Thursday, September 28, 2006

Godel

Sabtu kemarin aku sempet ngobrol tentang sosiologi dan kuantum dengan Abang. Pandangannya mirip denganku, bahwa sosiologi ngga bisa dikotak-kotakan dan disimplifikasi menggunakan teori yang ada di fisika. Dengan becanda malah muncul istilah baru: sosiologi kuantum.

Semenjak baca percobaan Sokal di jurnal Social Text, aku memang jadi sedikit berhati-hati menggunakan istilah. Eh, lebih tepatnya dalam diskusi resmi aku rada hati-hati(tau sendiri kalo non-formal istilahku ngawur banget) dalam menggunakan istilah-istilah fisika/matematika. Tapi belakangan aku malah mikir lagi, kalau konsep-konsep fisika yang menarik jika dilihat dalam perspektif yang lebih luas.

Salah satunya ya.. mbah Godel ini(mirip dengan panggilan sayang buat mbah Goo). Ngedenger ide pembuktiannya yang menggunakan induksi, dimana sebuah teorema memiliki hipotesis, dan untuk membuktikan hipotesis ini diperlukan teorema lain yang ternyata juga memiliki hipotesis awal, sehingga sampai pada kesimpulan bahwa sebuah teorema memiliki unsur subjektivitas(ini ide pembuktian versi hiper-nonformal).

Aku merasa kehidupan pun seperti itu. Saat aku merasa apa yang kuraih ini sudah cukup baik, senantiasa ada orang-orang yang kembali mengingatkan aku untuk terus berkembang, dan hal itu terjadi terus menerus. Kalau pakai konsep diagonalisasi Cantor, perkembangan itu konvergen menuju satu nilai. Dalam hidupku, aku ingin nilai itu Kebaikan itu sendiri.

Thursday, September 21, 2006

Marah

Dengan mata sedikit melotot, dan suara keras, ia membuat seluruh kelas hening. Tak ada yang berani membalas tatapannya, apalagi bersuara. Keadaan kelas cukup mencekam, beberapa mahasiswa duduk dengan kepala tertunduk. Meski kepala langsung melakukan iterasi rasionalisasi akan pilihan gaya mengajarnya, dalam diriku tetap terjadi penolakan. Dalam beberapa model pemerintahan/pengajaran aku memang menemukan metode mengajar gaya represif, tapi bagiku gaya seperti itu hanya menimbulkan penolakan yang kian kuat.

Tubuhku langsung bereaksi. Aku diserang kantuk yang dahsyat. Sekuat tenaga aku mencoba menahan agar mataku tetap terbua. Melihat kiri-kanan, mulai mencubit-cubit telapak tangan, sampai kaget karena sempat terlelap barang sesaat. Sama halnya kalau aku minum kopi, bukannya tetap terjaga, aku malah terserang kantuk. Alhasil aku sedikit pusing gara-gara harus menahan kantuk.

Saat jarum jam menunjukkan pukul 5 kurang, badanku sudah mulai agak segar kembali. Huehehe, badanku cukup melek jam, sehingga tau kuliah akan segera berakhir, dan dosenku mulai memperlihatkan sisi lainnya. Ia menampakkan kesedihan saat berbicara mengenai Indonesia. Alasan kemarahan di awal kuliah pun mulai terungkap. Indonesia membutuhkan orang-orang pintar untuk dapat merubah tatanan yang ada. Ah, sisi yang meledak-ledak itu ternyata berasal dari rasa cinta terhadap bangsa. Akupun jadi sedikit terlarut dalam suasana.

Aku tetap tidak suka dengan gaya mengajarnya, tapi aku akan mencoba untuk belajar agar suatu hari, ia pun bisa bangga.

Wednesday, September 20, 2006

Dongeng

"Tapi kamu senengnya memang yang kaya gitu kan, Yut?" Abis intro yang lucu, mulailah kisah fraktal, Koch, Mandelbort, chaos, dan sedikit epsilon delta. Senengnya didongengin, aku jadi bisa menghubungakn informasi-informasi dalam kepalaku menjadi satu kesatuan utuh, dan tentu aja cerita itu diselingi beberapa pertanyaan, karena cerita epsilon selalu membutuhkan delay waktu, antara kuping dengan pemahaman, minus galat yang mungkin terjadi karena salah persepsi. Anyway, aku heran juga kenapa banyak orang yang bertanya apakah aku seneng apa ngga? Mungkin gara-gara itu aku jadi sedikit sensitif dengan kewajiban, soalnya dari kecil memang dibiasakan untuk sadar akan konsekuensi sebuah tindakan, dan sebisa mungkin segalanya dikerjakan dengan hati seneng, hehe.

