Tuesday, August 01, 2006

Soul

Baru dapet kiriman makalah filsafat dari pak Bambang. Antara tergoda baca dan serem. Udah lama juga, aku ngga baca tema serius itu. Buku Lyotard, Deleuze, Whitehead masih tergeletak dengan manis di atas rak, dan sesekali pindak tempat ke atas meja yag tak pernah sepi dari buku. Seminggu ini, aku malah lebih banyak berkawan pemikiran Timur, lewat buku Musashi. Aku sendiri ngga terlalu peduli dengan pengkotakan Timur-Barat, meski terasa banget perbedaan auranya. Kalau lagi bergelut dengan pemikiran-pemikiran Barat, rasanya jiwaku sedikit demi sedikit tergadai oleh rasa ingin tahu. Penasaran menjadi sama negatifnya dengan marah, kesal, benci dan sifat-sifat lainnya yang betebaran di muka bumi. Lagipula, mengikuti kisah Pandora, rasa itu pula kan yang menyebabkan semua kejahatan keluar dari sebuah kotak?

Beda dengan Timur, yang mencoba menyatukan jiwa dan raga. Rasa ingin tahu menemukan tempatnya ketika dipadukan dengan penemuan diri sendiri. Mungkin gara-gara terpengaruh Zen, atau tasawuf, atau aku lagi mati-matian menjaga jiwaku agar tidak tergadaikan rasa penasaran?

Ah, entahlah...

11 comments:

Anonymous said...

Problem jiwa dan raga, memang sangat menarik. Apakah diri kita material atau immaterial, problem tentang sang 'Aku', tentang kesadaran dll. Baru saja saya baca buku Memoar Seorang Filosof (Brian Magee) yang banyak membahas topik itu. Beberapa filosof yang menurut buku itu menjelaskan topik tersebut diantaranya: Schopenhauer, Immanuel Kant, Spinoza. Pandangan mereka dekat-dekat dengan filsafat timur. Kemudian ada jg aliran positivis, misalnya: hegel, locke dan karl popper (meskipun jg mengkritik positivis). Bukunya yuti sepertinya menarik, tuh, kalau udah selesai dibaca bagi-bagi ya ceritanya di blog.

Budhiana said...

Rudyard Kippling:"East is east, west is west. Never the twin shall meet."

Percaya nggak yut?

Cheshire cat said...

Maunya sih ada semacam sebuah cara pandang universal, antara Barat dan Timur. Tapi kian akrab dengan pemikiran kedua belah pihak, kian sulit ditemukan titik temunya.

Hmm... saya jadi teringat perang. Meski dikutuk semua orang, tetap aja berjalan seiring peradaban. Jadi percaya kalau perbedaan adalah keniscayaan, meski ngga yakin kalau salah satunya adalah Timur dan Barat.

Anonymous said...

Menurut yuti, dari berbagai pembahasan filsafat, bagian mana dari pemikiran barat dan timur yang menarik untuk disatukan? Karena aliran pemikiran barat juga macam-macam (dari sudut pandang dan topik yang dibahas), demikian juga dengan aliran timur. Misal pemikiran Islam jelas-jelas menolak pandangan reinkarnasi dari ajaran Budha. Jadi mungkin perlu lebih spesifik...

Cheshire cat said...

Karena saya tidak suka konflik, saya ingin ada sebuah kebenaran universal yang akan diamini oleh semua orang. Hanya saja sangat sulit untuk memperoleh 'kebenaran universal' tersebut.

Saya berlatar sains murni, karena itu saya banyak berkutat pada pemikiran para saintis. Dawkins, misalnya, menggunakan sains sebagai alat untuk membenarkan pandangan atheisnya. Pandangan Dawkins ini oleh Keith Ward dibolak-balik hingga dengan tools yang sama, yaitu sains, memberikan kesimpulan yang bertentangan dengan Dawkins, yaitu mengakui keberadaan Tuhan.

Capra, merupakan contoh fisikawan yang banyak menggunakan pendekatan Timur. Saya ngga tahu, ketika orang Barat menggunakan pendekatan Timur, khususnya Tao, apakah itu artinya dia menjadi Timur, atau itu adalah indikasi adanya sebuah kesatuan pandangan antara Barat dan Timur.

Pemikiran Whitehead sendiri banyak disamakan dengan Shadra karena sama-sama menekankan pada proses. Begitupula pandangan-pandangan orang postmo dalam kacamata saya, karena mereka menolak adanya sebuah meta-narasi, dan kembali pada wacana mitos yang sebenarnya sudah dikikis pada era modern.

Mengenai pemikiran Timur dengan Timur sendiri, saya juga setuju dengan adanya berbagai perbedaan. Tapi saya sendiri melihat ada sebuah benang merah antara spiritualisme Islam dengan Budha. Bukan dalam kacamata tauhid, namun dari pendekatan yang dilakukan untuk mendekati Tuhan, dan saya pribadi menganggap, pencarian akan Tuhan merupakan suatu hal yang sangat privat.

za said...

