratio, deret Fourier, Leibniz, dkk) tapi kalau dilihat dari dalam bilangannya sendiri, Pi tidak memiliki pola.

Huahaha... ok, yuti memanggil sisi melow: Roger!
Rasio : "Woi, yut, sadar. Kerjaan kamu udah numpuk ngga jlas gitu. Liat kemampuan dan waktu juga dong."
Melow : "Ini kan bisa menjadi bahan pelajaran. Kan, dalam tiap segi hidup tersimpan misteri yang bisa disingkap. Lagipula, kondisi sekarang hanya anomali. Minggu depan juga akan beres sendiri."
Rasio : "Iya, dan sebelum minggu depan kamu udah tepar, sampai ngga bisa mengerjakan tugas."
Melow : "Tenang, keajaiban itu akan terus ada selama kamu percaya."
Rasio : "Percaya sih percaya, tapi semua kan tergantung usaha juga."
Melow : "Trus kamu mau aku kaya gimana?"
Rasio : "Putuskan salah satu."
Melow : "..."

Wednesday, August 16, 2006

Titik Kritis

Aku sedang mencoba pendekatan baru terhadap gaya hidupku. Menurut beberapa teori sosial yang aku baca, di titik kritis, seseorang akan lebih kreatif karena terdesak oleh keadaan. Pendekatan yang agak jelek sebenarnya, karena motivasi seseorang seharusnya didorong oleh kesadaran yang didasarkan oleh pandangan hidup, tapi selama ini kesadaran hanya berhasil mendorongku sedikit, maka aku mencoba menggunakan pendekatan baru.

Resiko? Ada-lah, tapi aku mencoba meminimalisir, sekalian belajar untuk bertanggungjawab. Sampai sekarang, aku masih parah dalam hal tanggungjawab, dan dengan merekayasa gaya hidupku, mungkin akan berhasil. Huahaha... keracunan teori sosial, tapi aku agak sekarat nih, gara-gara di buku peganganku ngga ada angka. Meski waktu ngobrol ama dosen, aku ditantang untuk menggunakan graph dan attractor. Apakah attractor-nya sama dengan yang ada di teori-teori chaos aku juga ngga tau, yang jelas tampak menarik.

Inilah fenomena yang terjadi tiap awal semester. Semangat banget. Dan daya tahan semangatnya biasanya menurun, kecuali kalau ada sesuatu yang bikin penasaran. TA-ku aja masih menyimpan sisa yang bikin aku betah untuk ngobrak-ngabrik teks book, tapi aku mencoba untuk fokus nih. Sebenarnya agak kontradiktif juga, kuliahku sekarang rada gado-gado, tapi aku mau fokus. Sama aja kaya bilang, "Eh, aku non-blok" padahal jadi blok non-blok, karena dia jadi bikin kubu baru.

Monday, August 14, 2006

Thursday, August 10, 2006

Jalan Pedang

Ketularan Musashi nih... aku juga sedang merumuskan jalanku sendiri. Gara-gara waktu TA kerjaanku motong-motongin integral(baca: ngerjainnya pakai versi diskret), aku jadi senang melihat segala sesuatunya dengan cara pandang yang utuh. Dan di dalam buku Musashi itu banyak diajarkan mengenai filosofi hidup, khususnya jalan pedang seorang Samurai. Memang, jalan pedang tak terlepas dari sebuah senjata, namun benda fisik itu hanyalah sebuah simbol pemahaman yang lebih dalam lagi, yang menurutku dialami oleh semua orang.

Aku sendiri sekarang sedang mereka-reka pilihan-pilihan yang akan kuambil untuk masa depanku nanti. Payahnya minatku rada-rada divergen, kebanyakan aku menelusuri sesuatu hanya for the sake of curiosity, kebayang kan gimana acak kadutnya. Udah gitu, aku juga rada males berhubungan dengan yang formal-formal. Waktu zaman bimbingan aja, dosenku sering ngeliatin caraku mencatat. Belum lagi urusan birokrasi di TU, dan gaya belajarku yang abstrak banget. Aku pkir, gaya hidupku ini suatu saat akan menimbulkan masalah. Eh, udah pernah sih, tapi karena aku ngga gitu peduli jadinya terulang lagi dan lagi.