Anehnya, dongeng yang aku dapat selalu ngga umum. Waktu kecil dapat cerita karangan mama, tentang Kancil dan Ucil(aku berperan sebagai Ucil, kata mama), trus papa cerita tentang Raja. Ceritanya seperti ini: Dahulu ada seorang raja yang emiliki putra dan putri. Suatu hari putra putrinya itu minta sang raja membacakan cerita, ceritanya seperti ini dahulu kala ada seorang raja yang emiliki putra dan putri. Suatu hari putra putrinya itu minta sang raja membacakan cerita, ceritanya seperti ini ....

Hehehe, keliatan kan darimana asal muasal aku cinta berat ama fraktal? Dari kecil udah di doktrin di alam bawah sadar. Hihihi...

Tuesday, September 19, 2006

Pathetic English

Huauaaa..h, senengnya bisa napas lega sejenak. Akhirnya tumpukan laporan yang kubuat dengan my pathetic english beres juga. Belum bener-bener beres sih, masih harus ada revisi-revisi lagi, tapi untuk sekarang bebas. Yup, bebas yang mengantarkan pada kerjaan lain. Tadi pagi aja pontang panting ngejar deadline buletin, belum tugas kuliah yang kukerjakan menggunakan hierarki Maslow. Kalau kepepet dan belum nemu alat canggih, aku biasa menggunakan Maslow, hasilnya... fraktal. Huehehe, kalau lagi jatuh cinta ya kaya gini ini, semuanya dibahas dari kacamata fraktal.

O iya minggu lalu abis ketemu mas Roby. Cara ikut kuliahnya juga aneh. Pas abis dari Vila Merah tau-tau ada bunyi sms. Nah, karena ada feeling aneh, pas mau belok ke sabuga, aku baca sms dulu, isinya: "Yut, ada mas robi." Bingung juga baca sms itu, pertama karena nomornya ngga dikenal, yang kedua, koq yang nge-sms tau ya aku bakal exited banget. Informasi lain yang aku tau saat itu adalah di SP ada kuliah tamu. Dari potongan-potongan informasi yang ngga jelas itu, aku mengambil kesimpulan ada kuliah mas roby di SP.

Ternyata bener... :) :) Waktu aku datang, kelas udah penuh. Ya udah, aku ngambil tempat paling depan, yang cuma ditempati satu orang yang ngga ku kenal. Setelah numpang lewat, aku mendengarkan dengan lumayan cermat. Brakk..brukk...(hihi, ngga seru kalo lewat kata-kata), trus nanya, trus seneng.

Huehehe... ada yang bilang perempuan ngga rasional, tapi kayanya ngga juga. Sejak kapan senng butuh alasan?

Monday, September 11, 2006

Fraktal (Again!)

Whooaaaa... liat nih, cantik banget. Deret Fibonacci: 0,1,1,2,3,5,8,13,21,.... kalikan dengan 1,6 kemudian bulatkan ke bilangan bulat terdekat diperoleh deret ‘Fibonacci’ lagi: 0,2,2,3,5,8,13,21,... yang berbeda di bagian awal, sehingga kalau dijembreng ke bawah diperoleh:
0,1,1,2,3,5,8,13,21,....
0,2,2,3,5,8,13,21,...
0,3,3,5,8,13,21,...
0,5,5,8,13,21,...
0,8,8,13,21,...
0,13,13,21,...
....

Hihi, lucu ya? Perulangan di tiap tingkat sehingga membentuk perulangan, dan berlaku juga kalau dilihat secara vertikal. Perulangan lain yang lebih populer adalah himpunan Cantor yang memiliki anggota tak hingga tapi berukuran nol. Bentuk perulangannya terlihat dari penghapusan selang di bagian tengahnya.