Hmm... saya jadi teringat perang. Meski dikutuk semua orang, tetap aja berjalan seiring peradaban. Jadi percaya kalau perbedaan adalah keniscayaan, meski ngga yakin kalau salah satunya adalah Timur dan Barat.

Yuti, dahulu aku juga berpikir perang sebaiknya tidak ada. Namun kalau aku lihat buku-buku sejarah, perang mempercepat kemajuan peradaban. Walau di sisi lain perang juga menghancurkan peradaban yang lain.

Karena saya tidak suka konflik, saya ingin ada sebuah kebenaran universal yang akan diamini oleh semua orang. Hanya saja sangat sulit untuk memperoleh 'kebenaran universal' tersebut.

Tidak selamanya konflik berakibat buruk, Yuti. Ada kalanya munculnya konflik justru bisa mendewasakan diri.

Anonymous said...

Penyatuan arus pemikiran barat dan timur? Saya termasuk yang optimis dengan hal ini. Meskipun bagi saya yang lebih penting adalah membangun arus pemikiran yang memiliki karakter inheren bersahabat dengan alam yaitu yang menempatkan harmoni manusia dengan alam (dan juga antar manusia) jauh di atas eksploitasi dan pemanfaatan alam.

Kebenaran universal, menurut saya, tidak akan berbentuk 'Teori Segala' (semacam theory sains yang menjelaskan semua hal, termasuk penciptaan jagad raya). Melainkan sebuah filsafat atau pandangan dunia yang secara komprehensif dapat mewadahi seluruh sains dalam konteksnya sendiri-sendiri. Jadi tiap bidang sains akan tetap memiliki karakter masing-masing dan perbedaan-perbedaan mendasar. Perbedaan ini tidak bersumber dari ketiadaan Kebenaran Dasar atau Kebenaran Hakiki, melainkan karena tiap sains melihat atau memotret Realitas dari sisi yang berbeda.

Cheshire cat said...

Saya jadi teringat pertanyaan yang saya ajukan kepada dosen saya: Apakah pengetahuan bisa membuat seorang kian bijak?

Dosen saya menjawab dengan memberikan cerita mengenai seorang matematikawan bergelar Ph.D yang melakukan teror. Kejadian itu sempat membuat heboh dikalangan akademisi Amerika.

Ilustrasi di atas saya gunakan untuk menyatakan bahwa sebuah cara pandang memang mungkin untuk mewadahi seluruh sains, namun kebenarannya menjadi relatif bagi masing-masing individu. Karena ketika sains ditarik ke permasalahan filosofis, maka ada ruang-ruang kosong dimana representasi fakta dan nyata menjadi tidak jelas, dan hanya dijembatani oleh logika.

Spinoza(kalau tidak salah), merupakan orang yang pemikirannya banyak diikuti oleh Einstein. Karena itu, banyak yang berpendapat, kalau pandangan Einstein terhadap Tuhan(yang terkenal dengan kata-kata: "Dan Tuhan tidak Bermain Dadu"(dalam masalah penciptaan alam semesta)) juga dipengaruhi oleh subjektivitasnya.

Saya jadi ingat klasifikasi yang dilakukan oleh Barbour, menurut dia, ada 4 macam hubungan sains dan agama, yaitu: konflik, interdependensi, integral, dan ...(lupa). Saya pikir kesatuan cara pandang itu mirip dengan konsep integralisme.

To Zaki: saya malah melihat perang sebagai bentuk pengejawahantahan cinta yang tertinggi kepada Sang Khalik(dalam konteks Perang Suci). Dan pandangan ini banyak dipengaruhi kepercayaan saya akan adanya ujian yang harus dilewati manusia sebelum masuk ke dunia abadi.

za said...

To Zaki: saya malah melihat perang sebagai bentuk pengejawahantahan cinta yang tertinggi kepada Sang Khalik(dalam konteks Perang Suci). Dan pandangan ini banyak dipengaruhi kepercayaan saya akan adanya ujian yang harus dilewati manusia sebelum masuk ke dunia abadi.

Yuti, aku sempat membaca tulisan ini. Orang yang berani mati adalah orang yang pengecut. Sementara orang yang berani hidup adalah orang yang pemberani.

Memang hal ini menjadi relatif sekali. Kalau dikaitkan dengan agama, keber-agama-an seseorang itu suatu hal yang sangat privat sekali. Tidak ada yang tahu, kecuali diri-nya sendiri dan Yang Maha Mengetahui.

alarif said...

Halo Yut!
He2 kalo kata bang aramageddon sih, perang itu adalah bentuk upaya senapan untuk berkembang biak. Manusia ya jadi semacam medium agar-agar gitu lah..
He2

Gimana nih kabar aksara. Lama tak bersua.

Cheshire cat said...

Huehe.. the selfish weapon ya. Ternyata manusia yang sering mengagungkan diri cuma jadi agen doang buat senjata.

Mending the selfish gene-nya Dawkins, Rif.

Aku juga udah lama ngga ke Aksara.

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...