Sabtu kemarin aku sempet ngobrol tentang sosiologi dan kuantum dengan Abang. Pandangannya mirip denganku, bahwa sosiologi ngga bisa dikotak-kotakan dan disimplifikasi menggunakan teori yang ada di fisika. Dengan becanda malah muncul istilah baru: sosiologi kuantum.
Semenjak baca percobaan Sokal di jurnal Social Text, aku memang jadi sedikit berhati-hati menggunakan istilah. Eh, lebih tepatnya dalam diskusi resmi aku rada hati-hati(tau sendiri kalo non-formal istilahku ngawur banget) dalam menggunakan istilah-istilah fisika/matematika. Tapi belakangan aku malah mikir lagi, kalau konsep-konsep fisika yang menarik jika dilihat dalam perspektif yang lebih luas.
Salah satunya ya.. mbah Godel ini(mirip dengan panggilan sayang buat mbah Goo). Ngedenger ide pembuktiannya yang menggunakan induksi, dimana sebuah teorema memiliki hipotesis, dan untuk membuktikan hipotesis ini diperlukan teorema lain yang ternyata juga memiliki hipotesis awal, sehingga sampai pada kesimpulan bahwa sebuah teorema memiliki unsur subjektivitas(ini ide pembuktian versi hiper-nonformal).
Aku merasa kehidupan pun seperti itu. Saat aku merasa apa yang kuraih ini sudah cukup baik, senantiasa ada orang-orang yang kembali mengingatkan aku untuk terus berkembang, dan hal itu terjadi terus menerus. Kalau pakai konsep diagonalisasi Cantor, perkembangan itu konvergen menuju satu nilai. Dalam hidupku, aku ingin nilai itu Kebaikan itu sendiri.
No comments:
Post a Comment