Entah sejak kapan hal itu menjadi bagian dari kesehariannya. Dulu, semuanya masih terkendali. Tak pernah ada kata terlalu, atau kehilangan. Hanya selingan yang cukup menyenangkan, itu saja. Ia lupa selingan bisa berubah menjadi biasa lalu mewujud jadi istimewa. Ah, semuanya hanya membuat hidup kian rumit, seakan tanpa istimewa itu hidup belum cukup rumit.
Pilihan-pilihan menunggu untuk diputuskan, meski nanti masih menjadi teman akrabnya. Teman yang kadang harus diabaikan ketika berbagai urusan mendesak menuntut untuk diselesaikan. Bila itu terjadi, ia hanya menyerahkan hatinya pada keabadian sang waktu dan berharap semuanya mengukirkan kisah yang menyenangkan. Ia belum mau menyerah menghadapi dunia yang kadang menyebalkan, dan menunggu untuk diabaikan. Ia masih punya sejuta mimpi, yang tidak mau diakhiri.
Kadang... ia ingin kembali pada selimut merahnya. Meringkuk dari dunia, dan mengatakan ia mau kembali saja pada imaji. Seperti dunia fantasi yang ia temukan dalam buku-buku yang menghiasi raknya. Tapi tak urung, ia imbangi juga fantasi dengan pahit. Dalam kisah-kisah Bumi Manusia, Rumah Kaca ataupun Gadis Pantai. Buku dengan rasa kopi. Pahit. Tapi tak membuatnya urung untuk membacanya hinga tamat, meski dengan beberapa jeda untuk bernafas.
Pahit dan istimewa. Ia baru tahu bahwa paduan itu mungkin.
1 comment:
Jadi ketagihan minum kopi?Aku lebih suka minum air putih & jus buah.
Atau baca buku pahit sambil minum kopi? Menurutku gadis pantai plotnya ga bagus.Terlalu banyak kata ndoro. Coba baca Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari! Menurutku baru bagus. Plotnya menarik, ide cerita sederhana, tapi sungguh penuh makna.
Tiba-tiba jadi keinget, Sang Priyayi. Dulu pernah ada di rak buku,terus dipinjam entah kemana,&belum sempat baca.
Post a Comment