Ok, bermain-main dengan angkanya udahan dulu, soalnya aku abis baca buku Introducing to Social Networks plus Blink, yang mencoba mebuat struktur dari relasi sosial menggunakan perangkat graf. Buku pertama lumayan akademis, soalnya nyaris di tiap lembar ada matematikanya, sedangkan buku kedua relatif populer, meski bagiku keduanya menyajikan sebuah struktur dibalik tampilan sekejap.

Biar gampang ngebayanginnya, aku ambil contoh cerita aja. Dalam sebuah komunitas tertentu, ada empat kelompok orang yang dikategorikan berdasarkan pengamatan kualitatif. Selanjutnya dilakukan metode kuantifikasi dengan kuesioner. Nah, kuesioner itu punya 4 pertanyaan yang masing-masing bernilai satu kalau setuju dan 0 kalau ngga setuju. Dari kuesioner itu kemudian dibuat matriks yang memperlihatkan adanya pengelompokkan diantara orang-orang dalam komunitas, sebagaimana yang tampak pada pengamatan kualitatif. Pengelompokkan menggunakan matriks tersebut dilakukan dalam beberapa tahap, sehingga pada tahap kesekian, terlihat relasi sederhana antara masing-masing kelompok.

Adanya beberapa tahap analisis, mirip dengan yang dilakukan oleh para sosiolog dalam mengamati perilaku orang. Beberapa contoh yang aku temui dalam buku Blink mengungkapkan hal itu. Dengan tingkat penyederhanaan tertentu, yang dalam buku itu dicontohkan dengan memotong-motong bagian dalam video, tampak adanya pola umum antara cara berkomunikasi perempuan dan laki-laki, dan dari potongan tersebut, bisa dilihat hubungan keduanya bermasalah atau baik-baik saja.

Apakah manusia sesederhana itu? Buku Blink menyebutkan adanya alam bawah sadar yang relatif sama bagi tiap orang. Aku ngga tau deh, yang jelas golden ratio banyak digunakan di bidang arsitektur, musik(Pytaghorean scale yang digunakan oleh Bach), dan perbandingan-perbandingan lainnya sangat cocok baik di seni maupun matematika menunjukkan persepsi seseorang akan keindahan adalah rasional.

Maksudnya gini, ada kalangan yang berpendapat kalau seni adalah suatu yang subjektif, padahal kalau dilihat lebih detil, keindahan itu dibentuk oleh sesuatu yang teratur, matematika. Yaa... aku tau ngga semua suka musik klasik, dan ngga semua juga menganggap kuil Parthenon itu indah, tapi tetap aja persamaan antara persepsi keindahan dengan pemikiran rasional ada kaitannya.

Friday, September 08, 2006

Ruang Waktu

Tanpa sadar langkahku kian bergegas, dalam kepala terbayang runtutan kejadian yang menjadi target hari ini. Tenang, tenang, sebuah suara melintasi pikiran, masih ada kesempatan. Namun suara itu tak jua meredam gemuruh suara-suara yang berteriak, ini sudah keterlalauan. Teringat seorang teman yang harus menempuh perjalanan 1,5 jam untuk dapat kuliah, ah, aku masih punya waktu luang.

Temanku pernah berujar, dunia tak seindah teori. Aku malah berhadapan dengan teori yang tak seindah kenyataan, hehe, aku cuma becanda. Dalam keadaan yang serba mendesak, aku menemukan cara baru untuk gembira. Teman di sebelahku waktu kuliah sampai berujar, "Wah, ketawanya nular," sambil was-was karena takut memancing salah satu dosen cukup angker. Mungkin itu sindiran, tapi aku tak mau terlamapu pusing memikirkan disindir atau tidak, kalau tidak diutarakan langsung, kenapa harus bingung.

Aku jadi ingat aku disebut sebagai 'mba makhluk' gara-gara menyebabkan isi laut sebagai makhluk-makhluk. Oleh dosen, jawabanku malah dikaitkan dengan yang halus-halus, padahal maksudku kan ikan, terumbu karang, dan berbagai makhluk lainnya. Alhasil aku jadi sasaran terus, sambil sekuat tenaga menahan ketawa hingga sakit perut. Duh... selalu ada tawa di segala suasana, hehe

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...