Harusnya sebagai anak math, aku agak tertib. Hmm... aku memang senang membuat pola, tapi ketika berhubungan dengan diriki sendiri, aku terlalu bosan dengan pola yang ada, sehingga munculah distraksi-distraksi aneh, yang sebenarnya membuat hidup lebih rumit. Jadi teringat obrolan dengan dosen tentang anti. Sebuah anti, tidak akan anti terhadap dirinya sendiri. Waktu itu kami sedang membicarakan tentang postmo yang menyatakan ketiadaan akan adanya sebuah meta-narasi, tapi pandangan itu tidak bisa menafikan cara pandang postmo itu sendiri. Duh, kenapa aku cinta banget ama paradoks?

Kalau didiskretkan, mungkin kecintaanku ama paradoks ngga akan begitu berpengaruh dalam hidupku. Tapi karena masih dalam satu fungsi yang sama, ternyata kebawa juga. Huaaa... tolong, aku keracunan epsilon, waktu nulis aja dikepala udah kebayang limit, epsilon, dkk. Udah, ah keburu racunyya menyerang otak lebih cepat lagi..

Monday, August 07, 2006

Kamar Mandi, Teman, dan Pasar

Jum'at kemarin aku tertahan di kampus cukup malam. Rencananya aku akan ikut rapat untuk persiapan seminar tanggal 10. Tapi sesampainya di tempat tujuan, ternyata aku harus menunggu cukup lama. Parahnya lagi, aku tidak membawa buku untuk menemaniku menghabiskan waktu. Aku sedang mencoba menghabiskan Musashi, dan membawa-bawa buku setebal 1200-an halaman plus hard cover, rasanya bukan pilihan yang menyenangkan. Sambil menunggu, aku memutuskan jalan-jalan ke Matematika. Di jurusan keadaan sudah lengang, meski lampu TU masih menyala terang.

Tak ada berita penting, aku kembali ke gedung tempat aku memiliki janji. Sebagai latar terdengar suara adzan berkumandang. Karena masih asing, aku mulai clingak-clinguk mencari tempat untuk wudhu dan shalat. Aku mendapat jawaban bisa wudhu di atas. Ketika melanjutkan clingak-clinguk di lantai dua, tiba-tiba terdengar suara, "Yuti, sedang cari apa?" Rupanya, dosen waliku heran melihat kehadiranku sore itu. Padahal saat mencari, aku lihat beliau sedang rapat, dengan beberapa dosen. "Sedang nyari kamar mandi, pak, nanti diajak rapat," jawabku. "Oh, ke bawah aja," ujarnya sambil mengiringi langkahku menunjukkan jalan. "Shalatnya dimana, Pak? Kalau ngga ada saya ke jurusan aja." "Lho, sekarang kan jurusan kamu udah ganti," jawabnya sambil tersenyum. Akhirnya dosenku itu membawaku ke TU, dan menunjukkan tempat padaku, kemudian kembali ke lantai atas. Duh, kejadian mahasiswa baru terulang lagi. Lima tahun yang lalu, seorang dosen menunjukkan letak UPT Bahasa padaku, saat melihatku termangu, dan kini keadaan tak berubah jauh.

Rapat yang kutunggu malah dibatalkan, sebagai gantinya aku malah ditanya mengenai topik tesisku. Aku sendiri belum kebayang mau ke arah mana, yang sedikit tergambar baru ke arah kebijakan sains dan teknologi, namun alat yang akan kugunakan masih belum pasti. Maunya pakai sistem dinamik, karena aku lagi senang dengan strange attractor, bifurkasi, Fourier, dkk, tapi ide-ide itu sendiri masih sangat mentah. Dosenku malah menyarankan aku menggunakan teori graf. Huehehe... jadi teringat small world theory. Hipi.. senang mendapatkan wali yang satu frekuensi. Ketika pulang, langit sudah gelap. Hanya beberapa bintang yang memayungi perjalananku pulang. Weekend, here I come...

