Ugh, aku lagi menggalakan diri menggunakan bahasa Indonesia, tapi kesanku antara kata image dan citra koq beda banget ya? Apalagi kalau mau diletakan dalam konteks kajian budaya(cultural studies). Yah, pandang aja, kalau kata citra yang aku gunakan merepresentasikan kata image.
Lagi-lagi cerita bekutat tentang kisah anak matematika di jurusan Studi Pembangunan. Entah karena memiliki pengalaman traumatik dengan menghadapi simbol, mayoritas menganggap matematika sebagai pelajaran yang susah. Implikasi dari pandangan itu adalah, anak dari jurusan matematika dipandang sebagai orang pintar. Jadi kalau ada PR ekonomi mikro, yang jadi sumber info, aku. Padahal konsep ekonomiku rada-rada blank. Aku udah nyoba untuk belajar ekonomi, tapi gara-gara dikepala langsung muncul asosiasi klas-klasan, aku langsung menolak. Sekarang sih udah mending, soalnya aku lagi seneng melihat perspektif psikologi di ekonomi yang ternyata banyak banget. Dan dalam ekonomi mikro, ternyata banyak sodara-sodaranya Prisoner Dilemma, otomatis, sense tertarikku langsung ON.
Nah, kemarin PR-ku tentang membuktikan kemiringan kurva dengan menggunakan persamaan diferensial. Huaa, parah banget, aku udah lupa nama makhluk-makhluknya apa. Secara kotretan sih udah terbukti, tapi kan harus ditulis dengan nama-nama yang bisa dipahami, dan sederhana karena simple is beautifull, jadi aku berusaha untuk bikin pembuktian sesingkat dan sejelas mungkin. Gara-gara itu, aku buka buku kalkulus lagi dengan sedikit perasaan malu. Karena diferensial kan bahan TA-ku, yang baru aja kuselesaikan. Huehehe.. jadi ingat zaman bimbingan dulu ketika ditanya masalah gradien. Aku lupa kalau kian besar gradien kian curam suatu kurva, jadi dengan kalemnya aku memberi jawaban yang salah pada dosenku. Dan dosenku cuma nanya "yakin?" dengan pandangan lucu. Pas aku ubah jawaban, ditanya lagi, yakin? Woho...
Lucunya, dari dosen lain, aku tau dosenku nganggap aku pintar, kalau salah itu cuma karena aku grogi. Padahal bukan grogi, tapi ngga tau beneran..
No comments:
Post a Comment