Sabtu pagi aku sudah beranjak. Mumpung masih segar, aku memutuskan untuk berjalan kaki saja ke jalan Merdeka. Baru hendak melanjutkan perjalanan, seorang kawan menelepon, mengajak aku untuk mencari kado. Karena tak ada rencana yang terlalu kaku, aku iya-kan saja tawarannya tersebut. Jadilah kami berdua naik motor ke Pasar Baru. Keadaan ramai seperti pasar pada umumnya. Di dekat tempat parkir, pedagang jeruk, jilbab menyemut membuat kendaraan-kendaraan susah unuk bergerak. Tapi akhirnya kami, dapat sebuah tempat yang sangat pas untuk meletakkan motor, dan memulai perburuan kadi ke dalam pasar.

Kebetulan, Intan sudah tau stan yang dituju. Sambil memilih-milih, penjaga salah satu stan disebrang mengajakku mengobrol. "Kuliah dimana, De?" "Di, Instituuu..t," jawabku. "Wah, pasti pintar dong. Gampang cari kerja lagi." Waduh, aku sebenarnya kurang nyaman kalau ada yang berbicara seperti itu. Berat beban moralnya, karena instituuu..t pasti sudah memakam banyak uang rakyat yang artinya tanggungjawab lulusannya untuk mengembalikan dana itu ke rakyat. Ah, hidup dibebani citra memang tak pernah mudah. Usai berbincang-bincang, kami melanjutkan perjalanan ke tempat pengiriman barang. Sayang, karena daerah tujuan pengiriman tak terjangkau, terpaksa kami menunggu hari Senin.

Bosen ah, cerita lanjutannya ntar aja:)

Thursday, August 03, 2006

Sore!

Mentari terus beranjak. Menyisakan sinar yang kian temaram. Rasa kantuk yang menarik mataku untuk tertutup tak juga enyah. Padahal layar telah berulang kali ganti, dari pemikiran hingga cerita sehari-hari. Kuliah baru akan dimulai dalam hitungan pekan, pendaftaran masih menyisakan beberapa urusan. Seperti kemarin saat perwalian, dimana aku lupa menyerahkan lembar perwalian. Akhirnya aku kembali dengan wajah merona, disambut sebuah senyuman.

Perwalian perdana pun berjalan tak sekeren harapan. Meski aku langsung dipanggil sebagai seorang matematikawan, dan dikenalkan pada calon pengajar, aku masih tak dapat menyembunyikan wajah penasaran. Dan untuk mengganti satu mata kuliah tetap harus disertai beberapa bujukan. Maunya sedikit lebih matang, tapi akhirnya aku malah dipanggil dengan "dik" yang tak urung membuatku senang. Entah karena wajah muda, atau sikap tak dewasa.

Tak sabar rasanya menunggu saat kuliah tiba. Saat cacing-cacing di kepala kembali mendapat makan. Gara-gara kelaparan, terpaksa tadi malam aku kasih pelajaran gelombang. Sekadar mengenang masa-masa silam.

Tuesday, August 01, 2006

Soul

Baru dapet kiriman makalah filsafat dari pak Bambang. Antara tergoda baca dan serem. Udah lama juga, aku ngga baca tema serius itu. Buku Lyotard, Deleuze, Whitehead masih tergeletak dengan manis di atas rak, dan sesekali pindak tempat ke atas meja yag tak pernah sepi dari buku. Seminggu ini, aku malah lebih banyak berkawan pemikiran Timur, lewat buku Musashi. Aku sendiri ngga terlalu peduli dengan pengkotakan Timur-Barat, meski terasa banget perbedaan auranya. Kalau lagi bergelut dengan pemikiran-pemikiran Barat, rasanya jiwaku sedikit demi sedikit tergadai oleh rasa ingin tahu. Penasaran menjadi sama negatifnya dengan marah, kesal, benci dan sifat-sifat lainnya yang betebaran di muka bumi. Lagipula, mengikuti kisah Pandora, rasa itu pula kan yang menyebabkan semua kejahatan keluar dari sebuah kotak?

Beda dengan Timur, yang mencoba menyatukan jiwa dan raga. Rasa ingin tahu menemukan tempatnya ketika dipadukan dengan penemuan diri sendiri. Mungkin gara-gara terpengaruh Zen, atau tasawuf, atau aku lagi mati-matian menjaga jiwaku agar tidak tergadaikan rasa penasaran?

Ah, entahlah...

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...